PROSES pengadilan oleh Mahkamah Militer (Mahmil) bagi pelaku mutilasi di Mimika-Papua mengundang kekecewaan karena ada kesan mengabaikan fakta pembunuhan dilakukan secara berencana. Selain itu pasal yang digunakan untuk menjerat pelaku 5 orang anggota TNI dinilai meringankan.
Lembaga Bantuan Hukum Papua mengecam persidangan yang digelar secara terpisah antara militer dan sipil yang disebut melakukan pembunuhan bersama-sama.
Menurut LBH Papua sidang terpisah hanya bisa dilakukan setelah ada penelitian. Sementara kejaksaan dan oditur militer disebut tak melakukan hal tersebut.
Mereka juga mempertanyakan pasal yang dikenakan kepada Helmanto yang dipandang mengabaikan dugaan pembunuhan berencana.
“Mengabaikan Pasal 340 tentang pembunuhan berencana dengan hukuman tertinggi adalah mati atau penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara sebagaimana telah disebutkan dalam Surat Dakwaan Oditur secara langsung menunjukkan bahwa sepertinya praktek peradilan ini memang telah disetting sedemikian rupa,” berdasar pernyataan LBH Papua, Sabtu (19/1).
LBH mengecam tindakan jaksa dan oditur militer yang dinilai tak melakukan penelitian sebagaimana mestinya dan mendesak agar pelaku diberikan hukuman seberat-beratnya.
“Wajib berikan putusan yang seberat-beratnya kepada Oknum Anggota TNI Pelaku Pembunuhan dan Mutilasi 4 Warga Sipil Nduga demi memenuhi rasa keadilan Korban dan memberikan efek jera kepada pelaku,”
Sebelumnya, peristiwa pembunuhan dan mutilasi terjadi pada Selasa (22/8) sekitar pukul 21.50 WIT di SP 1 Distrik Mimika Baru, Kabupaten Mimika. Aksi itu diduga dilakukan oleh enam orang anggota TNI dan tiga warga sipil.
Setelah melakukan pembunuhan, para pelaku membawa para korban ke Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika, untuk dibuang dengan terbungkus dalam karung.
Sebelum dibuang, empat korban dimutilasi dan anggota badan ditaruh dalam enam karung berbeda. Karung itu selanjutnya diisi batu-batu dan dibuang ke Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, Kabupaten Mimika.
Kabid Humas Polda Papua Kombes Kamal Ahmad mengatakan modus para pelaku melakukan aksinya yakni berpura-pura menjual senjata api. Korban pun hendak membeli senjata api dari para pelaku. Lalu para pelaku menyiapkan benda menyerupai senjata api untuk meyakinkan korban.
Peradilan independen dan imparsial
Proses pengadilan terhadap pelaku di Mahmil juga menjadi sorotan dari Komini Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Proses persidangan yang digelar sejak Desember lalu dinilai tidak efektif dan belum mengakomodasi kepentingan keluarga korban mengikuti setiap tahapan persidangan.
“Komnas HAM mendesak agar persidangan dilakukan secara independen dan imparsial sesuai dengan prinsip persidangan yang adil (fair trial) menurut UU HAM dan Konvenan Hak Sipil dan Politik,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam keterangan resmi, Sabtu (21/1).
Menurut Atnike, proses persidangan tidak berjalan efektif lantaran minimnya kesiapan perangkat pengadilan, meskipun sidang dapat dihadiri dan diikuti oleh keluarga korban dan masyarakat secara langsung dengan pengamanan dari Kepolisian dan TNI.
ketidakefektifan tersebut tercermin antara lain dalam pelaksanaan sidang yang tak jelas dan tak transparan.
Jadwal sidang disebut tak sesuai dengan yang tertera dalam laman Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) sehingga menyulitkan keluarga korban mengikuti proses persidangan. Kendala jaringan internet saat pemeriksaan saksi pelaku sipil dan barang bukti juga dinilai menghambat proses persidangan.
Selain itu ruang sidang yang kurang proporsional tak bisa mengakomodasi keluarga korban dan masyarakat yang ingin mengawal persidangan. Jumlah pengunjung sidang disebut sekitar 50-100 orang.
Selain itu Komnas HAM juga menyoroti proses peradilan yang dibuat terpisah untuk para pelaku.
“Proses pertanggungjawaban pidana (juga) tidak maksimal karena proses hukum para terdakwa dari anggota militer dan sipil diadili secara terpisah, saksi pelaku sipil juga tidak dapat dihadirkan secara langsung dalam persidangan terdakwa anggota TNI,” katanya.
Keluarga korban, juga dinilai tak puas dengan konstruksi dakwaan Oditural Militer Tinggi Makassar terhadap terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki.
Pasalnya, Helmanto dijerat Pasal 480 KUHP sebagai dakwaan primer dan Pasal 365 KUHP sebagai dakwaan pertama subsidair. Sementara Pasal 340 KUHP dijadikan dakwaan pertama lebih subsidair.
“Hal ini berimplikasi pada putusan yang sangat ringan bagi pelaku sehingga kasus serupa dimungkinkan dapat terulang kembali,” ujar Atnike [DES].