Koran Sulindo – Mungkin tak banyak yang mengenal nama tokoh ini: Letnan Kolonel Soeparto. Dalam buku-buku yang berkaitan dengan Bung Karno, Presiden Pertama RI, namanya nyaris tak pernah disebut. Padahal inilah salah satu orang yang paling dekat—yang terus menempel Bung Karno, bahkan menjadi saksi masa-masa genting sang presiden, yang kemudian mengubah arah sejarah bangsa ini.
Letnan Kolonel Soeparto memang lebih dari sekedar asisten pribadi Bung Karno. Namanya sendiri tak masuk dalam “daftar ajudan/asisten” resmi kesekretariatan negara. Namun, di Istana Negara dan keluarga Bung Karno, pria ini menduduki posisi cukup penting: asisten pribadi/khusus dan orang kepercayaan Bung Karno. Dialah satu-satunya staf yang bisa keluar-masuk kamar Bung Karno dan putra-putrinya.
Di tahun 2008, terbit buku berjudul “Pengabdian Kepada Bangsa: Memoar Letkol Soeparto”. Buku yang penerbitannya diprakarsai putra Soeparto ini, yang namanya mirip ayahnya, Supartono, memang menulis sisi lain dari asisten pribadi Bung Karno ini, yang demikian loyal dan tutup mulut terhadap pertanyaan apapun (dari para interogator selama Soeparto ditahan) yang ia yakini bisa digunakan untuk menghancurkan tokoh bangsa yang diabdi dan dikaguminya itu. “Bahkan kepada anak-anaknya pun, beliau tak mau menceritakan apa yang terjadi dan dialaminya selama di penjara,” kata Supartono.
Pasca-Peristiwa G 30 September, sejak 1967 Soeparto dipenjara di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo tanpa diadili, dan baru dibebaskan tahun 1972. Di rumah tahanan itu pula, antara lain, mendekam para menteri-menteri Bung Karno, seperti: Chaerul Saleh, Laksamana Udara Oemar Dhani, dan Oei Tjoe Tat. Di tempat yang sama ditahan pula Kolonel Maulwi Saelan, Wakil Komandan Pasukan Tjakrabirawa. Akibat penyiksaan yang dialaminya selama di penjara, telinga kiri Soeparto menjadi tuli.
Dilahirkan di Muntilan, Jawa Tengah, 3 Mei 1927, R. Soeparto mengawali karir militernya sebagai Tentara Pelajar yang bermarkas di Yogyakarta. Pada 1950, ia ditugaskan ke Jakarta sebagai Kepala Teknik Kendaraan Istana Negara. Di sinilah loncatan hidupnya terjadi, ia menjadi salah satu orang kepercayaan Bung Karno. Lebih dari sekedar itu, Bung Karno kemudian secara tak resmi mengangkat Soeparto menjadi asisten pribadinya. Hampir setiap hari, ia mendampingi Bung Karno. Ia juga seringkali diminta Bung Karno menyopiri mobil, terutama saat sang presiden melakukan kunjungan incognito ke berbagai tempat.
Dalam beberapa momen bersejarah yang dialami Bung Karno, Soeparto bahkan mengalaminya langsung. Misalnya, ketika meletusnya Peristiwa Cikini — usaha pembunuhan Bung Karno yang terjadi di Sekolah Perguruan Cikini Jakarta, November 1957 — Soeparto sedang bertugas menyopiri mobil sang presiden. Ia menyaksikan dari dekat pelemparan granat yang menyebabkan korban jiwa 10 orang, dan ratusan lainnya mengalami luka dan cedera tersebut. Bung Karno sendiri berhasil diselamatkan. Begitu pula, saat upaya pembunuhan Bung Karno ketika Salat Idul Adha di tahun 1962. Bung Karno berhasil selamat dari penembakan, dan peluru malah mengenai KH Zainul Arifin yang menjadi imam salat, hingga beberapa hari kemudian meninggal dunia. Adapun KH Idham Khalid, pimpinan NU dan Waperdam kupingnya terserempet peluru nyasar.
Dengan kedekatan seperti itu, maka Soeparto menjadi penghubung banyak tokoh, jika ingin bertemu dengan Bung Karno. Jenderal Soeharto, yang kelak menggantikan Soekarno sebagai Presiden RI, juga kerap melalui Soeparto jika ingin menyampaikan sesuatu kepada Bung Karno.
Soeparto pula yang mendampingi Bung Karno di hari-hari genting pasca-pembunuhan para jenderal tersebut. Ia mengetahui adanya gerakan politik yang membuahkan situasi darurat lewat telepon di waktu subuh, yang berasal dari anggota pasukan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) bahwa telah terjadi penembakan di sejumlah rumah jenderal TNI Angkatan Darat. Karena itu, Soeparto diminta segera kembali ke posnya, yaitu mendampingi Presiden Soekarno.
Letkol Soeparto pun segera bergegas ke Wisma Yaso (sekarang menjadi Museum Satria Mandala, di Jalan Gatot Subroto). Karena, di sanalah Bung Karno berada, di kediaman Dewi Soekarno, setelah malam sebelumnya, 30 September, menghadiri acara “Musyawarah Tehnisi” di Istora, Senayan. Malam itu yang menyopiri mobil Bung Karno adalah juga Soeparto. Ia pula yang mengantar Bung Karno menjemput Dewi Soekarno di Hotel Indonesia dan membawa mereka ke Wisma Yaso.
Sesampai di Wisma Yaso pada 1 Oktober 1965 pagi itu, Soeparto langsung menemui Komandan DKP Komisaris Besar Mangil Martowidjojo. Begitu mendengar adanya penculikan dan penembakan atas beberapa pejabat tinggi pemerintahan, para pengawal Presiden Soekarno itu segera berunding untuk mencari cara terbaik dalam upaya menyelamatkan Bung Karno. Namun, belum lagi mereka menemukan solusinya, Bung Karno sudah keluar dari Wisma Yaso menuju mobil Chrysler Imperial berpelat nomor B 4747, untuk menunaikan tugasnya sebagai kepala negara. Menurut jadwal, hari itu Presiden Soekarno akan bertemu dengan Men/Pangad Letnan Jenderal A Yani dan Ketua Umum Nadhlatul Ulama Idham Chalid pada pukul 07.00 di Istana Merdeka.
G30S
Soeparto buru-buru mendampingi Bung Karno dan menyetir mobil. Ketika itulah Soeparto melaporkan apa yang baru terjadi tadi malam (atau dini hari). Mendengar laporan itu, Bung Karno serta-merta meminta Soeparto menghentikan mobil, yang baru berjalan beberapa meter. Setelah itu, Bung Karno memanggil Mangil, untuk mencari informasi tambahan tentang peristiwa berdarah yang dilaporkan Soeparto. Jadi, Bung Karno mendapat informasi tentang adanya Gerakan 30 September 1965 pertama kali dari asisten pribadinya: Soeparto.
Lantas, Bung Karno meminta Soeparto melanjutkan perjalanan ke Istana Merdeka, tapi kemudian dibelokkan ke arah Grogol, ke rumah kediaman Haryati, salah seorang istri Bung Karno, karena ada info bahwa Istana Merdeka dijaga oleh pasukan TNI Angkatan Darat. Di tempat inilah terbersit ide Soeparto untuk ”menyelamatkan” Bung Karno ke Bandara Halim Perdanakusuma, sesuai protap yang berlaku jika presiden terancam atau dalam keadaan darurat. Ia lalu menelepon Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara, Laksamana Udara Omar Dhani. Hal itu dibenarkan Omar Dhani dalam wawancara dengan sebuah majalah beberapa tahun kemudian. Soeparto pula yang menyetir mobil saat Bung Karno menuju Istana Bogor, dengan menggunakan VW Kodok milik pribadinya. Hal ini untuk menyamarkan keberadaan Presiden Soekarno.
Soeparto juga menyaksikan dari dekat detik-detik menyelesaikan Surat Perintah Sebelas Maret (1966) di Istana Bogor. Saat itu, setelah Komandan Pasukan Tjakrabirawa, Brigjen Sabur, dan Asisten Intelijen Tjakrabirawa, Kolonel Ali Ebram, selesai mengetik surat yang kemudian dibaca Bung Karno sembari hilir mudik di kamar tidurnya, sang presiden memanggil Soeparto. Saat itu Mayjen Basuki Rachmat, Brigjen M. Jusuf, dan Brigjen Amir Machmud berada di luar ruangan.
Dalam kesempatan itu, Letkol Soeparto sempat mengingatkan Bung Karno agar kembali membaca surat tersebut secara lebih seksama. Mendengar komentar itu, Bung Karno justru memarahi Soeparto. “Kamu tahu apa? Buat apa saya mempersatukan dari Sabang sampai Merauke, jika akhirnya saya harus melihat pertumpahan darah akibat perang saudara?” kata Bung Karno. Soeparto hanya diam saja, dan mematuhi ucapan presidennya.
Yang terjadi kemudian, kekuasaan Presiden Soekarno secara perlahan-lahan digerus, hingga akhirnya proklamator kemerdekaan RI itu wafat pada 21 Juni 1970. Soeparto sendiri kemudian ditahan selama lima tahun (1967-1972) tanpa diadili, seperti kebanyakan tahanan politik masa itu. Ketika Bung Karno, tokoh yang dicintai dan dihormatinya itu wafat, Soerparto masih mendekam di tahanan.
Setelah bebas dari tahanan, Soeparto merintis usaha yang cukup sukses. Ia juga sempat melihat kesuksesan putra-putrinya, serta menyaksikan cucu-cucunya tumbuh. Soeparto meninggal dunia pada 15 Maret 2002, di usia 75 tahun. [Imran Hasibuan]