Lion Air dan Isu Keselamatan Penerbangan

Ilustrasi [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Keselamatan penerbangan tampaknya masih sekadar harapan bagi dunia penerbangan dan publik. Tidak hanya di Indonesia, juga meliputi negara-negara lain termasuk Eropa. Dan isu itu tampaknya tepat untuk dibahas jika dikaitkan dengan kecelakaan pesawat udara maskapai Lion Air JT-610 jurusan Jakarta-Pangkalpinang pada 29 Oktober 2018.

Memang, penyebab kecelakaan ini belum bisa dijelaskan karena masih menunggu hasil penyelidikan pihak berwenang terutama Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Dalam keterangannya kepada wartawan, Direktur Utama Lion Air, Edward Sirait mengatakan, kondisi pesawat Lion Air itu memang sempat mengalami kendala teknis sebelum terbang. Namun, kendala teknis tersebut, ia akui sudah ditangani pabrik pesawat.

Boleh jadi apa yang dikatakan Edward itu benarnya adanya. Namun, agar tidak menjadi spekulasi, publik mesti tetap bersabar menunggu hasil penyelidikan tentang penyebab utama kecelakaan tersebut. Tapi, merujuk kepada sebuah tulisan yang dimuat laman resmi Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO); sebuah lembaga di bawah PBB mengutip tulisan pakar psikologi Universitas Manchester, James Reason menyebutkan, kecelakaan pesawat udara, 90 persen adalah karena faktor manusia.

Dengan demikian, penyelidikan atas kecelakaan itu kemungkinan membawa kita pada masalah yang lagi-lagi terkait dengan prosedur standar keselamatan penerbangan. Semisal, kondisi kesehatan fisik dan jiwa seorang pilot. Di Indonesia, kesadaran publik akan keselamatan penerbangan dinilai masih rendah. Padahal, membudayakan pentingnya keselamatan penerbangan merupakan cara ampuh untuk mencegah kecelakaan.

Undang Undang tentang Penerbangan Tahun 2009 mengatur tentang budaya keselamatan itu. Salah satu unsurnya berkaitan dengan tindakan profesional dari awak pesawat sebuah maskapai. Celakanya, unsur ini pula yang kerap tidak dipenuhi oleh sebuah maskapai.

Merujuk kepada UU itu, disebutkan keselamatan penerbangan dapat terwujud apabila memenuhi persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan beberapa unsur yang meliputi wilayah udara, pesawat udara dan navigasi penerbangan. Dengan demikian, persyaratan ini harus dipenuhi secara menyeluruh, tidak boleh setengah-setengah.

Itu sebabnya, isu keselamatan penerbangan di Indonesia masih akan menjadi topik yang penting. Lalu, kesadaran publik mengenai keselamatan penerbangan secara terus-menerus perlu ditingkatkan agar berani menolak penerbangan yang tidak memberikan jaminan dan kepastian keselamatan.

Kesadaran publik itu secara nyata merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai budaya keselamatan. Kendati demikian, kesadaran keselamatan penerbangan itu harus dimulai dari petugas yang berwenang.

Kronologi
Berkaitan dengan kecelakaan pesawat Lion Air itu, Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP), M. Syaugi menuturkan, pesawat jatuh di Tanjung Karawang di kedalaman 30 meter hingga 35 meter dari permukaan laut. Timnya masih menyelam untuk menemukan pesawat dan korban. Awalnya, BNPP menerima informasi dari Pemandu Lalu Lintas Udara (ATC) sekitar pukul 06.50 bahwa pesawat tipe B737-Max itu hilang kontak. BNPP, kata Syaugi, lalu mengklarifikasi informasi itu kepada ATC dan Lion Air. Hasilnya, benar pesawat itu terbang dan hilang kontak.

Lokasi hilang kontak pesawal berada di 25 mil dari Tanjung Priok atau 11 mil dari Tanjung Kerawang. Saat hilang kontak pesawat diinformasikan berada di ketinggian 2.500 meter di atas permukaan laut. Jumlah total penumpang pesawat itu mencapai 189 orang. Pesawat berangkat dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta sekitar pukul 06.10 dan sesuai jadwal harusnya tiba di Pangkal Pinang pukul 07.10 WIB.

Setelah hilang kontak selama 3 jam, pesawat Lion Air dipastikan jatuh di Perairan Karawang, Jawa Barat. Sebelum hilang kontak, pesawat sempat meminta kembali ke pangkalan. Catatan KNKT pada awal tahun ini menyebutkan, kecelakaan penerbangan selama 2017 paling rendah sejak 2012. Hanya ada 7 kecelakaan penerbangan sepanjang tahun itu.

Kecelakaan penerbangan itu juga umumnya berkaitan dengan operasional di landasan pacu. Hanya ada 22 korban luka-luka dan tidak terdapat korban jiwa sepanjang 2017. Kecelakaan itu umumnya karena cuaca buruk. Selama 5 tahun terakhir, demikian KNKT, korban meninggal dunia dalam kecelakaan penerbangan menurun tajam.

Data kecelakaan itu bisa dilihat pada 2012, misalnya, kecelakaan penerbangan mencapai 13 kasus dengan korban jiwa 58 orang. Selanjutnya 2013, dengan 9 kasus, korban jiwa 2 orang; 2014, 8 kasus, dengan korban jiwa 169 orang; 2015, 11 kasus dengan korban jiwa 65 orang; 2016, 19 kasus, dengan korban jiwa 30 orang. [KRG]