Koran Sulindo – Indonesia baru-baru ini mengeluarkan peraturan baru yang mempermudah pemerintah untuk menggunakan jasa organisasi sosial. Hal ini mencerminkan pergeseran dalam hubungan antara pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia.
Peraturan Presiden No. 16 Tahun 2018 tentang pengadaan barang dan jasa publik berpotensi meningkatkan jangkauan dan kualitas layanan untuk masyarakat miskin dan terpinggirkan. Mereka adalah kelompok masyarakat yang tinggal di daerah terpencil dan terisolasi, kelompok minoritas agama dan etnis, kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak dan orang muda, dan orang-orang dengan disabilitas–yang sering kali tidak terjangkau oleh layanan pemerintah.
Peraturan ini juga dapat memberikan akses ke pendanaan yang sangat dibutuhkan untuk LSM kecil dan organisasi berbasis kepercayaan yang memiliki kemampuan dalam memenuhi kebutuhan orang-orang yang secara sosial dan ekonomi terpinggirkan.
Ketergantungan kepada Donor Luar Negeri
Sebuah survei menunjukkan bahwa LSM di tingkat nasional dan provinsi biasanya bergantung pada donor internasional untuk pendanaan, sementara organisasi tingkat lokal mengandalkan dana yang mereka hasilkan sendiri–misalnya, melalui usaha kecil-kecilan. Baik di tingkat nasional dan lokal, pendapatan LSM hanya sedikit dari dana pemerintah.
Ketergantungan pada dana donor internasional atau luar negeri problematis. Banyak pemberi donor dari negara-negara Barat mengurangi bantuan mereka karena Indonesia beranjak naik menjadi negara berpenghasilan menengah ke bawah. Pengurangan ini akan memiliki dampak yang signifikan terhadap kemampuan LSM Indonesia untuk memberikan layanan secara efektif–atau dalam beberapa kasus untuk beroperasi sama sekali.
Sumber pendanaan domestik
Di banyak negara, lembaga pemerintah bekerja sama dengan LSM untuk memberikan layanan publik seperti kesehatan, pendidikandan sanitasi. Kerja sama terlaksana dalam berbagai bentuk, termasuk nota kesepahaman, kontrak dan dana hibah.
Di Indonesia, pemerintah nasional dan lokal menyediakan sejumlah dana untuk layanan sosial dan masyarakat. Dana bantuan sosial (bantuan sosial, bansos), misalnya, dapat digunakan untuk program atau kegiatan yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, pengurangan kemiskinan, atau bantuan bencana. Tetapi dana tersebut umumnya hanya disediakan untuk satu kali kegiatan saja. Ini membuat dana bantuan sosial tidak cocok untuk organisasi yang menyediakan layanan yang berkelanjutan.
Pada tahun 2011, Indonesia mengesahkan undang-undang tentang bantuan hukum (UU No. 16 2011). Undang-undang ini memungkinkan lembaga bantuan hukum yang terakreditasi mengklaim pendanaan pemerintah untuk jasa penasihat hukum untuk klien yang miskin. Namun, kerja sama antara LSM-pemerintah formal semacam ini relatif jarang dilakukan.
Hasil dari Advokasi
Sebelum Peraturan Presiden No 16 2018 disahkan, peraturan pengadaan jasa dan barang publik di Indonesia hanya mengizinkan usaha komersial untuk mengajukan penawaran kontrak dengan pemerintah. Ini berarti LSM yang ingin mengajukan penawaran kontrak dengan pemerintah harus mendirikan perusahaan terbatas atau PT terlebih dahulu.
Perubahan di bawah peraturan presiden yang baru ini adalah hasil dari upaya organisasi penelitian dan advokasi AKATIGA, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) dan Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Organisasi-organisasi ini bekerja dengan Badan Pengadaan Publik Nasional (LKPP) untuk menjelaskan tantangan yang dihadapi LSM dan memberikan masukan ke dalam revisi peraturan.
Hasilnya, organisasi sosial sekarang dapat melakukan penawaran kontrak dengan pemerintah yang termasuk dalam kategori proyek swakelola
Tantangan dan Risiko
Perkembangan ini mencerminkan pergeseran selama 15 tahun terakhir dalam hubungan antara pemerintah dan LSM, dari saling curiga menjadi keterbukaan untuk bekerja sama. Aturan ini mengakui peran penting yang dimainkan oleh LSM dalam pembangunan Indonesia. Meski demikian masih ada beberapa tantangan yang harus di hadapi.
Perubahan peraturan pengadaan jasa dan barang publik bisa menguntungkan LSM yang memberikan layanan tetapi akan kurang bermanfaat bagi organisasi penelitian dan advokasi. Organisasi-organisasi ini juga melayani fungsi penting, dengan memperdalam pemahaman masalah sosial, ekonomi dan politik dan memberikan informasi mengenai pengembangan dan implementasi kebijakan publik.
Untungnya, revisi yang dilakukan menyertakan bagian baru tentang pengadaan penelitian. Ini memungkinkan berbagai pelaku penelitian, termasuk universitas dan lembaga think tank non pemerintah, untuk tender kontrak pemerintah untuk penelitian. Ini adalah hasil dari masukan yang diajukan melalui LSM riset dan advokasi kepada LKPP dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Mengingat bahwa 78% kasus korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Indonesia (KPK) pada tahun 2016 terkait dengan pengadaan barang, korupsi tetap merupakan risiko. Salah satu cara untuk mengatasi ini adalah dengan memastikan proses pengadaan yang terbuka dan transparan. Cara lain adalah dengan meningkatkan tata kelola sektor LSM secara keseluruhan, bisa dengan pengembangan standar baku untuk LSM untuk tata kelola dan akuntabilitas.
Membuatnya Bekerja
Selama 15 tahun terakhir, Indonesia telah memangkas tingkat kemiskinan lebih dari separuhnya, dari 24% pada tahun 1999 menjadi 11% pada tahun 2014. Tetapi ketimpangan terus meningkat, dan menjangkau mereka yang berada di paling bawah akan lebih sulit.
Banyak organisasi berbasis kepercayaan dan LSM telah mengembangkan jaringan yang kuat di komunitas lokal dan telah membangun institusi dan struktur untuk pelayanan masyarakat. Jika pemerintah ingin mencapai target penurunan tingkat kemiskinan dan target pembangunan manusia, pemerintah perlu bekerja dengan organisasi-organisasi ini untuk memperluas dan meningkatkan layanan bagi mereka yang paling membutuhkan. Daripada menyiapkan infrastruktur layanan baru, pemerintah dapat memanfaatkan apa yang sudah ada.
Menerjemahkan perubahan dalam peraturan menjadi layanan yang lebih baik bagi masyarakat tentunya harus melibatkan LSM dan pemerintah untuk bekerja dalam kemitraan yang tulus, saling percaya dan menghormati. Kedua mitra harus memastikan bahwa mereka tetap bertanggung jawab satu sama lain dan kepada komunitas yang mereka layani. [Elisabeth Jackson, Knowledge Exchange and Learning Lead, Knowledge Sector Initiative, RTI International, Australia]. Tulisan ini disalin dari The Conversation Indonesia.