Koran Sulindo – Istilah Vivere Pericoloso diucapkan oleh Presiden Soekarno pada 1964, sebagai bagian dari pidato kenegaraan pada peringatan HUT ke-19 RI. Tahun Vivere Pericoloso (disingkat Tavip) pada intinya adalah tahun di mana revolusi Indonesia yang semestinya berjalan ke arah lebih baik, terhambat oleh ranjau-ranjau subversif yang ingin menggagalkannya.
Ranjau-ranjau subversif ini bisa berupa gerakan di luar revolusi (kontra revolusi), gerakan kolonialis baru yang diboncengi para imperialis modern, dan gerakan mendua yakni mereka bersuara lantang mendukung revolusi, namun di sisi lain jauh di lubuk hati mereka memiliki agenda tersendiri.
Bung Karno mengetahui kesejatian dari ranjau-ranjau subversif tersebut. Namun jalan penegakan hukum dan disiplin tidak lagi efektif membendungnya.
Tidak ingin mengikuti kesalahan di era tersebut misalkan gerakan revolusi Senator McCarthy di AS yang melakukan kekerasan dan pembunuhan untuk membendung persebaran komunisme, atau ikuti gaya Mao Zedong pada saat menerapkan gagasan Great Leap Forward agar bisa menyelesaikan revolusi dalam waktu tiga tahun yang mengorbankan 30 juta jiwa. Bung Karno memberikan panasea pada revolusi yang berjalan terhuyung yakni kemawasan diri, kesabaran, dan ketabahan.
Pidato tersebut menginspirasi sekian banyak pemerhati barat, dan bahkan dijadikan judul film yang dibintangi Mel Gibson dan Signourney Weaver tentang Revolusi Indonesia 1965, “The Year Of Living Dangerously.”
Mereka mengerti esensi pidato Bung Karno, dan barangkali menyayangkan akhir dari upaya pidato itu tidak benar-benar dimengerti.
Pahami ke Arah Mana Panah Eksploitasi Mengarah
Soekarno dalam pidatonya menyebutkan dua jenis eksploitasi, “explotation der l’homme par l’homme” (exploitasi oleh manusia atas manusia) dan “exploitation der l’nation par l’nation” (explotasi oleh bangsa atas bangsa). Beliau tidak ingin manusia menundukkan manusia lain, memerahnya tidak didasarkan pada kerjasama dan gotong royong untuk kesejahteraan kedua belah pihak. Dan tidak ingin suatu bangsa melakukan eksploitasi pada bangsa lain tidak dengan kontrak yang adil. Dan tentu saja pidato itu bukan untuk mereka yang berada di era Soekarno, melainkan apa yang dirasakan pada era saat ini.
Pengalaman itu Penting
Menurut sejarawan Kuntowijoyo pengalaman adalah guru paling sontoloyo, dan mestinya Anda belajar dari pengalaman orang lain. Dan tentu saja bagi Bung Karno dalam pidatonya, pengalaman buruk sudah dirasakan jauh-jauh hari oleh Indonesia, saat gerakan mereka yang tidak sabar ingin meruntuhkan negara. Tidak cukupkah, kata Bung Karno, pengalaman pemberontakan demi pemberontakan perebutan kekuasaan di Meksiko yang menjadikan negara itu yang merdeka sejak abad 17 malah memulai pembangunan di abad 20?
Revolusi itu Dinamis
Artinya revolusi itu tidak mensyaratkan situasi penuh ketegangan, situasi penuh nestapa, situasi selalu dalam kondisi tidak siap akan perubahan yang akan berlangsung. Inilah yang menjadi jawaban mengapa Bung Karno seolah tidak terkejut saat Jenderal-jenderalnya diculik dan dibunuhi dalam plot perebutan kekuasaan yang absurd. Bung Karno melihatnya sebagai bentuk perubahan cepat dari revolusi, siapa kawan, siapa lawan, dari kubu yang mana mudah berubah, dan siapapun harus mampu berdiri tenang di penghujung paling netral.
Revolusi itu Romantis
Penuh inspirasi, dan mestinya bisa digambarkan dalam jutaan puisi dan novel sejarah, tentang pergulatan hidup, tentang perjuangan suatu bangsa, tentang jiwa pemuda yang tidak lekas puas dengan keadaannya dan ingin membaktikan sesuatu kepada masyarakatnya, dari kubu manapun dan dari bendera manapun dia berdiri. Bung Karno bicara pada semua elemen politik kebangsaan agar bisa memunculkan pahlawan mereka sendiri, para tokoh masa depan yang diasah karena pergulatan hidup, baik dari golongan Islam, dari golongan nasionalis, dan (tentu saja di era itu) komunis.
Revolusi itu Dialektika
Bagi Bung Karno, Revolusi itu adalah dialektika, yang dengan demikian mensyaratkan demokrasi. Di mana siapa pun tidak boleh mengekang kebebasan berbicara golongan mana pun, walau itu berbeda matanya dengan golongan Anda. Karena dialektika membutuhkan kubu kubu tesis, antitesis, demi mencapai kesepakatan yang dinamakan sintesis.
Dan sebagaimana kita tahu, Revolusi Indonesia mendadak masuk ICU, di-komakan oleh rezim baru. Dan bukan berarti suatu hari nanti tidak bisa dilanjutkan kembali. Karena pidato Vivere Pericoloso akan selalu ada, dan ditujukan untuk setiap generasi muda yang hadir di Indonesia. [Budi Gunawan Sutomo/DS]