Lenin Bersama Kita (Bagian 2)

Vladimir Ilyich Lenin/Radio Free Europe

Koran Sulindo – Negara adalah alat kekerasan di tangan kelas yang berdominasi dalam masyarakat. Meski terdapat lembaga seperti parlemen yang salah satu tugasnya menjamin berjalannya demokrasi, namun mesin negara tidak akan menoleransi tindakan dari kelas yang bertentangan kepentingannya dan dianggap membahayakan eksistensinya. Artinya negara berwatak kelas.

Propaganda kaum revisionis modern tentang adanya kediktaturan rakyat, bahkan kediktaturan proletariat di Tiongkok sekarang, hanyalah penipuan di tengah hari bolong. Tak mungkin dua kelas yang bertentangan kepentingan ekonominya, yaitu kelas buruh dan kelas kapitalis monopoli, berbagi kekuasaan. Kalau betul-betul kelas buruh turut berkuasa, tak akan diizinkan dan dimungkinkan penghisapan brutal terhadap kaum buruh migran dan pembungkaman suara rakyat pekerja.

Lenin mengingatkan kita kepada pelajaran pokok yang ditarik Marx dan Engels dari “Komune Paris”, yaitu kelas buruh tidak bisa mengambil dan menguasai begitu saja mesin negara borjuis dan menggunakannya untuk tujuannya. Dengan kata lain, sebuah revolusi rakyat harus menghancurkan mesin negara kelas borjuasi dan membangun mesin negara baru yang akan digunakan untuk menindas perlawanan musuh-musuh revolusi dan membela kepentingan kelas buruh, kaum tani dan rakyat pekerja. Tidak mungkin menggunakan mesin negara borjuasi untuk membela kepentingan rakyat.

Negara yang diciptakan kaum buruh pada hakikatnya tidak sama dengan negara borjuis yang ditumbangkan, karena ia adalah alat di tangan mayoritas atau 99 persen rakyat. Sedangkan negara borjuis adalah mesin penindasan di tangan kaum penghisap yang merupakan kurang dari 1 persen penduduk.

Orang, bahkan di kalangan intelektual, sering menamakan sistem ekonomi, politik dan sosial di Uni Soviet dan Eropa timur “komunisme”. Baru-baru ini, Peter Lavelle, pembawa acara “Cross Talk” di televisi Rusia, berkata dia pernah hidup dalam komunisme, yang dibuktikan sudah gagal. Ini contoh lagi bagaimana orang menunjukkan kebodohannya dan memvulgarkan arti serta pengertian atas masyarakat komunis atau komunisme.

Kembali kepada pengertian negara yang keberadaannya disebabkan karena adanya kelas yang kepentingan ekonominya bertolak belakang, maka kalau masyarakat sudah mencapai satu tahap di mana perlawanan kelas penghisap telah sepenuhnya dipatahkan, berangsur-angsur kelas-kelas akan lenyap, dan dengan sendirinya negara tidak lagi diperlukan. Itulah sebabnya Marx, Engels dan Lenin bicara tentang proses di mana negara akan melemah, kehilangan fungsinya dan akhirnya lenyap.

Engels bicara tentang generasi baru yang tumbuh dalam kondisi sosial baru dan bebas serta mampu mencampakkan seluruh rongsokan negara. Mao (Zedong) bicara tentang mengubah pandangan dunia borjuis menjadi pandangan dunia proletar agar sesuai dengan hubungan produksi sosialis. Che Guevara bicara tentang manusia baru (hombre nuevo). Hakikatnya sama, yaitu pembangunan sosialisme tidak saja berarti perkembangan ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan rakyat tapi juga mendidik rakyat menjadi manusia baru berideologi sosialis-komunis. Manusia-manusia baru itulah yang akan mencampakkan rongsokan negara. Dengan demikian barulah tercipta masyarakat tak berkelas. Itulah yang dinamakan komunisme.

Di manakah di dunia ini bisa ditemukan negeri dengan masyarakat yang sudah memenuhi syarat-syarat komunisme sesuai dengan ajaran para penciptanya? [baca juga: Lenin Bersama Kita (Bagian 1)]

Jadi, kalau mau bicara tentang hal-hal yang berhubungan dengan Marxisme dan Leninisme, sebaiknya membaca langsung karya-karyanya dan mencoba mengerti dengan benar ajarannya. Jangan merevisi, mengebiri, menghilangkan esensi revolusionernya atau menginterpretasinya dengan menggunakan kacamata kelas penghisap dan penindas. Karena Marxisme-Leninisme merupakan senjata di tangan kaum yang terhina dan tertindas untuk membebaskan dirinya dari penghisapan kaum tuan tanah dan kapitalis monopoli besar.

Kesadaran Sosialis atau Spontanitas?
Dalam Apa Yang Harus Dikerjakan, Lenin mengkritik keras “ekonomisme”, yang juga dinamakan trade-unionism dan pemujaan kepada spontanitas dalam gerakan buruh, yang dianut kaum ekonomis dan dipropagandakan melalui organnya “Rabocheye Dyelo” (The workers’ Cause) , yang terbit di Jenewa dari April 1899 sampai Februari 1902.

Ekonomisme/trade-unionism adalah perjuangan ekonomi praktis atau perlawanan buruh kepada kaum kapitalis untuk mendapatkan syarat-syarat lebih baik dalam penjualan tenaga kerjanya dan memperoleh reform di bidang legislatif dan administratif guna meringankan kondisi hidup dan kerjanya di bawah penghisapan modal. Bentuk perlawanan yang paling umum dilakukan adalah pemogokan. Selama penghisapan modal terhadap tenaga kerja buruh masih berlangsung, maka perjuangan serikat buruh ini masih harus terus dilakukan. Namun ia tidak akan mencabut akar penghisapan dan membebaskan kaum buruh.

Dalam berbagai pemogokan buruh yang terjadi pada 1890-an di Rusia, Lenin melihat elemen spontanitas yang ada dalam pemogokan tersebut sebagai embrio dari kesadaran buruh. Hal ini tercermin dalam kemampuan kaum buruh mengajukan tuntutan-tuntutannya dan perencanaan waktu pemogokan serta pendiskusian kasus-kasus pemogokan di tempat lain. Kaum buruh belum dan tidak dimungkinkan sadar akan sifat antagonis dari kontradiksi antara kepentingan kelasnya dengan sistem ekonomi, politik dan sosial di mana mereka hidup dan bekerja. Artinya mereka belum mencapai kesadaran sosialis.

Di Tiongkok kapitalis sekarang, aksi protes dan pemogokan buruh migran timbul pertama-tama karena keputusasaan dalam menghadapi ketidakadilan dan kesewenang-wenangan pihak kapitalis dan penguasa. Begitu juga di Indonesia, banyak aksi protes kaum tani disebabkan karena kehabisan akal dan hilang kepercayaan kepada berbagai lembaga hukum yang telah terbukti selalu berpihak kepada tuan tanah dan pengusaha besar.

Kesadaran sosialis hanya bisa tumbuh dari pengetahuan ilmiah yang dalam. Karena teori tentang sosialisme tumbuh dari filsafat, sejarah dan ilmu ekonomi yang dielaborasi oleh kaum intelektual. Pendiri sosialisme ilmu, Marx dan Engels, berasal dari intelektual borjuis. Merekalah yang menyampaikannya kepada kaum buruh yang perkembangan intelektualnya lebih tinggi. Selanjutnya, buruh-buruh itu membawa teori sosialisme ke dalam perjuangan kelas kaum proletar di mana keadaan memungkinkannya. Oleh karena itulah Lenin berkata bahwa kesadaran sosialis tidak bisa tumbuh dengan sendirinya di kalangan kaum buruh. Mereka hanya mampu mengembangkan kesadaran ekonomisme atau trade-unionism.

Ketidakmampuan kaum buruh mengembangkan kesadaran sosialisnya dapat diatasi kalau bacaan yang disajikan kepada mereka tidak terbatas pada masalah pabrik dan kondisi kerjanya saja, melainkan juga literatur yang ditujukan kepada kaum intelektual. Dengan begitu, buruh dapat mengembangkan kapasitas intelektualnya, dan bekerja tidak saja sebagai buruh tapi juga sebagai pemikir sosialis dan turut serta dalam membentuk ideologi proletar.

Kenyataan di abad 21 pun menunjukkan bagaimana para pemimpin serikat buruh reformis dan juga penguasa negara kapitalis seperti Tiongkok, ingin mencegah kaum buruh mencapai kesadaran sosialis. Pada 2018, penguasa otoriter membubarkan dan menangkapi anggota grup-grup studi di berbagai universitas besar di Tiongkok, setelah mereka menyatakan solidaritas dan dukungan kepada buruh pabrik teknologi JASIC di Shenzhen yang ditangkap, dianiaya dan dipecat karena menuntut hak mendirikan organisasi buruh independen.

Shen Mengyu, seorang lulusan Universitas Sun Yat Sen, berasal dari keluarga kaya, disadarkan oleh penderitaan buruh migran, akhirnya mengambil keputusan untuk bekerja di pabrik suku cadang, Guangzhou Rihong. Dia sudah mendapat peringatan keras, intimidasi, fitnah dari pimpinan pabrik, ketika dipilih oleh para buruh untuk mewakilinya dalam menuntut penerapan peraturan dan ketentuan hukum yang ada, secara benar. Mengyu tidak mundur. Namun akhirnya dia dipecat. Kemudian, keterlibatannya dalam mendukung buruh YASIC telah membuat aparat kepolisian memasukkannya dalam grup yang ditangkap. Dibebaskan sebentar tapi kemudian diculik. Sampai sekarang tak ada beritanya. Jelas terlihat betapa takutnya para penguasa kapitalis Tiongkok kepada perspektif intelektual revolusioner bergabung dengan buruh, bukan?

Lenin mengingatkan, ketika gerakan sosialis masih kecil, semakin besar dan kuat harus ia berjuang melawan segala usaha untuk menanamkan ideologi non-sosialis. Ideologi borjuis jauh lebih tua dan lebih berkembang dari pada ideologi sosialis, dan media penyebarannya berdominasi dalam masyarakat.

Lenin juga mengingatkan pentingnya mengatasi turunnya perhatian terhadap teori. Banyak orang ikut gerakan karena arti praktis dan kesuksesannya, tapi mereka kurang pendidikan teorinya. Tanpa teori, sosialisme ilmu tidak akan merasuk ke dalam darah daging buruh. Oleh karena itu, tanpa teori revolusioner tidak akan ada gerakan revolusioner.

Partai Pelopor
Poin penting lain yang dikemukakan Lenin adalah perlunya membangun sebuah organisasi revolusioner yang mampu menyatukan semua kekuatan dan memimpin gerakan dalam praktik nyata, bukan hanya di atas kertas saja. Sebuah organisasi di mana tergabung kaum revolusioner profesional, berdisplin tinggi, bersifat pelopor dan siap, kapan saja, untuk mendukung setiap protes dan manifestasi dan menggunakannya untuk membangun dan mengkonsolidasi kekuatan tempur guna menyongsong perjuangan yang menentukan.

Pejuang revolusioner profesional hanya dapat lahir melalui bimbingan teori marxis dan latihan yang diberikan melalui penerbitan sebuah surat kabar politik untuk seluruh Rusia. Lenin melihat peran surat kabar sebagai propagandis, agitator dan organizer kolektif.

Gelombang aksi massa berbagai sektor penduduk seperti tani, mahasiswa, intelektual, pemuda, yang dengan spontan meluas dengan cepat di Rusia ketika itu, menunjukkan kaum sosial demokrat tidak siap menghadapi tugas besar, yaitu memimpin gerakan. Kaum revolusioner ketinggalan di belakang, baik dari segi teori maupun dari segi aktivitas. Mereka gagal membangun pengorganisasian secara konstan dan sistematis yang mampu memimpin seluruh gerakan.

Dari situ Lenin menyimpulkan, semakin besar dan luas aksi spontan massa, semakin tinggi pula tuntutan akan kesadaran dalam pekerjaan teori, politik dan pengorganisasian yang harus dilakukan kaum sosial demokrat. Tugas para kader pimpinan khususnya adalah meluaskan wawasan dalam semua soal teori, melepaskan dirinya dari pengaruh pandangan dunia lama dan selalu ingat bahwa sosialisme, karena ia sendiri merupakan ilmu, maka harus dipelajari sebagai ilmu juga.

Partai pelopor Bolshevik yang dipimpin Lenin telah menunjukkan kebenaran akan tesisnya itu dengan keberhasilannya mengatasi kesulitan dan kekurangan serta memenangkan Revolusi Oktober dan membangun negara sosialis pertama di dunia.

Arti penting dan perlunya sebuah partai pelopor yang dipersenjatai dengan teori revolusioner, yang diajukan Lenin, dibuktikan dalam praktik gerakan rakyat di abad 21 ini.

Krisis ekonomi dan finansial 2008 telah melipatgandakan penderitaan rakyat terutama di negeri-negeri Dunia Ketiga. Kemiskinan, kelaparan, pengangguran, upah rendah, kekerasan dan kesewenang-wenangan negara serta segala aparatnya, pemasungan hak-hak demokratis rakyat, korupsi, jurang yang semakin menganga antara kaya dan miskin, semua ini telah menyulut api kemarahan dan mendorong jutaan rakyat turun ke jalan menuntut keadilan. Contohnya, apa yang dinamakan Arab Spring yang melanda Tunisia, kemudian Mesir pada 2011. Demonstrasi jutaan rakyat selama 28 hari di Tunisia, dan 18 hari di Mesir, berhasil menumbangkan pemerintahan Ben Ali dan Hosni Mubarak setelah 30 tahun berkuasa. Namun, gerakan massa spontan tanpa pimpinan itu akhirnya tak menghasilkan perubahan yang berarti bagi rakyat jelata.

Demikian juga dengan Occupy Movement di AS dan kota-kota besar Eropa, antara lain Madrid, Barcelona, Berlin, Frankfurt, London dan Roma. Ribuan demonstran menduduki pusat-pusat finansial dan bank. Gerakan akhirnya lenyap.

Hanya partai pelopor yang dapat mengelaborasi strategi dan taktik perjuangan yang mutlak diperlukan supaya gerakan rakyat terus tumbuh dan berkembang, mengatasi kesulitan dan kegagalan yang dihadapi, mencapai kemenangan-kemenangan kecil dalam perjalanan panjangnya menuju pembebasan kaum buruh, kaum tani dan kelas pekerja lainnya dari penghisapan dan penindasan tuan tanah, kaum kapitalis birokrat dan komprador besar, imperialisme dan neo-kolonialisme. [Tatiana Lukman]