Koran Sulindo – Kementerian BUMN resmi membentuk Holding Migas, dan PT Pertamina (Persero) menjadi induk perusahaan (holding). Akta pengalihan sudah dirampungkan pada 6 April lalu, melewati batas waktu 60 hari penandatanganan Akta Pengalihan Saham, sebagaimana dipersyaratkan pada keputusan RUPS Luar Biasa Perusahaan Gas Negara (PGN) pada 25 Januari 2018 lalu.
“Terlewatinya batas waktu 60 hari dimaksud bukan berarti holding BUMN Migas batal. Sebab, terbentuknya holding secara hukum terjadi saat dilakukannya penandatanganan Akta Pengalihan Saham dimana seluruh hak-hak Negara RI selaku pemegang 56,96 persen saham Seri B di PGN secara hukum telah beralih kepada Pertamina,” kata Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Fajar Harry Sampurno, di Kantor Kementerian BUMN, Jakarta, Rabu (12/4/2018), seperti dikutip antaranews.com.
Menurut Harry keputusan ini akan dikukuhkan kembali pada RUPS Tahunan PGN 26 April 2018.
“Peresmian pembentukan Holding Migas dan Pertamina sebagai induk, ditandai dengan penandatanganan akta pengalihan saham seri B milik negara sebesar 56,96 persen di PGN kepada Pertamina oleh Menteri BUMN Rini Soemarno,” katanya.
Langkah berikutnya setelah ini adalah proses integrasi PT Pertagas (anak usaha Pertamina) ke PGN, yang akan menjadi sub-holding Gas di bawah Pertamina.
“Dengan masuknya PT Pertagas ke PGN maka PGN akan menjadi pengelola midstream sampai distribusi dan niaga gas” katanya.
Menurut Harry, Menteri BUMN juga telah menyetujui perubahan Anggaran Dasar Pertamina soal perubahan atau peningkatan modal dan menyetujui pula integrasi Pertagas ke dalam PGN.
Beberapa pertimbangan yang disampaikan direksi Pertamina dalam mengintegrasikan Pertagas ke dalam PGN, antara lain, lini bisnis yang sama dalam hal transportasi dan niaga gas, serta terdapat potensi penghematan biaya operasional dan belanja modal (capex) karena hilangnya tumpang tindih dalam pengembangan infrastruktur.
Integrasi itu juga dapat menciptakan infrastruktur gas yang terintegrasi, menciptakan kinerja keuangan konsolidasi yang sehat, memperkuat struktur permodalan PGN sehingga membuka ruang untuk meningkatkan kapasitas hutang untuk pengembangan bisnis gas dan meningkatkan setoran dividen serta pajak kepada negara.
Perubahan nama PGN dengan menghilangkan kata “Persero” semata-mata merupakan aspek administratif. PGN akan tetap diperlakukan sama dengan BUMN lainnya untuk hal-hal yang sifatnya strategis. Negara tetap memiliki kontrol terhadap PGN, baik secara langsung melalui kepemilikan saham Seri A Dwiwarna, maupun secara tidak langsung melalui Pertamina selaku induk, seperti diatur dalam PP 72 Tahun 2016.
“Hal strategis, seperti perubahan anggaran dasar dan pengusulan pengurus perusahaan, masih harus dengan persetujuan saham dwi warna, apalagi jika melakukan perubahan struktur modal atau “right issue” tentu harus dengan persetujuan DPR sebagaimana diatur dalam PP 72/2016,” kata Harry.
Pembentukan Subholding
Selain memasukkan PGN ke Pertamina, proses pembentukan holding migas juga akan diikuti dengan penataan anak usaha kedua perusahaan pelat merah itu. Tujuannya untuk membentuk subholding yang dikategorikan berdasarkan sektor usahanya.
Ada empat subholding yang rencananya diletakkan di bawah holding migas.
Pertama, seluruh anak usaha yang dimiliki Pertamina akan diintegrasikan menjadi subholding upstream (hulu). Kedua, ada usaha refinery and petrochemical, yang akan dikonsolidasikan jadi subholding pengolahan. Ketiga, dibentuk subholding pemasaran atau ritel. Kemudian keempat berupa subholding gas.
Dari empat subholding tersebut, yang paling dekat untuk terwujud adalah subholding gas dengan cara memasukkan Pertamina Gas (Pertagas) ke dalam PGN.
Bukan Prioritas
Sementara itu Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai pembentukan holding BUMN migas bukan satu-satunya hal yang penting dilakukan saat ini. Pemerintah harusnya memprioritaskan pembenahan produksi minyak dalam negeri.
“Holding migas akan mengincar sektor gas, padahal yang mesti dibenahi adalah di sektor minyak karena produksi minyak nasional cenderung menurun,” kata pengamat Energi INDEF, Abra Ghani Talattov, di Jakarta, Rabu (11/4/2018).
Tahun ini pemerintah mematok produksi minyak di dalam negeri sebesar 800 ribu barel per hari (bph), lebih rendah dibandingkan 2017 yang sebesar 815 ribu bph. Sedangkan untuk gas dipatok sebesar 1,2 juta barel setara minyak per hari.
Saat ini PT Pertamina (Persero) juga tengah dihadapkan pada masalah pasokan Bahan Bakar Minyak atau BBM Premium yang berkurang. Masalah ini dikhawatirkan akan mengganggu proses pembentukan holding.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyetujui konsep penggabungan usaha BUMN di sektor minyak dan gas ini pada 28 Februari 2018 lalu.
Namun sampai saat ini Peraturan Pemerintah tentang integrasi ini belum juga diterbitkan. Sesuai hasil RUPS PGN, akhir Januari lalu, pengalihan saham pemerintah ke Pertamina, selaku lead holding BUMN migas, batal jika PP holding migas tidak terbit dalam waktu 60 hari pasca RUPS. [DAS]