Dalam kosmologi Hindu Bali, kehidupan manusia tidak berhenti pada kematian. Ada proses panjang dan penuh makna untuk mengantar roh seseorang menuju kebebasannya yang sejati.
Salah satu upacara paling penting dalam siklus kehidupan dan kematian itu adalah Ngaben, sebuah prosesi pembakaran jenazah yang tidak hanya menjadi lambang pelepasan raga, tetapi juga bentuk pengembalian unsur-unsur tubuh manusia kepada alam semesta dan kepada Tuhan.
Makna dan Filosofi Ngaben
Melansir laman resmi Pemerintah Kabupaten Buleleng, Ngaben, secara harfiah berasal dari bahasa Bali, memiliki konotasi halus dan sering disebut sebagai Palebon. Kata Palebon sendiri berasal dari kata lebu, yang berarti tanah atau prathiwi.
Dalam konteks spiritual, Palebon berarti menjadikan tanah atau abu, yang berarti bahwa upacara Ngaben adalah proses spiritual mengembalikan tubuh manusia ke asalnya—tanah. Proses ini bisa dilakukan dengan dua cara, membakar jenazah (Ngaben) atau menguburkan jenazah ke dalam tanah (Metanem).
Secara filosofis, Ngaben bertujuan untuk mempercepat proses penguraian ragha sarira (tubuh kasar) agar unsur-unsur penyusunnya kembali ke asalnya, yaitu panca maha bhuta (lima unsur alam: tanah, air, api, udara, dan eter).
Sedangkan untuk atma (roh), Ngaben bertujuan agar ia bisa segera melanjutkan perjalanan menuju alam Pitra dan akhirnya mencapai Moksa, yaitu kebebasan dari siklus kelahiran dan kematian (samsara).
Ngaben berpijak pada lima kerangka dasar kepercayaan Hindu atau Panca Sradha, yaitu: Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), Atman (Roh individu), Karmaphala (Hukum sebab-akibat), Samsara (Roda kelahiran kembali) dan Moksa (Kebebasan spiritual tertinggi).
Namun, secara lebih khusus, Ngaben juga menjadi wujud cinta dan bhakti dari anak kepada orang tua atau keluarga kepada leluhur. Ritual ini dikenal juga sebagai Pitra Yadnya, yaitu persembahan suci dan tulus ikhlas kepada para leluhur, sebagaimana disebut dalam Lontar Yama Purwana Tattwa.
Rangkaian Pelaksanaan Upacara Ngaben / Pitra Yadnya
Upacara Atiwa-Tiwa
Kata Atiwa-tiwa berasal dari “Ati” yang berarti berkeinginan dan “Awa” yang berarti terang atau bersih. Maknanya adalah keinginan untuk melaksanakan pembersihan dan penyucian jenazah dari kekuatan Panca Maha Bhuta. Upacara ini juga dikenal sebagai Melelet atau Ngeringkes, yaitu upacara awal untuk mengembalikan kekuatan suci tubuh manusia ke asalnya.
Dalam ajaran Hindu Bali, manusia dianggap terdiri atas huruf-huruf suci atau Sastra Dirga yang berjumlah 108. Ketika manusia lahir, ia diberi kekuatan oleh Sang Hyang Widhi berupa Ongkara Mula, yang dalam tubuh menjelma menjadi tiga kekuatan utama yaitu Sastra Mudra, Sastra Wrestra (Nuriastra), Sastra Swalalita.
Ketiga kekuatan ini memberikan manusia makna lahir (Utpti), hidup (Stiti), dan mati (Pralina). Dalam tubuh, Sastra Wrestra ini terdistribusi ke berbagai bagian tubuh sebagai berikut:
A – Ati Putih
Na – Pusar (Nabi)
Ca – Leher (Cekoking Gulu)
Ra – Tulang Dada (Tulang Keris)
Ka – Telinga (Pangrengan)
Da – Dada
Ta – Mata
Sa – Sendi (Sebuku-buku)
Wa – Ulu hati
La – Bibir
Ma – Mulut
Ga – Punggung
Ba – Bahu
Nga – Hidung
Pa – Paha
Ja – Penutup Usus
Ya – Empedu
Nya – Simbol Kama (Smara)
Setelah meninggal, semua kekuatan ini dikembalikan ke Ongkara Mula melalui ritual Ngeringkes. Jenazah kemudian dianggap siap untuk diarak menggunakan paga atau wadah, bukan lagi dijinjing seperti jenazah yang belum menjalani penyucian (Petra).
Upakara-upakara dalam Atiwa-Tiwa
1. Munggah di Kemulan
Peras, soda, daksina, suci alit asoroh, tipat kelanan, canang suci.
2. Munggah di Surya
Peras, soda, daksina, tipat kelanan, canang pesucian.
3. Di samping Jenazah
Peras, soda, daksina, tipat kelanan, banten saji pitara asele, peras pengambean, penyeneng, rantasan, eteh-eteh pesucian, pengulapan, prayascita, bayekawonan, banten isuh-isuh, lis degdeg, bale gading.
4. Pepegatan
Pejati asoroh, banten penyambutan pepegatan angiyu, lesung, segehan sasah 9 tanding.
5. Pengiriman
Pejati lengkap 4 soroh, saji pitra asele, punjung putih kuning, tipat pesor, nasi angkeb, peras pengambean, segehan sasah 9 tanding.
6. Pengentas Bambang
Pejati lengkap asoroh, tumpeng barak, soda barak, ulam ayam biying mepanggang, prayascita, bayekawonan, pengulapan, segehan barak atanding.
7. Di Sanggah Cucuk
Pejati asoroh, canang payasan, banten peras tulung sayut.
Jenis-jenis Upacara Ngaben
1. Pengabenan Ngewangun
Upacara Ngaben dengan perlengkapan penuh, yang menyimbolkan seluruh bagian tubuh.
Sawa Pratek Utama: Menggunakan jenazah asli.
Nyawa Wedana: Tanpa jenazah, menggunakan simbol berupa kayu cendana yang digambari aksara Sangkan Paraning Dumadi.
2. Pengabenan Pranawa
Fokus pada penyucian 9 lobang tubuh manusia (Nawa Pranawa):
Udana – Kening
Kurma – Mata
Krkara – Hidung
Prana – Mulut
Dhananjya – Kerongkongan
Samana – Perut
Naga – Lambung
Wyana – Sendi
Apana – Kemaluan
Jenis-jenis Pranawa:
Sawa Pranawa
Kusa Pranawa
Toya Pranawa
Gni Pranawa
Sapta Pranawa
3. Pengabenan Swastha
Ngaben sederhana tanpa upacara pengaskaran. Hanya menggunakan peti jenazah dan penusangan.
Swastha Geni: Dilakukan di setra.
Swastha Bambang: Dilakukan di atas makam.
Kerthi Parwa: Untuk korban gugur perang.
Ngelanus: Dilakukan cepat.
Sub-jenis Ngelanus ada dua yaitu, Ngelanus Tandang Mantri yang bermakna hanya untuk Wiku, selesai dalam 1 hari. Dan Ngelanus Tumandang Mantri: Untuk walaka, selesai dalam 1–2 hari.
Ngaben bukan sekadar upacara pembakaran jenazah, tetapi sebuah perjalanan spiritual yang dalam—baik bagi jiwa yang pergi maupun keluarga yang ditinggalkan. Melalui nyala api suci, doa, dan sarana upacara yang kaya simbolisme, masyarakat Bali menjaga harmoni antara alam, manusia, dan roh leluhur.
Di tengah modernitas, Ngaben tetap lestari, membuktikan bahwa spiritualitas dan tradisi bukanlah penghalang kemajuan, melainkan pondasi kokoh bagi jati diri dan keberlanjutan budaya. [UN]