Koran Sulindo – Lelaki berwajah bersih itu akhirnya dikebumikan di tempat yang ia inginkan sejak mula: Taman Makam Pahlawan Kalibata Jakarta. Prosesi pemakaman hampir sore hari setelah disalatkan di Masjid Raya Baitussalam kawasan TMP, sekitar 2 km dari rumah duka di Jalan Kelapa Kuning III, Duren Sawit, Jakarta Timur.
Negara memberikan penghormatan terakhir pada Dawam Rahardjo, yang meninggal pekan lalu. Menteri Agama Lukman Hakium Syaifuddin bertindak sebagai inspektur upacara. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo melayat ke rumah duka.
Jenazah lalu dimasukkan ke liang lahat. Tanah kembali dimasukkan ke dalam lubang kubur, dan 4 orang tentara menembakkan senjata ke udara.
Lahir di Solo, Jawa Tengah pada 20 April 1942, Dawam meraih gelar sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM). Setelah itu kariernya beranekarupa dari Direktur LP3ES, Rektor Universitas Islam 45 Bekasi, hingga Ketua Tim Penasihat Presiden BJ Habibie pada 1999. Ia juga pernah menjabat Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim pada 1995 hingga 2000 lalu.
Di luar karier intelektualnya, Dawam adalah tokoh yang konsisten memperjuangkan pluralisme di Indonesia. Ia membela jemaat Ahmadiyah, ia tak suka pengikut Lia Eden diberangus polisi.
Sebagai orang yang merasa dibesarkan Muhammadiyah, Dawam malah pernah dipecat organisasi keagamaan yang didirikan Kyai Haji Ahmad Dahlan itu. Tapi ia tak marah dan hanya tersenyum. Banyak yang mengatakan, Dawam orangnya terlalu baik, sehingga justru sangat gampang ditipu orang. Itulah yang mungkin terjadi pada kasus yang menimpanya pada awal tahun 2000-an itu.
Terlalu baiknya Dawam bahkan terlihat keterlaluan. Ia menerima banyak orang yang datang kepadanya, seringkali dengan sangka baik. Dan keterlaluannya, kadang berbicara pada semua orang seolah dianggapnya setara secara intelektual dengan dirinya. Dawam sangat pandai tapi ia tak pernah menganggap orang lain mungkin saja bodoh atau pas-pasan taraf intelektualnya.
Dan Dawam akan membela pendapat Anda, walau mungkin ia tak sependapat.
“Saya mungkin tidak setuju dengan pendapat Anda, tapi hak Anda untuk mengungkapkan pendapat itu akan saya bela sampai mati,” kata Dawam dalam percakapan dengan Hamid Basyaib sekitar akhir 1994.
Hingga wafat, Dawam masih menjabat sebagai anggota Dewan Kehormatan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) periode 2015-2020, setelah memimpin lembaga itu pada periode 1995-2000.
Dawam juga pernah menjabat Rektor Universitas Islam ’45 (Unisma) Bekasi pada 1996-2000, dekan Fakultas Ekonomi Universitas Asy-Syafiiyah Jakarta, dan banyak tempat lain.
Dawam bukan sekadar seorang pemikir sendirian, Ia juga mendirikan lembaga. Salah satunya adalah Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES), yang menerbitkan majalah Prisma, majalah yang menjadi ukuran intelegensia pada suatu masa di Indonesia. Dawam juga mendirikan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), yang menerbitkan majalah Ulumul Quran, yang mengupas agama secara ilmiah dan indah.
Salah satu pikiran Dawam pernah mengguncangkan Indonesia, ditulis di Ulumul Quran edisi 4 volume 5, 1994: “Kebebasan beragama berarti juga, bahkan mengandung arti yang lebih konkret, (yaitu) kebebasan untuk tidak beragama.”
Cendekiawan itu wafat Rabu (30/5/2018) pukul 21.55 WIB di Rumah Sakit Islam Jakarta, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, dalam usia 76 tahun. Setelah 24 tahun meninggalnya istrinya, Zainun Hawairiah.
“Aku mengecup kedua mata istriku yang terakhir kalinya ketika jenazahnya hendak digotong ke masjid sebelah, hendak disalatkan. Bulu matanya terasa di bibirku, seolah ia masih hidup”.
Itu adalah kalimat terakhir cerita pendek berjudul “Wirid” yang selesai ditulis Dawam Rahardjo pada 10 Oktober 1994, beberapa hari setelah istrinya berpulang. Cerpen itu dipublikasikan Harian Kompas edisi Minggu 16 Oktober 1994.
Dawam Rahardjo telah meninggal dunia, namun pikiran-pikiran dan keberaniannya berpikir masih terasa di sini. Seolah ia masih hidup. [Didit Sidarta]