Ilustrasi, suasana persidangan di Mahkamah Konstitusi - detik
Ilustrasi, suasana persidangan di Mahkamah Konstitusi - detik

Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan ganja medis tetap tidak boleh digunakan untuk alasan kesehatan. Dalam persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Anwar Usman pada Rabu (20/7), MK memutuskan menolak permohonan para pemohon.

Sebelumnya, tiga orang ibu menggugat larangan penggunaan narkotika golongan I untuk kesehatan yang diatur UU Narkotika. Mereka adalah Dwi Pertiwi, Santi Warastuti, dan Naflah Murhayanti. Para perempuan itu adalah ibu dari penderita celebral palsy.

Perjuangan tiga ibu itu sempat menyita perhatian publik usai aksi di Car Free Day Jakarta. Mereka membentangkan poster yang bertuliskan permintaan tolong agar penggunaan ganja medis dilegalkan.

Dengan adanya putusan MK tersebut maka narkotika golongan-termasuk ganja medis-tidak diperbolehkan dikonsumsi meskipun untuk alasan medis. Hal itu tertuang dalam putusan perkara nomor 106/PUU-XVIII/2020. MK menolak uji formil Undang-Undang Narkotika tentang pasal-pasal larangan penggunaan narkotika golongan I.

“Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum. mengadili, satu, menyatakan permohonan pemohon V dan VI tidak dapat diterima. Dua, menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” ujar Majelis Hakim.

Dengan demikian, ketentuan pasal pasal 6 ayat (1) dan pasal 8 ayat (1) UU Narkotika tidak berubah.

 

Pro dan kontra

Legalisasi ganja untuk kebutuhan medis menuai pro-kontra. Persoalan ini muncul setelah seorang ibu asal DI Yogyakarta menggelar aksi di Bundaran HI Jakarta meminta Mahkamah Konstitusi (MK) segera mengabulkan permohonannya untuk melegalkan ganja bagi kepentingan medis.

Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis berpandangan ganja sebagai suatu tumbuh-tumbuhan pada hakikatnya baik apabila digunakan dengan sebenar-benarnya.

“Pada dasarnya ganja kan dari tumbuh-tumbuhan, tumbuh-tumbuhan itu kalau digunakan dengan sebenarnya itu adalah kebaikan. Hanya saja kadang-kadang ada penyalahgunaan dan penyalahgunaan malah menimbulkan bahaya,” kata Cholil dalam acara CNN Indonesia Newsroom, dikutip Rabu (29/6).

Menurut Cholil, ganja perlu dikaji lebih dulu untuk mengetahui bahaya dan potensi memabukkan sebelum diputuskan legalisasinya lewat fatwa. Apabila nanti ditemukan bahwa penggunaan ganja sebagai pengobatan bisa dimitigasi maka MUI akan mengeluarkan fatwa sesuai dengan hasil kajian.

Namun, jika ganja memang ditemukan memberi dampak buruk, maka hukum yang akan dikeluarkan akan berbeda.

“Ketika secara medis nanti bisa ditemukan pertama untuk pengobatan, kemudian bisa dimitigasi, bisa diminimalisir terjadinya candu, nah disitulah ranahnya kita kan melakukan kajian. Tapi kalau ternyata sebagaimana image (mengenai dampak buruk ganja) itu terjadi sebagaimana nyatanya, tentu kita akan memberikan hukum yang berbeda,” ujarnya.

Berbeda dengan MUI yang masih membuka kemungkinan menerima ganja medis, BNN menutup peluang legalisasi ganja tersebut di Indonesia.

Koordinator Tim Ahli Narkotika BNN Komjen Polisi Ahwil Luthan menegaskan ganja, terutama di Indonesia, tidak bisa digunakan maupun diolah untuk kepentingan medis. Sebab ganja di Indonesia memiliki zat tetrahydrocannabinol (THC) yang tinggi, yakni 18 persen.

“Jadi ganja yang bisa diolah menjadi medis itu harus yang tetrahydrocannabinol-nya rendah, sedangkan ganja yang ada di Indonesia ini mempunyai kadar tetrahydrocannabinol-nya di atas 18 persen. Jadi itu tidak bisa diolah menjadi medis,” kata Luthan.

Luthan menjelaskan tanaman ganja di Indonesia berbeda dengan yang ada di Thailand maupun negara-negara lain yang telah melegalisasi salah satu jenis narkotika itu. Di Indonesia, kadar THC yang tinggi menyebabkan tanaman itu sangat sulit untuk diolah.

Temuan kandungan zat THC itu disebut berdasarkan hasil riset Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Litbangkes) Kementerian Kesehatan.

“Dan penelitian itu bukannya baru sekarang ada. Dari jaman dulu sudah ada. Jadi penelitian semua tanaman-tanaman termasuk jamu-jamu semua diteliti di sana,” ujar dia. [PAR]