Koran Sulindo – Menteri Koordinator bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Pandjaitan meminta Presiden Joko Widodo agar tidak lagi mengimpor garam, karena itu membuat harga garam jadi turun. Apalagi jika impor dilakuakan pada saat panen garam lokal.
“Karena dengan kita dapat 5.270 hektar ya yang di Kupang, itu produksi garam industri kita sudah sampai kepada tambah 800-an ribu ton pada 2021. Jadi sebenarnya kita ndak usah lagi impor-impor,” kata Luhut, usai mendampingi Presiden Jokowi menghadiri Pembukaan Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), di Istana Negara, Jakarta, Selasa (22/7/2019), seperti dikutip setkab.go.id.
Namun karena tambahan produksi garam itu diprediksi terjadi tahun 2021, Luhut menyarankan agar mulai sekarang secara bertahap impor garam dikurangi.
“Sekarang ini saya sarankan Presiden tadi eloknya enggak udah ada impor-impor lagi lah itu bikin jadi kacau itu,” katanya.
Sementara persoalan industri makanan minuman yang tetap memerlukan garam industri, Luhut meyakini kalangan industri sudah mempunyai stok garam dalam jumlah yang cukup.
“Ya kalau sudah ada ngapain impor-impor. Sekarang yang bikin current deficit kita itu kan anu, terlalu banyak impor, kita enggak produksi,” kata Luhut.
Pada 2019, realisasi impor garam untuk kebutuhan industri di semester I-2019 mencapai sekitar 1,2 juta ton dari alokasi impor yang diberikan di awal tahun sebesar 2,7 juta ton untuk 55 perusahaan.
Harga garam di petambak misalnya sempat jatuh. Harga garam konsumsi di tingkat petambak di Cirebon, Jawa Barat sempat menyentuh angka Rp400 per kilogram (kg), padahal normalnya Rp750-800 per kg.
GAPMMI
Sebelumnya, Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S. Lukman, mengatakan industri makanan dan minuman mengalami kekurangan pasokan garam industri, sedangkan stok saat ini untuk kebutuhan kurang dari satu bulan.
“Total itu ada 30 ribuan ton. Itu nggak sampai sebulan, kan bahaya,” kata Adhi, dalam suatu forum diskusi di Hotel Millenial, Jakarta, Rabu (17/7/2019) lalu, seperti dikutip antaranews.com.
Menurut Adhi, industri makanan dan minuman pada 2019 diberi slot impor garam industri sekitar 300 ribu ton. Jumlah tersebut belum bisa mencukupi untuk produksi industri makanan dan minuman, karena kebutuhan bahan baku garam untuk industri tersebut mencapai 500 ribu ton per tahun.
Jika bahan baku garam tak bisa dipenuhi maka industri makanan dan minuman dalam negeri terancam tak bisa produksi.
Sementara produksi garam lokal memiliki kadar air tinggi sehingga tidak bisa digunakan untuk bahan baku industri makanan dan minuman.
“Ya kalau lokal ada kita pasti beli. Kebanyakan stok yang ada kadar airnya tinggi, kita butuh untuk industri mamin yang kadar air 0,5 persen, yang ada di atas empat persen,” kata Adhi.
GAPMMI sudah mengajukan tambahan impor garam industri mencapai 250 ribu ton guna menutupi kekurangan stok tersebut. Hingga saat ini, usulan tersebut masih dalam pembahasan pemerintah.
Kembali jadi Kebutuhan Pokok
Sebelumnya, minggu lalu, Kemenko Kemaritiman mengusulkan agar garam masuk kembali menjadi salah satu kebutuhan pokok dan barang penting agar memiliki ketetapan harga jual atau Harga Pokok Penjualan (HPP). Usul itu untuk tidak merugikan petambak tradisional.
Garam dikeluarkan sebagai salah satu kebutuhan pokok dan barang penting dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Harga Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Padahal, dengan dikeluarkannya garam sebagai kebutuhan pokok, pemerintah jadi tidak bisa menetapkan HPP garam.
“Tadinya garam itu masuk barang kebutuhan pokok dan barang penting, tapi kemudian Perpres diubah dan garam dikeluarkan dari Perpres yang baru, Perpres 71/2015,” kata Deputi II Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Maritim, Agung Kuswandono, di Jakarta, Jumat (12/7/2019), seperti dikutip antaranews.com.
Menurut Agung, alasan dikeluarkannnya garam dari kategori kebutuhan pokok dan barang penting karena konsumsi per kapitanya yang hanya 3,5 kilogram per tahun dan tidak mempengaruhi inflasi. Namun, pengeluaran garam dari Perpres tersebut dinilai tidak berpihak pada kelangsungan 400 industri yang bergantung pada garam serta kondisi petambak garam.
“Secara sosial ekonomi, kami menganggap garam ini penting dan masuk barang kebutuhan pokok. Maka Kemenko Maritim mengusulkan agar garam bisa masuk kebutuhan pokok dan barang penting,” katanya.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) hingga Kemenko Perekonomian juga akan dilibatkan atas usulan tersebut. Penentuan HPP garam nantinya harus diikuti oleh peningkatan mutu. Saat ini kualitas garam masih rendah sehingga harga jual dan serapannya pun rendah.
“Kami ingin garam yang masuk dalam kebutuhan pokok adalah garam dengan kualitas K1. Kalau masuk ke Perpres dipatok, misalnya Rp1.000 per kilogram,” kata Agung. [Didit Sidarta]