PEMERINTAH, dalam catatan LBH Jakarta, lupa menghargai partisipasi, mengabaikan perlindungan hukum dan hak asasi manusia rakyat sebagai hal yang esensial dalam demokrasi. Kritik ditanggapi sebagai kejahatan yang harus dibatasi dan bahkan direpresi. Penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak sipil politik, hak ekonomi sosial dan budaya, serta hak atas pembangunan dan lingkungan hidup yang sehat semakin terpinggirkan.

“Hak asasi manusia disebut hanya ketika dibutuhkan untuk komoditas politik dan pencitraan. Narasi supremasi hukum dan HAM kian hilang dari diskursus kebangsaan,” ungkap Arif.

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana. Foto: LBH Jakarta

Menurut dia, berbagai narasi laporan kerja bantuan hukum struktural LBH Jakarta selama tahun 2017-2018 dapat memberikan bukti otentik dari berbagai persoalan tersebut. Pada tahun 2018 ini, LBH Jakarta menerima 1.148 pengaduan dari masyarakat, dengan total 19.552  pencari keadilan.

LBH Jakarta menangani lebih lanjut 122 pengaduan kasus dengan 14.929 pencari keadilan. Sebanyak 122 pengaduan terdiri dari 62 pengaduan individu dan 60 pengaduan kelompok. Kasus-kasus tersebut adalah kasus yang masuk dalam isu yang menjadi fokus advokasi LBH Jakarta, yakni minoritas kelompok rentan, pelanggaran hak atas peradilan yang jujur dan adil, isu perburuhan dan perkotaan masyarakat urban.

Menurut LBH Jakarta, 20 tahun Reformasi dapat digambarkan sebagai masa yang dipenuhi oleh legitimasi diskriminasi kepada kelompok minoritas dan rentan. “Pemberangusan kebebasan berkumpul, kemerdekaan pers, berpendapat, dan berkespresi, khususnya bagi minoritas dan rentan kian menguat secara sistematis dan terstruktur.”

Bagi kelompok minoritas agama dan keyakinan, pemenjaraan dengan menggunakan pasal penodaan agama dan Undang-Undang ITE terus meningkat. Impunitas terhadap para pelanggar hak asasi masa lalu, impunitas terhadap pelaku kekerasan seksual, impunitas terhadap kelompok intoleran–vigilante-, impunitas terhadap oknum kepolisian dan militer (TNI), impunitas terhadap majikan, baik di dalam maupun di luar negeri, serta organisasi perdagangan orang berkedok korporasi Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) masih terjadi.

LBH Jakarta juga mencatat minimnya jaminan serta perlindungan hukum bagi pekerja rumah tangga, yang mayoritas adalah perempuan dan tidak diakuinya PRT sebagai bagian dari pekerja. Pada level institusi kepolisian, meski telah terdapat Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) yang diatur melalui Perkapolri Nomor 10 Tahun 2007 dan disahkan pada 6 Juli 2007, kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan justru banyak terhenti di institusi ini.

Kendati telah terbit Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, faktanya implementasinya masih menjadi persoalan sehingga kasus seperti Baiq Nuril masih terjadi. “Tidak hanya meningkat dari segi kuantitas, secara kualitas, situasi pelanggaran hak atas peradilan yang jujur dan adil tahun ini semakin beragam dan mengkhawatirkan,” ungkap Arif.

Yang juga mendapat sorotan LBH Jakarta adalah kembali munculnya fenomena penembakan di luar proses hukum yang dilakukan oleh aparat negara. Lalu, semakin meningkatnya kasus narkotika yang melibatkan anak; lahirnya kebijakan yang justru bertentangan dengan prinsip negara hukum dan hak asasi manusia, seperti kewenangan menyandera rakyat oleh DPR melalui kepolisian dalam Undang-Undang MD3.

LBH Jakarta juga berpandangan, persoalan subtansi Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang melahirkan berbagai rancangan pasal yang justru berpotensi mengkriminalisasi warga negara. “Sama dengan tahun sebelumnya, dalam isu perkotaan dan masyarakat urban, hak atas tanah dan tempat tinggal masih terus mendominasi dan merupakan kasus dengan jumlah pencari keadilan terbesar. Sepanjang Gubernur Anies Baswedan berkuasa, penggusuran paksa menurun, tapi tetap terjadi, sebanyak 91 titik penggusuran paksa dengan pola yang sama dengan tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada musyawarah, penggunaan aparat yang tidak berwewenang, intimidasi, dan kekerasan, hingga pelanggaran hak masyarakat untuk memperoleh hak atas tanah,” ungkap Arif.

Masih banyak lagi persoalan di negara ini yang membuat demokrasi di Indonesia berada pada persimpangan. Meski demikian, menurut LBH Jakarta, di tengah resesi demokrasi dan narasi ketidakadilan terdapat beberapa hal positif yang yang dapat dijadikan sandaran optimisme untuk tetap menjaga nyala api semangat demokrasi dan negara hukum.

Sandaran optimisme itu antara lain adanya warga masih terus berjuang melawan ketidakadilan; dibatalkannya izin reklamasi, bebasnya masyarakat Pulau Pari Kepulauan Seribu dari jeratan kriminalisasi, dan keberhasilan eksekusi putusan Praperadilan Andro dan Nurdin (pengamen Cipulir korban salah tangkap) setelah lima tahun berjuang. Itu adalah preseden baik untuk membongkar tembok penghalang hak restitusi bagi korban unfair trial yang selama ini terganjal oleh peraturan perundang-undangan yang tidak berpihak kepada korban unfair trial.

“Juga dibatalkannya pasal sewenang-wenang penyanderaan oleh DPR dalam Undang-Undang MD3 menjadi contoh bagaimana seharusnya hukum dan peradilan bekerja. Akhir kata, demokrasi tak bisa dibangun hanya demokrasi formalitas. Demokrasi politik harus dibangun secara substantif bersama rakyat, dengan demokrasi ekonomi sosial dan budaya. Partisipasi aktif rakyat dalam demokrasi melalui ekspresi kritik atau gugatan adalah bagian dari upaya membangun kultur demokrasi substansial. Mestinya itu dipahami negara sebagai bagian dari partisipasi politik warga yang harus didukung dan dilindungi,” kata Arif.

Karena, untuk mewujudkan demokrasi subtantif (full democracy) diperlukan masyarakat yang sadar politik, warga sadar akan posisinya sebagai rakyat yang berdaulat. “LBH Jakarta mengajak masyarakat bersama mengawal agenda demokrasi, dengan kembali merumuskan agenda reformasi di bidang hukum dan hak asasi manusia dengan lebih tajam dan menyeluruh. Jika hal tersebut tidak dilakukan, demokrasi kita akan terjebak dalam jalan buntu,” tutur Arif. [PUR]