Koran Sulindo – Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memperpanjang penerimaan permohonan perlindungan melalui platform online tanpa interaksi langsung hingga 21 April 2020 nanti.
“Kebijakan LPSK menghentikan sementara layanan permohonan perlindungan dengan cara datang langsung ke kantor LPSK diperpanjang hingga 21 April 2020 dan akan dilakukan evaluasi lagi setelahnya,” kata Wakil Ketua LPSK, Edwin Partogi Pasaribu, di Jakarta, Jumat (3/4/2020).
Namun untuk saksi dan korban yang keselamatan jiwanya sangat terancam, Edwin Partogi mempersilakan pemohon untuk datang langsung ke kantor LPSK.
Dalam kondisi wabah COVID-19, kecepatan dan ketepatan LPSK dalam menelaah kasus-kasus dari permohonan yang masuk terkendala, utamanya kasus yang memerlukan penilaian medis kepada korban tindak pidana.
Sejumlah kendala LPSK dalam melakukan penilaian medis adalah ketersediaan dokter, keterbatasan moda transportasi apalagi apabila permohonan dari luar Jakarta dan kesediaan korban untuk dikunjungi.
Selanjutnya penutupan wilayah yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia serta kebijakan sebagian kepala daerah yang mengharuskan setiap pendatang melakukan isolasi diri selama 14 hari.
Sebelumnya, LPSK merencakanakan program ini hanya sampai 31 Maret 2020.
Kebijakan LPSK itu memiliki konsekuensi penurunan intensitas pendalaman, penelaahan atau investigasi terhadap permohonan perlindungan yang masuk ke LPSK. LPSK meminta pemohon berperan aktif melengkapi segala informasi yang dibutuhkan dalam proses investigasi.
Meski membatasi kontak langsung, dalam kondisi yang sangat mendesak, LPSK akan menurunkan tim investigasi lapangan
Pembatasan itu juga berlaku pada pelaksanakan program perlindungan, seperti pendampingan saksi dalam pemeriksaan pihak kepolisian atau dalam proses sidang di pengadilan.
“Pelaksanaan perlindungan yang membutuhkan perjalanan jauh akan tetap dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat urgensi,” kata Ketua LPSK, Hasto Atmojo Suroyo, di Jakarta, 18 Maret 2020.
Paling Banyak Pelanggaran HAM
LPSK mencatat permohonan pada Maret 2020 sebanyak 255 permohonan, dengan paling banyak permohonan dari kasus pelanggaran HAM berat sebanyak 99 permohonan, disusul kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) 53 permohonan, kasus kekerasan seksual anak 31 permohonan, tindak pidana lain sebanyak 44 permohonan, penganiayaan berat 40 permohonan. Sisanya, permohonan dalam kasus pidana lain seperti korupsi, penyiksaan dan lain-lain.
“Angka tersebut menunjukkan bahwa pandemik COVID-19 ini belum mempengaruhi secara siginifikan jumlah permohonan perlindungan ke LPSK, terutama di awal masa pemerintah menetapkan tanggap darurat,” kata Edwin Partogi.
Angka tersebut berdasar pada rekapitulasi data permohonan yang dibahas setiap minggunya dalam forum Rapat Paripurna Pimpinan LPSK kurun waktu Maret 2020. Sementara permintaan selama Februari 2020 sebanyak 129 permohonan.
Dari total 255 permohonan itu, sebanyak 25 persen di antaranya adalah tindak pidana yang peristiwanya terjadi pada Maret, selebihnya, terjadi pada Januari dan Februari, bahkan sebelum tahun 2020, tetapi baru diajukan permohonannya pada Maret 2020.
Wilayah asal permohonan perlindungan paling banyak DKI Jakarta mencapai 65 permohonan, disusul oleh Sumatera Barat sebanyak 58, D.I Yogyakarta sebanyak 37 dan Jawa Barat sebanyak 28 permohonan
Selama wabah COVID-19, Edwin Partogi mengatakan permohonan lebih banyak diajukan melalui surat untuk menghindari interaksi fisik langsung, meskipun ada pula beberapa pemohon yang masih mendatangi langsung kantor LPSK.
Sebanyak 197 menggunakan surat sebagai media permohonan, datang langsung ke kantor LPSK sebanyak 30 permohonan, 23 menggunakan media elektronik dan sisanya menggunakan media hotline 148. [RED]