Ilustrasi Mozaik Deklarasi kemerdekaan Filipina. (Foto: tirto.id/Sabit)

Di Samudra Pasifik bagian barat, ribuan pulau kecil membentuk satu kesatuan yang disebut Filipina, sebuah negeri yang tak hanya kaya secara geografis, tetapi juga sarat akan sejarah panjang dan pergulatan identitas.

Tanggal 12 Juni, setiap tahun, menjadi momen yang membangkitkan kembali ingatan kolektif rakyatnya akan hari di mana kemerdekaan pertama kali diumumkan.

Namun, seperti halnya banyak kisah perjuangan bangsa lain, kemerdekaan Filipina bukanlah hasil dari satu hari perayaan saja. Ia adalah hasil dari berabad-abad penindasan, perlawanan, dan keteguhan hati sebuah bangsa yang ingin berdiri di atas kaki sendiri.

Lebih dari 120 tahun silam, di tahun 1898, Jenderal Emilio Aguinaldo memimpin sebuah deklarasi bersejarah yaitu kemerdekaan Filipina dari kekuasaan kolonial Spanyol. Di Cavite, bendera Filipina dikibarkan untuk pertama kalinya, dan lagu kebangsaan diperdengarkan kepada publik, sebuah simbol bahwa rakyat negeri ini telah menemukan suara mereka sendiri.

Tapi butuh waktu hingga tahun 1962, di bawah kepemimpinan Presiden Diosdado Macapagal, untuk menjadikan 12 Juni sebagai hari libur nasional resmi, memperkuat makna sejarah hari tersebut dalam jalinan kehidupan masyarakat Filipina.

Namun sejarah Filipina jauh lebih kompleks dan panjang dari satu hari itu. Melansir laman National Today, selama lebih dari tiga abad, negeri ini berada di bawah bayang-bayang kolonialisme Spanyol. Filipina bahkan diberi nama berdasarkan nama Raja Philip II dari Spanyol.

Segalanya bermula pada tahun 1521 ketika Ferdinand Magellan, sang penjelajah Portugis yang mengabdi pada mahkota Spanyol, menginjakkan kaki di kepulauan ini. Ambisinya untuk menundukkan kepala-kepala suku lokal digagalkan oleh keberanian seorang pemimpin pribumi bernama Lapu-Lapu.

Dalam bentrokan berdarah yang membakar pantai Mactan, Magellan tumbang—dan Lapu-Lapu pun dikenang sebagai pahlawan pertama Filipina.

Meski sempat gagal, Spanyol tidak menyerah. Pada 1565, Miguel Lopez de Legazpi membawa ekspedisi besar yang akhirnya berhasil mendirikan koloni tetap di tanah ini.

Kota Intramuros dibangun dan pada 1571 berganti nama menjadi Manila, yang kemudian menjadi ibu kota koloni. Di bawah kekuasaan kolonial, sistem feodal ditegakkan. Tanah dikuasai oleh penjajah, dan rakyat Filipina menjadi pekerja di tanah leluhur mereka sendiri.

Namun, penindasan melahirkan kesadaran. Pada abad ke-19, bara nasionalisme mulai menyala. Di antara tokoh paling berpengaruh pada masa ini adalah José Rizal, seorang intelektual dan penulis yang melawan dengan pena, bukan senjata.

Karya-karyanya seperti Noli Me Tangere dan El Filibusterismo menggugah hati nurani bangsanya. Ia menyerukan reformasi, bukan revolusi. Tapi justru karena ketajaman pikirannya, Rizal dibungkam. Ia ditangkap, diasingkan, dan akhirnya dieksekusi pada 30 Desember 1896. Meski tak mengangkat senjata, kematiannya justru menyulut gelombang perlawanan yang lebih luas.

Di tengah gelora itu, Andres Bonifacio membentuk Katipunan, organisasi rahasia yang memilih jalan revolusi. Pada bulan Agustus 1896, rakyat Filipina mengangkat senjata. Tak lama kemudian, Perang Spanyol-Amerika meletus pada 1898.

Saat armada Spanyol dikalahkan oleh pasukan Amerika di Teluk Manila, Emilio Aguinaldo melihat peluang dan menyatakan kemerdekaan Filipina.

Sayangnya, mimpi itu harus tertunda. Setelah menyingkirkan Spanyol, Amerika Serikat mengambil alih kekuasaan. Aguinaldo ditangkap pada 1902, dan Filipina kembali jatuh ke tangan penjajah, meskipun kali ini dengan wajah yang berbeda.

Di bawah Amerika, Filipina mengalami sejumlah perubahan. Pada 1935, statusnya berubah menjadi persemakmuran, dengan janji kemerdekaan penuh di masa depan. Pendidikan diperluas, guru-guru dari AS didatangkan, dan tingkat literasi meningkat. Namun sebelum janji itu terwujud, dunia kembali dilanda perang.

Pada 1941, Jepang menyerbu Filipina. Manila jatuh, dan rakyat kembali berjuang di bawah pendudukan asing. Namun harapan tidak padam. Pada Oktober 1944, pasukan Sekutu kembali, dan perang akhirnya berpihak pada rakyat Filipina. Tepat pada 4 Juli 1946, kemerdekaan penuh diberikan, dan Manuel Roxas diangkat sebagai presiden pertama republik yang kini bebas menentukan nasibnya sendiri.

Kini, lebih dari tujuh dekade setelah kemerdekaan itu, Filipina berdiri sebagai negara demokratis yang dinamis, bagian dari komunitas global. Negara ini berkembang sebagai pasar ekonomi yang penting di Asia Tenggara, dengan sektor pariwisata yang memainkan peran besar dalam perekonomian nasional.

Namun sejarah panjangnya dari Lapu-Lapu hingga Rizal, dari Aguinaldo hingga Roxas masih hidup dalam benak rakyatnya. Setiap 12 Juni, bendera berkibar bukan hanya sebagai simbol kebanggaan, tapi sebagai pengingat bahwa kemerdekaan bukan hadiah, melainkan hasil dari perjuangan yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. [UN]