Para prajurit Divisi Siliwangi dan keluarga saat siap-siap berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta (Arsip Nasional Belanda)

Long March Siliwangi adalah perjalanan panjang sekitar 600 km yang ditempuh oleh pasukan Divisi Siliwangi. Perjalanan ini dimulai pada 19 Desember 1948 dari Yogyakarta dan Jawa Tengah, yang menjadi target Agresi Militer Belanda II, menuju Jawa Barat, daerah asal pasukan Siliwangi.

Perjalanan ini berbeda dengan Hijrah Siliwangi yang merupakan perpindahan pasukan dari Jawa Barat ke Jawa Tengah-Yogyakarta pasca Perjanjian Renville pada 17 Januari 1948.

Latar Belakang dan Hijrah Siliwangi

Pada awal tahun 1947, Pasukan Siliwangi, unit militer Jawa Barat yang berlogo harimau (maung), diperintahkan untuk meninggalkan kampung halaman mereka. Perintah ini dikeluarkan sebagai hasil perundingan di atas kapal USS Renville.

Anggota Pasukan Siliwangi dari berbagai daerah di Jawa Barat dan Banten melakukan perjalanan ke Jawa Tengah dan Yogyakarta melalui jalur darat dan laut, mematuhi hasil perundingan.

Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, Pasukan Siliwangi turut meredakan berbagai gejolak keamanan seperti Madiun Affair pada September 1948, dan bertahan di sana selama hampir dua tahun hingga Desember 1948.

Dimulainya Long March Siliwangi

Pada Desember 1948, Tentara Belanda menduduki Yogyakarta, yang merupakan pusat aktivitas republik kala itu. Selain mengasingkan para pemimpin, agresi militer ini juga memaksa Pasukan Siliwangi untuk meninggalkan Yogyakarta.

Perintah untuk memulai Long March dikenal sebagai perintah siasat no.1 dengan sandi “Aloha,” yang dikeluarkan langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Letnan Kolonel Daan Yahya memimpin pasukan ini yang terdiri dari batalyon-batalyon yang dipimpin oleh Sudarman, Kosasih, Darsono, Nasuhi, Kemal Idris, Daeng, serta batalyon lain dari Solo.

Rombongan dibagi ke dalam tiga brigade yang diarahkan menuju tujuh lokasi. Brigade pertama di bawah kepemimpinan Kusno Utomo bergerak menuju Bandung, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor.

Brigade kedua di bawah kepemimpinan Sadikin menuju Jawa Barat bagian Utara, dan Brigade ketiga yang dipimpin oleh Samsu menuju daerah Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya. Sebuah batalyon di bawah komando Ahmad Wiranatakusumah disiagakan sebagai pengawal Long March.

Berbeda dengan Hijrah, Long March Siliwangi berlangsung tanpa bantuan dari militer Belanda. Justru, tentara Belanda kerap memberikan gangguan yang mempersulit perjalanan keluarga besar Siliwangi.

Pengeboman udara, pertempuran terbuka, dan penahanan pimpinan Siliwangi menjadi tantangan nyata. Salah satu contoh gangguan serius terjadi di daerah Sukowaluh-Kaliboto, Kebumen pada 22 Desember 1948, di mana serbuan tentara Belanda berujung pada penawanan Letnan Kolonel Daan Yahya dan Daeng yang memimpin rombongan dari Solo.

Selain gangguan dari Belanda, Pasukan Siliwangi juga menghadapi aksi gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Jawa Barat, khususnya daerah pedalaman yang dilewati rombongan, digunakan sebagai daerah persembunyian oleh DI/TII.

Pasukan Siliwangi harus melewati daerah pedalaman ini untuk menghindari wilayah yang dikuasai Tentara Belanda.

Gangguan Alam dan Logistik

Rombongan Long March juga menghadapi tantangan dari situasi alam yang sulit dan kebutuhan logistik yang besar. Kisah heroik perjalanan ini diabadikan dalam film “Darah dan Doa” karya Usmar Ismail dan Sitor Situmorang, yang diproduksi pada tahun 1950, hanya sekitar satu tahun setelah Long March berakhir pada awal tahun 1949.

Long March Siliwangi adalah perjalanan panjang yang penuh dengan kisah heroik dan tragis. Perjalanan ini tidak hanya menjadi simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda tetapi juga menjadi bukti ketangguhan dan semangat juang Pasukan Siliwangi.

Meskipun menghadapi banyak rintangan, mereka berhasil kembali ke Jawa Barat, menunjukkan bahwa semangat perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia tidak akan pernah padam. [UN]