Letusan Tambora di Yogyakarta Langit Gelap Sepanjang Hari

Koran Sulindo – Letusan Gunung Tambora di abad ke-19 mengubah tak hanya keadaan lingkungan namun sekaligus mengubah situasi politik. Dua kerajaan di Sumbawa musnah akibat letusan dahsyat itu.

Tak hanya mempengaruhi keadan di Sumbawa, letusan Tambora mempengaruhi hampir seluruh Pulau Jawa, Maluku, Sulawesi, Sumatera, dan Kalimantan.

Getaran letusannya saja bahkan terasa sampai ribuan mil dari pusat ledakan dan Pulau Jawa yang berada dalam rentang ratusan kilometer termasuk yang terkena akibat parah.

Langit siang tertutup oleh awan panas dan matahari menghilang dari pandangan, karena tebalnya awan debu yang tak bisa ditembus. Selain itu hujan abu juga menyelimuti rumah-rumah, jalan, ladang, hingga mencapai ketebalan beberapa inchi.

Suara ledakan yang terdengar, seperti suara letusan satu pasukan bersenjata atau petir.

Tanpa mengetahui peristiwa letusan Gunung Tambora, beberapa orang di berbagai tempat di Jawa semula meyakini ledakan tersebut merupakan meriam bajak laut di pantai.

Dalam laporan Batavian Transactions volume ke-9 ditulis letusan pertama Gunung Tambora terjadi malam hari tanggal 5 April 1815 dan terus meletus dengan selang 15 menit sampai keesokan harinya.

“Dari Sumbawa ke Sumatra suara letusan terdengar sampai sejauh 970 mil. Dari Sumbawa ke Ternate, terdengar sampai 720 mil. Sejauh itu pula abu terbawa,” tulis laporan itu.

Di Yogyakarta letusan pertama terdengar lamat-lamat seperti bunyi meriam sehingga orang-banyak orang mengira Kesultanan Yogyakarta diserang musuh. Segera setelah bunyi ledakan, orang-orang sepanjang pantai mulai melakukan pencarian kapal yang diserang itu.

Ketika keesokan harinya abu halus mulai turun di Yogyakarta spekulasi dari mana asal muasal suara ledakan segera menghilang.

Selama berlangsungnya suara ledakan, suara itu bertambah keras dan dianggap makin mendekat. Belanda mengira suara ledakan itu berasal dari Gunung Merapi, Kelud, atau Bromo.

Sehari kemudian, di tanggal 6 April matahari menghilang dari pandangan karena awan hitam menyelimuti langit. Udara panas dan getaran yang terasa menunjukkan akan ada gempa bumi lagi. Kondisi itu berlangsung hingga beberapa hari kemudian.

Sementara abu masih terlihat menenuhi langit sampai tanggal 10 April, sore harinya suara letusan kembali terdengar bahkan lebih keras dan lebih sering dibanding sebelumnya.

Di timur laut daerah Cirebon cuaca juga gelap dan matahari menghilang akibat pekatnya hujan abu. Keadaan serupa terjadi juga di Solo dan Rembang yang getaran tanahnya merusak beberapa rumah. Di hari itu keadaan gelap terjadi sepanjang siang hingga malam dan berlanjut sampai keesokan harinya.

Pada tanggal 12 April, di Solo lilin dinyalakan sejak pukul 4 sore sementara di Magelang jarak pandang hanya puluhan meter saja.

Lebih ke timur mendekati sumber letusan, di Banyuwangi ketebalan abu mencapi 8 inchi, Sumenep 2 inchi dan Gresik lebih lebih tipis lagi.

Di hari yang sama, di Semarang sinar matahari sudah tak terhalang lagi. Hujan abu juga dirasakan sampai ke Sulawesi yang berjarak 270 mil dari Sumbawa.

Banyuwangi menjadi daerah di Jawa yang mengalami hujan abu paling parah sekaligus merusak lahan pertanian dengan sedikitnya 126 kuda dan 86 sapi mati akibat kelaparan.

“Berbagai laporan menyebutkan letusan sedahsyat itu belum pernah terjadi sepanjang ingatan penduduk. Mereka menceritakan peristiwa meletusnya Gunung Agung di Bali yang lebih kecil tujuh tahun sebelumnya. Mereka mengira peristiwa itu berulang lagi,” tulis laporan itu.

Laporan itu juga menyebut orang-orang Bali dan Jawa menghubungkan peristiwa itu dengan pertikaian antar dua raja di Bali yang berakhir dengan kematian raja yang lebih muda.

Hujan abu masih berlangsung sampai tanggal 14 April dan di beberapa tempat sampai tanggal 17 April.

Ketika akhirnya hujan lebat turun beberapa hari kemudian, udara seperti benar-benar dibersihkan dan semuanya kembali sejuk seperti sedia kala. Hujan mencegah dampak lebih parah dari turunnya abu.

Di Banyuwangi hujan membantu petani membersihkan tanaman yang diselimuti abu, sementara di Rembang. Di Batavia, hujan yang terus menerus turun selama dua hari justru membuat orang mulai terserang demam.

Letnan Owen Philips yang berada di Bima, Pulau Sumbawa dalam perjanannya ke Dompo melaporkan bencana yang dialami penduduk sangat mengerikan untuk dikisahkan.

Ia menyebut mayat-mayat bergelimpangan di tepi jalan dan di beberapa tempat perkampungan benar-benar tersapu bersih sementara korban yang masih hidup terancam kelaparan.

“Raja Sangir telah menunggu saya di Dompu pada hari ketiga, menurutnya jumlah kerusakan terbesar ada di Dompo. Bencana itu begitu hebat hingga salah satu putri raja mati kelaparan” tulis Owen.

“Saya menyerahkan beras tiga karung yang diterimanya dengan penurh rasa terima kasih.”[TGU]