Bermain benthik bersama teman-teman (Foto: @kota_jogja)

Akan tetapi, dalam tahap ketiga ini, sang pemain berkesempatan untuk mengumpulkan poin sebanyak-banyaknya yang ditentukan oleh berapa kali ia memukul tongkat pendek. Nah, tahap ini merupakan kesempatan untuk mengejar ketertinggalan angka atau untuk bisa memenangkan permainan. Kecekatan berhitung para pemain pun dituntut di sini.

Bila sang pemain berhasil memukul tongkat pendek saat tongkat tersebut melayang di udara, maka ia memperoleh multiple poin yang dihitung dari perkalian antara angka pengkali berdasarkan jumlah pukulan (10 poin untuk satu kali pukulan, 20 poin untuk dua kali pukulan, dan seterusnya) dengan poin yang dihitung dari tempat jatuhnya tongkat pendek ke arah lubang.

Sebagai ilustrasi, seorang pemain berhasil memukul tongkat pendek dua kali, maka ia memperoleh angka pengkali sebesar 20 poin, sedangkan jarak jatuhnya tongkat pendek ke lubang adalah 15 kali tongkat panjang. Maka total poin yang ia kumpulkan dalam tahap ini adalah 20×15=300. Cukup besar bukan? Ketiga tahap permainan Benthik tersebut akan diulangi dari awal dalam beberapa kali putaran sesuai kesepakatan di antara para pemainnya.

Pemain yang menang adalah yang berhasil mengumpulkan poin terbanyak dalam ketiga tahap di atas. Yang tak kalah menarik di sini adalah adanya hukuman bagi yang kalah, misalnya kewajiban menggendong pemain yang menang oleh pemain yang kalah dari satu tempat ke tempat lainnya. Meski terdengar rumit, tapi permainan ini sungguh seru dan asyik untuk dimainkan.

Baca juga: Kopiah, dari Busana Keagamaan Menjadi Busana Nasional

Permainan Benthik tak sekedar menyenangkan, namun di dalamnya juga terkandung falsafah kehidupan yang dapat di petik pada kehidupan nyata. “Hompimpa Alaium Gambreng”, kalimat yang biasa diucapkan oleh para pemain sebelum permainan dimulai untuk menentukan siapa yang berhak bermain dahulu memiliki makna agung “Dari Tuhan, kembali ke Tuhan, mari kita Bermain”.

Kalimat ini merupakan sebuah pengingat bahwa saat bermain sekalipun manusia adalah milik Tuhan. Karena kita ada yang memiliki, maka dari itu setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan kepada Sang Pemilik, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Semua permainan tradisional memiliki peraturan yang disepakati, meskipun peraturan itu tak tertulis. Apakah itu terkait dengan giliran bermain, aturan nilai, atau mekanisme reward and punishment. Merupakan suatu kewajiban bagi yang memainkannya untuk menaati semua peraturan agar permainan dapat berjalan dengan tertib dan lancar.

Hal ini mengajarkan kepada anak-anak untuk selalu mematuhi peraturan, serta menjaga harmoni hubungan sosial dengan orang lain. Sikap semacam ini sangat sesuai dengan pandangan hidup masyarakat Jawa, “Crah agawe bubrah – Rukun agawe santosa,” (Bertengkar membuat rusak atau kehancuran, rukun membuat sentosa atau kokoh).