Tanggal 15 Januari menjadi hari cukup bersejarah, yakni terjadinya peristiwa yang populer disebut kerusuhan “Malari” (Malapetaka Januari). Inilah sebuah konflik internal yang agak mengubah konfigurasi politik kekuasaan pada era Orde Baru itu.
Kerusuhan itu pecah di beberapa wilayah Jakarta dalam bentuk pembakaran dan penjarahan massal, yang dilakukan berbagai kalangan masyarakat. Masih segar dalam ingatan bagaimana bangunan Proyek Senen pas siang hari itu terbakar habis dan biadabnya ratusan orang menjarah toko-toko di kompleks pertokoan yang terkenal itu.
Pemandangan yang serupa terjadi di daerah bisnis, Glodok. Di begitu banyak tempat para pengendara kendaraan harus rela menyaksikan harta mereka dirampas, dirusaki, sampai dibakari warga.
Di sekitar Senen dan juga di Salemba, entah berapa belas remaja atau pemuda yang tewas menjadi korban. Sebagian korban tewas ditembus peluru aparat keamanan dan sebagian lagi kehilangan nyawa akibat keberandalan massa.
Sejak siang hari sebagian besar Jakarta menjadi wilayah tak bertuan. Siapa pun akan dengan amat mudah menjarah berbagai barang di toko-toko, melempari orang Tionghoa yang tak bersalah, atau membakar mobil-mobil buatan Jepang.
Aparat keamanan praktis baru mampu mengendalikan keadaan sekitar waktu magrib dan pemerintah segera memberlakukan jam malam. Sirene ambulans dan bunyi rentetan peluru petugas keamanan masih terdengar kencang sampai hampir tengah malam.
Kobaran api dan gumpalan asap masih terlihat di beberapa wilayah Ibu Kota. Namun, situasi dengan cepat kembalimenjadi normal pada tanggal 17-18 Januari 1974 dan aturan jam malam pun dikurangi.
Malari meletus ketika mahasiswa mengadakan pawai dari Kampus Universitas Indonesia di Salemba menuju Universitas Trisakti di Grogol. Mereka akhirnya dilarang melewati Jalan Tanah Abang II karena berniat menyerbu kantor CSIS, yang salah seorang pendirinya adalah Asisten Pribadi (Aspri) Presiden Bidang Khusus Mayjen Ali Moertopo.
Bukanlah cerita baru bahwa Ali Moertopo terlibat persaingan politik dengan Wapangab/Pangkopkamtib Jenderal Soemitro. Pada tanggal 2 Januari 1974, Soemitro bersama Ali Moertopo dan Kepala Bakin Letjen Sutopo Juwono menemui Presiden Soeharto di Jalan Cendana untuk saling membantah.
Selesai pertemuan, Soemitro kepada para wartawan membantah dirinya berniat melancarkan makar terhadap Soeharto. “Kalau terus-terusan begini, seolah-olah Pak Mitro akan mengadakan makar. Ini orang dua diadu terus. Soemitro, Ali Moertopo, calon-calon presiden. Apa-apaan ini…,” kata Soemitro sambil menunjuk Ali Moertopo.
Rumor tentang rencana makar oleh Soemitro sebenarnya sudah beredar setahun sebelum Malari meletus. Ia sering berkunjung ke kampus-kampus di Jawa dan mengintrodusir pernyataan tentang kepemimpinan nasional yang dianggap membahayakan kekuasaan yang sah.
Terlepas dari kebenaran rumor makar oleh Soemitro, suasana politik sudah telanjur “membusuk” beberapa tahun sebelum terjadinya Malari. Tewasnya mahasiswa Institut Teknologi Bandung (ITB), Rene Louis Conrad, dalam “konfrontasi” antara mahasiswa melawan ABRI bulan September 1970 merupakan salah satu insiden politik yang penting.
Masyarakat muak menyaksikan Golkar memulai kebiasaan bermain curang untuk memenangi secara mutlak Pemilu 1971. Kerusuhan yang terjadi di Bandung pada Agustus 1973 menjadi awal kemunculan sentimen anti-Tionghoa.
Setelah meletusnya kerusuhan Malari, lebih dari 50 pemimpin lembaga-lembaga kemahasiswaan serta para cendekiawan ditangkapi. Beberapa surat kabar nasional dibredel.
Bukan cuma Soemitro yang menjadi korban Malari dan pada akhirnya mengundurkan diri. Sempat beredar kabar seram bahwa mantan Ketua MPRS
Jenderal (Purn) AH Nasution pun akan ditangkap-berita yang akhirnya tak menjadi kenyataan.
Soemitro yang terpental dari pusat kekuasaan menolak tawaran Soeharto untuk menduduki jabatan yang cukup penting. Ali Moertopo pun praktis tersingkir ketika Soeharto membubarkan lembaga Aspri.
Seorang Aspri mengalami peristiwa tidak mengenakkan. Saat kerusuhan menjalar, ia meminta perlindungan dari Soemitro dan bersembunyi di bawah meja dengan badan gemetaran karena takut dihakimi keganasan massa.
Waktu kerusuhan masih terjadi, Soemitro, seorang jenderal combative, berhadapan langsung menenangkan massa di Jalan Thamrin. Berbeda dengan seorang jenderal lain yang baru dua hari kemudian “turun” ke jalan pada saat situasi telah tenang.
Apa pun, setelah Malari, Soeharto tetap berdiri tegak. Jenderal demi jenderal, demonstrasi demi demonstrasi, tak mampu menggoyahkan kekuasaannya.
Sampai datangnya bulan Mei 1998, sama dengan Malari, Soeharto dirobohkan oleh aksi mahasiswa yang terus menggelombang dari hari ke hari mulai Agustus 1997.
Sama dengan Malari, aksi mahasiswa selalu jadi makanan empuk untuk disusupi orang-orang yang tak bertanggung jawab. Siapa yang untung dan siapa yang rugi gara-gara kerusuhan Mei 1998, Anda pasti sudah tahu.
Pelajaran dari Malari 1974 dan Mei 1998 adalah selalu ada pihak-pihak yang mengail di air keruh demi kekuasaan. Mereka tidak peduli dengan kerugian nyawa maupun harta yang biasanya hanya diderita oleh kita, rakyat biasa.
Pelajaran kedua, dalam demokrasi dibutuhkan kepemimpinan nasional yang mau menjalin dialog sehat dengan siapa saja. Kepemimpinan nasional model ini sudah diupayakan Presiden Joko Widodo selama delapan tahun terakhir ini.