Ilustrasi

Koran Sulindo – Prof. Dr. Mahfud MD, mantan Ketua MK, meminta agar membedakan kasus Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan organisasi massa lain yang melakukan aksi sweeping. Jika ormas-ormas yang melakukan sweeping itu ada prosedur seperti ada surat peringatan hingga 3 kali, namun tidak demikian dengan HTI.

“Bahwa diperingatkan sekali, 2 kali, 3 kali, itu diperuntukkan buat ormas lain yang suka sweeping. Tapi untuk kasus HTI langsung mencoba mengubah dasar ideologi negara, mau diganti. Kalau itu clear sudah, dipidatokan di mana-mana, dikampanyekan di mana-mana. Secara hukum pidana kalau langkah-langkahnya ke arah tertentu dengan cara melawan hukum, itu makar namanya,” kata Mahfud, usai acara hari jadi ke-186 Kabupaten Bantul, di Pendopo Parasamya, Bantul, Rabu (24/5).

Ditegaskan Mahfud, bahwa segala bentuk dan upaya apapun kalau hal  itu bertentangan dengan ideologi Pancasila, maka harus dihukum secara administratif sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketika ditanyakan apakah saat memberi izin, pemerintah kecolongan, Mahfud mengatakan kemungkinan informasi awal yang diterima pemerintah tidak lengkap sehingga dikeluarkan surat izin untuk badan hukumnya.

“Dulu mungkin informasinya tidak lengkap, sehingga izin dikeluarkan,” ujarnya.

Karena belakangan ini dinilai bertentangan dengan Pancasila, menurut Mahfud, maka secara hukum administrasi harus dibubarkan atau dilarang.

“Fakta-faktanya secara terbuka dan sehari-hari itu mengkampanyekan mengganti negara Pancasila,” tuturnya.

Yang terpenting dari upaya pembubaran itu, lanjut Mahfud, kebenaran hukumnya diungkap di pengadilan.

Menanggapi ihwal HTI akan mengerahkan 1.000 pengacara,. Mahfud tak mempersoalkan. Pengerahan pengacara dalam sebuah persidangan adalah hal biasa. Mahfud lantas mencontohkan saat ada sengketa pilpres lalu, salah satu calon yang tidak terima menyewa puluhan advokat.

“Ya tidak apa-apa, mau seribu atau lima ribu di hadapan hukum tidak ada bedanya,” kata Mahfud lagi. [YUK]