Ilustrasi: Aksi 212/AP

Koran Sulindo – Polda Metro Jaya menangkap 5 orang atas dugaan kasus makar Jumat dinihari (31/3). Kelimanya merupakan pentolan aksi 313 yang sedianya akan berunjuk rasa hari ini di Istana Negara, Jakarta. Salah seorang diantaranya adalah pimpinan Aksi 313, M Al Khathath yang juga Sekjen Forum Umat Islam (FUI).

Saat ini kelimanya ditahan di Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Kelima orang tersebut juga langsung ditetapkan sebagai tersangka.

“Mereka diamankan terkait permufakatan makar. Barang buktinya adalah tersangka langsung. Kalau sudah ditangkap sudah tersangka,” kata Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda Metro Jaya, Kombes Raden Prabowo Argo Yuwono, di Jakarta, Jumat (31/3), seperti dikutip tribratanews.com.

Dari informasi yang dihimpun, 5 orang tersangka makar itu, selain Al Khathath, adalah Zainudin, Arsyad Irwansyah, Diko Nugraha, dan Andry.

Diko adalah mantan suami Ketua Bawaslu DKI Jakarta, Mimah Susanti.

Hari ini organisasi masyarakat (ormas) Islam menggelar aksi bertajuk 313 yang dipelopori Forum Umat Islam (FUI), aksi tersebut bertujuan mendesak Presiden Joko Widodo untuk mencopot jabatan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) karena telah ditetapkan sebagai terdakwa atas kasus penodaan agama.

Aksi itu dimulai dengan sholat Jumat berjamaah di Masjid Istiqlal. Usai itu mereka mulai berdatangan ke kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat. Selanjutnya akan melakukan long march ke Istana Negara.

Mereka datang berjalan kaki dari Istiqlal. Mayoritas mengenakan baju koko berwarna putih dan kopiah putih. Sebagian ada yang membawa bendera bertuliskan kata-kata tauhid.

Namun massa tak diizinkan mendekati Istana.

“Ditahan di Patung Kuda. Ada peraturan yang mengatur tidak boleh mendekat ke istana,” kata Argo, di lokasi itu, seperti dikutip ntmcpolri.info.

Menurut Argo, merujuk Peraturan Gubernur DKI Nomor 228 Tahun 2015 (tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum pada Ruang Terbuka), demonstrasi hanya boleh dilakukan di tempat yang telah ditentukan, yaitu Parkir Timur Senayan, Alun-Alun Demokrasi DPR/MPR, dan Silang Selatan Monumen Nasional (Monas).

Selama aksi itu Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat ditutup dengan dipasang penghalang jalan dari beton dan kawat berduri, ditempatkan di depan Kementerian Pariwisata.

Tidak hanya barikade, sejumlah mobil Polri yang kerap digunakan untuk menangani massa, mobil Baracuda dan mobil water cannon, terparkir di tengah jalan.

Di antara Baracuda dan Water Cannon terparkir dengan penghalang jalan, terdapat puluhan pakaian pelindung serta tameng polisi menghadapi massa.

Makar Aksi 212

Pada Jumat 2 Desember 2016, polisi menangkap 11 aktivis yang disebut akan melakukan upaya makar. Mereka dinyatakan berniat memanfaatkan lautan massa pada aksi 212 untuk digiring ke DPR, lalu memaksa MPR melaksanakan sidang istimewa dan membentuk pemerintahan baru.

Mereka adalah Kivlan Zein, Adityawarman Thahar, Ratna Sarumpaet, Firza Huzein, Eko Santjojo, Alvin Indra, Rachmawati Soekarnoputri, Sri Bintang Pamungkas, dan kakak beradik Rizal dan Jamran.

Polisi menjerat dengan Pasal 107 Juncto Pasal 110 Juncto Pasal 87 KUHP tentang Perbuatan Makar dan Pemufakatan Jahat untuk Melakukan Makar. Pasal itu mengatur barang siapa yang memimpin ataupun mengatur makar terancam pidana penjara seumur hidup atau penjara sementara maksimal 20 tahun.

Rizal dan Jamran juga dijerat dengan Pasal 28 UU ITE.

Selain 10 tersangka makar, musisi Ahmad Dhani juga ditangkap dengan jeratan Pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Penguasa.

Dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR, pada 5 Desember 2016, polisi membeberkan latar belakang penangkapan sejumlah aktivis yang diduga melakukan pemufakatan makar itu.

Kapolri  Tito Karnavian mengatakan dari informasi intelijen, para tersangka makar ini secara intensif berkomunikasi dengan demonstran. Disinyalir mereka ingin membelokkan agenda massa yang tergabung dalam aksi damai doa bersama untuk agenda mereka sendiri, yakni menduduki gedung DPR dan MPR.

“Kami melihat gerakan itu,” kata Tito, di Gedung DPR, Senin (5/12/2016), seperti dikutip dw.com.

Menurut Tito, para pengunjuk rasa tak mau ditunggangi, meskipun ada beberapa orang yang sudah dibayar untuk membelokkan massa ke DPR. [DAS]