Koran Sulindo – Antara 1927 hingga Belanda bertekuk lutut di hadapan Jepang pada 1942 pergerakan para pendiri bangsa Indonesia berada di titik nadir tapi sekaligus sebagai titik tiada jalan lain. Sejak sekitar tahun berdirinya Partai Nasional Indonesia di Bandung itu, rezim kolonial Belanda memasuki fase paling represif dalam abad ke-20. Di sisi sama, rakyat di pedesaan tak lagi memainkan peran politik penting sejak mereka melibatkan diri dalam Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia; yang lalu dihancurkan dengan membuang para pemimpin politiknya ke ujung Papua, Boven Digul.
Sejak itu seluruh kehidupan politik di negeri jajahan, terutama di kota-kota besar, seperti di dalam rumah kaca; selalu dalam pengawasan polisi rahasia Belanda. Tahun-tahun itu, ekonomi dunia juga sedang dilanda depresi besar, yang walau lebih parah menimpa negara-negara kolonialis di Eropa tapi juga merembet pengaruhnya di negeri-negeri jajahan.
Dalam konteks itu, seperti hikmah dalam bencana, Hendrikus (Hendrik) Colijn, seorang prajurit, lalu menjadi pebisnis dan politikus yang kelak menjadi Perdana Menteri Belanda memberi oksigen pada api dalam sekam. Ceritanya, pada sekitar 1927 itu, Hendrik mengeluarkan pamflet. Isinya, kurang dan lebih: “Persatuan Indonesia adalah konsep kosong. Masing-masing pulau dan daerah jajahan ini adalah etnis yang terpisah-pisah sehingga masa depan negeri ini tak mungkin tanpa dibagi dalam wilayah-wilayah.”
Faktanya memang benar terlihat seperti itu. Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915) adalah organisasi yang berisi pemuda-pemuda suku dengan jumlah terbesar itu. Jong Sumatranen Bond (1917) setali tiga uang. Juga Jong Batak, Jong Minahasa, Jong Celebes, Jong Ambon, atau Pemuda Kaum Betawi.
Hendrik, saat itu Menteri Negeri Jajahan, sebenarnya ingin menghapus kesan keberhasilan Kongres Pemuda yang diselenggarakan pada 1926. Ia pasti sudah menerima di tangannya laporan kongres dari polisi rahasia yang berjudul Verslag van Het Eerste Indonesisch Jeugdcongress (Laporan Kongres Pemuda Indonesia Pertama) yang diterbitkan oleh panitia Kongres Pemuda.
Pada rapat umum pemuda yang kemudian dikenal sebagai Kongres Pemuda pertama itu, mereka mendirikan Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (PPPI), wadah pemuda nasionalis radikal yang pertama di tanah air. Dari sinilah pemuda-pemudi Indonesia pada waktu itu pelan-pelan mulai membubarkan Jong-jong dan Bond-bond yang dibentuk sesuai daerah atau suku atau agama masing-masing.
Karena pamflet Hendrik itu, PPPI justru berinisiatif mengadakan kongres lagi. Kongres Pemuda ke-2 ini dilaksanakan di tiga tempat berbeda di Jakarta. Rapat pertama, Sabtu, 27 Oktober 1928 malam, di Gedung Katholieke Jongenlingen Bond (KJB), kini kawasan Lapangan Banteng. Ketua PPPI merangkap Ketua Kongres Soegondo Joyopuspito membuka acara dengan seruan agar para pemuda memperkuat semangat persatuan. Lalu Moehammad Yamin berpidato tentang arti dan hubungan persatuan dan pemuda.
Rapat kedua, Minggu, 28 Oktober 1928 pagi hingga siang, di Gedung Oost-Java Bioscoop, berfokus pada upaya pendidikan pemuda. Poernomowoelan dan Sarmidi Mangoensarkoro, pada sesi ini sependapat harus ada pendidikan kebangsaan.
Rapat ketiga, hari Minggu malam, diadakan di Gedung Indonesisch Huis Kramat (kini Gedung Kramat 106/Museum Sumpah Pemuda).
Rapat penghabisan pada malam hari itu dimulai dengan kekecewaan dan sakit hati karena pandu-pandu Indonesia tidak diperbolehkan melakukan karnaval mengawali acara oleh polisi Belanda. Konon Mr Soenario, Kepala Pandu saat itu sudah menyiapkan sekitar 1.000 orang untuk meramaikan suasana.
Rapat dimulai oleh Ramelan yang berpidato tentang kepanduan. Pangemanan dari INPO memberi tambahan uraian tentang kepanduan dan memuji Ramelan yang beragama Islam dan merupakan kawan sejati Pangemanan yang beragama Kristen. Ucapan Pangemanan ini mengandung ide persatuan di antara orang-orang Indonesia yang berlainan agama.
Kemudian giliran Mr Soenario memberikan ceramah. Ternyata obyek ceramah lain daripada yang dicantumkan dalam daftar acara. Yang diuraikan sarjana hukum lulusan Leiden yang saat itu menjadi penasehat acara kongres bukan tentang pergerakan pemuda Indonesia dan pemuda luaran, tetapi tentang pergerakan Pemuda dan persatuan Indonesia. Soenario mengatakan wajar jika pemuda-pemuda bekerja keras untuk persatuan karena kehendak ini sesuai dengan kehendak zaman. Usaha pemuda ini sesuai dengan usaha kaum dewasa (kaum politik) yang telah mencapai persatuan dalam rupa federasi PPPKI.
Soenario menganjurkan Kongres Pemuda itu bisa menjadi sendi persatuan dan kecintaan terhadap tanah air dan bangsa.
Di tengah-tengah Soenario berpidato dalam rapat ketiga itu, Muhammad Yamin yang dalam acara itu bertindak sebagai Sekretaris duduk di sebelah Ketua Sugondo menyodorkan secarik kertas sambil berbisik: “Saya punya rumusan resolusi yang lebih elegant”.
Sugondo membaca rumusan resolusi itu, memandang Yamin yang membalas memandang Sugondo dengan senyuman manis. Reaksi Sugondo spontan adalah membubuhi perkataan “Setuju” dengan parap pada usulan itu.
Sugondo meneruskan usulan rumusan resolusi itu kepada Amir Syarifudin, Bendahara perhelatan itu, yang memandang Sugondo dengan mata bertanya. Sugondo mengangguk-anggukan kepala dan Amir membubuhi perkataan “Setuju”. Begitu seterusnya sampai seluruh utusan organisasi pemuda menyatakan setuju.
Sumpah itu lalu dibacakan Soegondo di hadapan sekitar 750 peserta kongres. Yamin memberi penjelasan panjang lebar tentang isi rumusannya setelah itu. Awalnya rumusan Yamin itu dinamai “Ikrar Pemuda”, lalu diubah sendiri oleh Yamin menjadi “Sumpah Pemuda”.
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia
Kami putera dan puteri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia
Kongres ditutup dengan memperdengarkan lagu “Indonesia Raya” karya Wage Rudolf Supratman, hanya musik tanpa lirik karena lagu itu penuh kata-kata “Merdeka” dan arena penuh dengan polisi rahasia Belanda.
Dengan sumpah ini, organisasi pemuda pelan-pelan menanggalkan watak kedaerahannya dan melebur menjadi satu organisasi: Indonesia Muda. Dalam satu kesempatan Bung Hatta menyebut peristiwa Sumpah Pemuda itu sebagai ”sebuah letusan sejarah”.
Pemerintah kolonial meremehkan Kongres Pemuda ke-2 itu. Van Der Plass, Menteri Urusan Negara Jajahan saat itu menertawakan keputusan kongres menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, karena dalam perhelatan akbar itu sebagian besar pembicara justru menggunakan bahasa Belanda dan bahasa daerah. Ketua panitia Soegondo, meski selalu berusaha mempergunakan bahasa Indonesia, terlihat kesulitan dan terpatah-patah. Siti Sundari, kelak menjadi istri Yamin, salah satu pembicara dalam kongres pemuda II itu, masih mempergunakan bahasa Belanda.
Pandangan Van Der Plass dilihat dari perspektif saat ini, tentu sangat meleset. Sejarah membuktikan kongres itu telah menjadi api dalam sekam yang mencetuskan persatuan bangsa Indonesia melawan penjajah.
Taufik Abdullah dalam pengantar buku Sejak Indische Sampai Indonesia (karya Prof. Sartono Kartodirjo) mengatakan Sumpah Pemuda kembali kepada pengakuan yang fundamental bahwa bangsa ini sesungguhnya masih dalam tahap pembentukan, masih sebuah simbol. Indonesia saat itu masih sebuah imajinasi, sebuah komunitas yang masih dibayangkan. [Didit Sidarta]