Aksi massa sayap kanan di Venezuela berubah menjadi kekerasan. Oposisi disebut sebagai dalang [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Perkembangan oposisi sayap kanan Venezuela membuat Presiden Nicolas Maduro bereaksi. Ia melihat gelombang aksi oposisi kini menjadi tanda bahaya bagi rakyat Venezuela.

Ia karena itu bersama pemimpin Partai Persatuan Sosialis Venezuela (PSUV) menyerukan kepada pendukungnya untuk turun ke jalan secara besar-besaran pada 19 April lalu melawan gelombang aksi kelompok sayap kanan. Kepada pendukungnya, Maduro mengingatkan ketika pengkhianat bangsa ingin mengkudeta, maka segeralah bersama-sama mempertahankan kekuasaan Republik.

Di samping itu, ia menekankan akan menambah kekuatan rakyat bersenjata menjadi 500 ribu orang di bawah komando Angkatan Bersenjata Bolivarian Nasional (FANB). Kekuatan rakyat itu akan dilengkapi sebuah senjata. Menteri Pertahanan Vladimir Padrino Lopez memastikan FANB akan setia kepada pemerintahan Maduro tanpa syarat.

Para pemimpin oposisi sayap kanan Venezuela yang ikut menggerakkan massa saat ini juga terlibat pada peristiwa kudeta 2002 yang mencoba menjatuhkan Chavez. Mereka sekali lagi menggerakkan basis pendukung reaksioner untuk turun ke jalan menumbangkan pemerintahan Maduro. Kekerasan yang dilakukan kelompok ekstrem sayap kanan terhadap pendukung pemerintah beberapa waktu lalu menelan korban jiwa.

Situasi ini disebut mirip dengan sebuah serangan pada 2014 yang mengakibatkan 43 orang tewas dan ratusan lainnya mengalami luka-luka. Itu sebagai buntut dari pemilihan umum pada Desember 2013. Tujuan aksi tersebut menolak kemenangan Presiden Maduro yang terpilih secara sah dan sesuai konstitusi.

Situasi Venezuela
Situasi yang terjadi di Venezuela disebabkan krisis ekonomi dan kenaikan harga yang mencekik leher masyarakat. Pada gilirannya masyarakat menjadi tidak puas terhadap pemerintah sehingga hal tersebut dimanfaatkan oposisi sayap kanan untuk merebut kursi terbanyak di Majelis Nasional pada 2015.

Protes oposisi bermula dari keputusan Mahkamah Agung yang mengambil kewenangan Majelis Nasional pada 29 Maret lalu. Alasannya Majelis Nasional disebut telah menghina pengadilan sejak Juli 2016. Terlebih lagi Majelis Nasional tidak mau memberi sanksi kepada tiga anggota legislator dari kelompok sayap kanan yang terbukti melakukan pidana pemilihan umum 2015.

Segera setelah keputusan itu, oposisi sayap kanan lalu menyebarkan tudingan melalui media sosial, dan pers internasional sekaligus mengecam pemerintahan Maduro. Ini kemudian dijadikan sebagai dasar turun ke jalan dengan menggunakan kekerasan.

Massa pro-sayap kanan lalu membakar gedung Mahkamah Agung, merusak bangunan-bangunan pemerintah. Massa juga melemparinya dengan batu dan juga menyasar aparat kepolisian. Para demonstran oposisi sayap kanan itu juga melepaskan tembakan ke pemukiman Kota Sosialis Ali Primera yang didirikan untuk warga miskin pada 2014. Seorang bocah berusia 13 tahun bernama Bryan Principal tewas akibat tembakan itu.

Laporan liberationnews.org pada 20 April kemarin menyebutkan, gelombang aksi oposisi tersebut disponsori Amerika Serikat (AS) dan Organisasi Regional Amerika (OAS). Buktinya sebanyak 34 anggota Kongres AS menandatangani surat pada 8 Februari lalu untuk Presiden Donald Trump menuntut peningkatan sanksi kepada pejabat Venezuela karena dituduh korup dan melanggar hak asasi manusia.

Mereka juga berupaya memfitnah para pemimpin PSUV seperti Wakil Presiden Tarek El Aissami dan Wakil Presiden PSUV Diosdado Cabello. Padahal tuduhan kepada para pemimpin PSUV itu tidak pernah terbukti. [KRG]