Ilustrasi

Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo terkesan sangat peduli pada demonstrasi bertajuk “Jatuhkan Ahok“ pada Jumat 4 November. Tiga hari sebelum hari H, Presiden Jokowi memerintahkan polisi dan tentara siaga satu.

“Aparat keamanan sudah saya minta bersiaga dan melakukan tugas secara profesional jika ada tindakan anarkis oleh siapa pun,” kata Jokowi, seperti dikutip situs sekertaris kabinet.

Seperti belum cukup hanya menghimbau, siangnya ia bertandang menemui Prabowo Subianto di rumah Ketua Umum Partai Gerindra itu di Desa Bojongkoneng, Hambalang, Bogor, Jawa Barat, dan naik kuda bareng. Sorenya, ia memanggil 35 pemimpin redaksi media massa di Jakarta hadir ke Istana Kepresidenan.

Sehari setelah itu Jokowi mengundang ulama dari organisasi besar seperti NU dan Muhammadiyah ke istana.

Ia seperti terlihat panik.

Semua aksi Jokowi tadi nampaknya memang diarahkan pada “Aksi Bela Islam II” itu. Aksi Bela Islam I yang diselenggarakan 3 minggu sebelumnya (14 Oktober 2016) tak terlalu terdengar gaungnya.

Mereka menyeru menjatuhkan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Ketua Umum Front Pembela Islam, Habib Rizieq, seperti dikutip dari situs FPI, mengatakan demonstrasi itu menuntut agar penegakan hukum pada Ahok direalisasikan. Ucapan Ahok soal surat Al-Maidah 51 disebutnya melukai umat Islam.

Semua gerakan politik Jokowi itu langsung menemukan hasilnya pada keesokan lusanya. Rabu (2/11) mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengadakan jumpa pers di rumahnya, Puri Cikeas, Bogor.

Pidato sepanjang 14 halaman ketik spasi tunggal (atau sekitar 23 ribu karakter) itu dimuat utuh di situs Detik.com. Walaupun redaksi pidato itu membantah keras dirinya di balik gerakan 4 November itu, namun secara tersirat SBY mendukung gerakan itu. Dalam konteks demo bertujuan mempidanakan Ahok, pidato Cikeas itu menjadi pembesar skala demo 3 hari kemudian.

Selain itu ada pesan jelas SBY: Ahok tidak boleh tidak tersentuh hukum, tentu saja dengan bahasa Inggris yang susah dipahami, kalau tidak unjukrasa akan terus berjalan. “Karena merasa yang diprotes itu, dan tuntutannya itu, tidak didengar. Nah kalau sama sekali tidak didengar, diabaikan, sampai ‘Lebaran Kuda’ bakal ada unjuk rasa.”

Kata-kata “Lebaran Kuda” adalah kuncinya. Semua orang juga tahu, Agus Harimurti Yudhoyono, anak sulungnya sedang ikut dipertarungkan dalam Pilkada Jakarta. Kalau sampai Lebaran Kuda Ahok masih bertarung di Pilkada DKI, kans Agus sangat amat tipis untuk menang.

Selain terjebak Gerpol Jokowi, pernyataan SBY itu mengundang kecaman kaum intelektual. Misalnya, pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris. Ahli Pemilu itu menyayangkan pernyataan SBY mendukung unjukrasa Anti Ahok itu. “Dia sudah menjadi provokator sama seperti pemimpin organisasi kemasyarakat keagamaan yang selalu membuat resah masyarakat,” kata Syamsuddin.

Memang, reaksi SBY soal demonstrasi 4 November itu terlihat disampaikannya secara agak emosional.

Syamsuddin juga menilai reaksi SBY yang seolah merasa dituduh mendanai demonstrasi, lalu berbalik mendesak Jokowi agar memproses hukum Ahok karena mempunyai kepentingan politik. “Masa SBY tidak tahu kalau Polri sedang memproses kasus itu? Penegakan hukum kan tidak seperti membalikkan telapak tangan,” kata Syamsuddin, dalam diskusi ”Keprihatinan Anak Bangsa terhadap Ancaman Kebhinekaan” di Jakarta, awal bulan lalu.

Mengapa SBY berubah dari politisi yang selalu terlihat terkesan santun menjadi seolah provokator?

Banyak hal yang tak terucapkan dalam pidato sangat panjang itu. Tapi paling tidak tiga hal terlihat jelas dalam pemberitaan di media massa pada awal bulan ini.

Pertama, nama Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas), anak bungsu SBY, disebut-sebut lagi dalam banyak kasus di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam persidangan kasus di Pengadilan Tipikor yang menyeret para petinggi Partai Demokrat ke dalam penjara, nama Ibas juga selalu disebut.

Kedua, Mantan Ketua KPK Antasari Azhar akan dibebaskan pada 10 November nanti, tepat Hari Pahlawan. Kasus yang mendera Antasari hingga harus menjalani 8 tahun penjara dari vonis 18 tahun penjara menjadi berita besar saat itu, dan kemungkinan konsekuensinya jika ia bebas sudah banyak beredar di media online. Jokowi memang bajigur.

Ketiga, kasus proyek listrik yang mangkrak akan dibawa Jokowi ke KPK. Hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 34 proyek pembangkit listrik yang mangkrak itu menyebutkan 12 proyek tak dapat dilanjutkan, sedangkan 22 buah lagi  bisa dilanjutkan tetapi perlu tambahan biaya baru sebesar Rp 4,68 triliun dan Rp 7,25 triliun.

Dari nilai kontrak sebesar Rp 3,76 triliun, pemerintah telah mengeluarkan pembayaran sebesar Rp 4,94 triliun. Melalui Perpres Nomor 71 tahun 2006 dan Perpres Nomor 4 tahun 2010, PLN ditugaskan untuk mengerjakan 34 proyek listrik berkapasitas 7.000 MW itu. Presiden Jokowi mengancam akan melaporkan 34 proyek pembangkit listrik yang mangkrak selama delapan tahun itu.

Lihat tahun-tahunnya, itu proyek-proyek ada di masa pemerintahan SBY.

Jadi, siapa yang panik sebenarnya?

Presiden Jokowi justru memuji pidato SBY itu, sehari setelahnya. “Bagus. Sangat bagus. Memberikan masukan kepada pemerintah,” kata Jokowi, di Veranda Talk, Istana Merdeka, Jakarta. Jawaban pendek itu langsung disambut ketawa terbahak Wakil Presiden Jusuf Kalla yang ada di sampingnya.

Lebaran Kuda

Di luar pidato yang panjang, dan membosankan, itu ada kutipan pidato SBY yang menggelitik masyarakat dunia netizen, ‘Lebaran Kuda’. Dua kata tersebut menjadi trending topic di Twitter hari itu, dengan lebih dari 10 ribu kicauan.

Ini misalnya: ‏@radenano: Selamat Lebaran Kuda, Semoga Kebo ikut bahagia. Lalu ini ‏@TsamaraDKI: Waktu ngomong lebaran kuda, kayaknya SBY lagi mikirin Jokowi sama Prabowo naik kuda bareng. Dan dia ga diajak. Dan dia sedih.

Ada juga @danrem: Bila tuntutan tak didengar sampai lebaran kuda bakal demo… <– Maaf pak boleh nanya ya, itu kode pengen diajak naik kuda juga?

Meme-meme lucu juga bermunculan. Dan demo 4 November yang akhirnya kisruh itu, berubah menjadi lucu-lucuan, paling tidak di dunia maya. Tak usah panik. [Didit Sidarta]