Ilustrasi/istimewa

Koran Sulindo – Pentas Seni Ramadhan di Kampus (RDK) yang diadakan Jamaah Shalahuddin Universitas Gadjah Mada Yogyakarta pada 1986 malam itu penuh sesak. Jemaah acara yang digelar tiap hari seusai salat tarawih di Gelanggang Mahasiswa itu meluber hingga Boulevard UGM, jalan raya lebar di depannya. Emha Ainun Nadjib naik ke panggung yang hanya tumpukan papan setinggi sekitar 30 cm, dan ia mulai membacakan puisinya yang diam-diam berpindah dari tangan ke tangan dalam bentuk fotokopian: “Di Padang Mahsyar/Di padang penantian/Di depan pintu gerbang janji keabadian/Aku menyaksikan beribu-ribu jilbab/Berjuta-juta jilbab/ Tidak! Aku menyaksikan bermiliar-miliar jilbab.”

Pembacaan puisi Lautan Jilbab yang sukses malam itu berlanjut pentas teater berdasar puisi itu. Teaterikalisasi Lautan Jilbab itu dilaksanakan 2 tahun berikutnya, pada 9-10 September 1988, di tempat sama. Penonton meluber, tiket habis jauhhari sebelum pementasan, dan pentas itu ditonton sekitar 6 ribu orang.

Naskah itu dibawa keliling ke Malang, Ujung Pandang, Surabaya, dan Madiun. Di tempat terakhir itu, ketika dipentaskan di lapangan Wilis, jumlah penonton bahkan mencapai 30 ribu orang.

Setelah 20 tahun kemudian, di zaman milenial ini, jilbab menjadi bagian sehari-hari perempuan muslim di Indonesia. Kini benar-benar berjuta-juta perempuan Indonesia memakai jilbab sebagai bagian dari busana sehari-hari.

Sebuah survei nasional baru-baru ini yang dilakukan ISEAS-Yusof Ishak Institute, Singapura menemukan lebih dari 82 persen responden setuju wanita Muslim harus mengenakan jilbab.Artinya, lebih dari 80 persen wanita Muslim berpikir mereka wajib memakai jilbab. Dari jumlah responden sebanyak 1.620perempuan di seluruh Indonesia, 78,2 persen wanita mengaku mengenakan jilbab.

Berlawanan dengan praktik di era Orde Soeharto, khususnya pada 1980-an saat mengenakan jilbab di sekolah umum dilarang, guru dan siswa Muslim sekarang sangat justru dianjurkan penutup kepala itu. Bintang film, politisi, pebisnis, petugas polisi, personil militer dan bahkan atlet nasional wanita memakai jilbab dalam kehidupan sehari-hari dan profesional mereka.

Temuan menarik lain dari survei yang hasilnya dirilis pekan lalu itu, soal kelas sosial dan pendidikan hijaber. Berbeda dengan asumsi umum mengenai mereka yang memakai jilbab, survei menunjukkan hampir 95 persen wanita Muslim dengan pendidikan tinggi mengenakan jilbab, dibandingkan dengan kurang dari 80 persen untuk mereka yang berpendidikan menengah atau rendah.

Pada saat yang sama, survei tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan wanita Muslim, semakin besar kemungkinan mereka mengenakan jilbab. Trennya menunjukkan wanita Muslim dengan status sosio-ekonomi tinggi cenderung mengenakan jilbab Islam sebagai bagian dari pakaian reguler mereka.

Hasil ini juga menggarisbawahi transformasi makna hijab dan kesalehan agama. Menjadi religius, seperti yang diungkapkan melalui mengenakan jilbab, tidak lagi dipandang sebagai penghalang pendidikan dan karir wanita muslim. Sebagai gantinya, bagi beberapa wanita Muslim, jilbab bahkan dianggap sebagai simbol bagi wanita terdidik dan kesuksesan profesional.

Jilbab tak lagi sekadar tanda Islam konservatif, pada wanita Muslim berpendidikan dan berpenghasilan rendah. Ia kini dilihat sebagai barang trendi dan tanda kemerdekaan wanita Muslim di Indonesia.

Kini di pasaran jilbab tidak hanya yang konvensional dengan desain sederhana, tapi juga barang mewah dengan harga beberapa mengejutkan. Beberapa perancang nasional yang dulu bermain di bidang adibusana kini banyak yang nyemplung di lini bisnis ini, terutama karena pasarnya yang besar dan selalu berkembang naik.

Beberapa dari mereka mungkin memang memiliki cita-cita religius, sementara yang lain, termasuk non-Muslim, jelas termotivasi oleh keuntungan. Apapun motifnya, bisnis jilbab di Indonesia adalah bisnis besar, dan pasar agama adalah salah satu yang tidak bisa diabaikan.

Politik Agama

Tapi mengapa mereka memakai jilbab padahal tidak wajib? Ulama perempuan Siti Musdah Mulia tidak ingat kapan dia tidak mengenakan jilbab, tapi ia melihatnya sebagai sebuah komoditas. “Ïni adalah alat untuk mempolitisir agama,” kata cendekiawan berusia 58 tahun itu, seperti dikutip abc.net, pekan lalu.

“Di Indonesia banyak orang memakai jilbab, bahkan mereka yang tidak benar-benar mengerti agama. Terkadang saya bertanya kepada mereka, kenapa anda memakai jilbab?”

Secara umum merebakluasnya pemakaian jilbab konon terjadi sejak jatuhnya Soeharto pada 1998. Dengan proses reformasi berjalan semakin banyak perempuan menutupi kepalanya. Demokrasi memungkinkan kelompok Islam memiliki pengaruh yang lebih besar, dan bersuara lebih keras lagi.

Alissa Wahid, putri almarhum Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur), mengenakan jilbab batik longgar dalam beberapa tahun terakhir, kadang dengan ujung rambut nampak menyembul keluar. “Saya tidak merasa wajib bagi wanita untuk memakainya dengan cara tertentu dan karena saya orang Indonesia beginilah cara wanita Indonesia mengenakan jilbab,” kata Alissa.

Penelitian Pusat Riset Alvara di Jakarta pada 2015 menunjukkan 79,4 persen responden memilih mengenakan jilbab reguler, sementara 13,5 persen memilih jilbab syariah yang konservatif, yang kainnya menjuntai hingga menutupi payudara dan bokong.

Penelitian 2 tahun lalu itu juga menemukan hanya sekitar 2 persen wanita Indonesia memilih mengenakan niqab atau burqa, jilbab syariah yang menutupi wajah meninggalkan hanya dua pasang mata yang terlihat.

Perpecahan Internal
Survei ISEAS di atas muncul di tengah meningkatnya kekhawatiran pasang naik politik Islam sayap kanan di Indonesia, negeri dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

“Indonesia adalah bagian dari kebangkitan Islam global, yang menunjukkan kecenderungan meningkatnya religiusitas dan identifikasi sosial dengan Islam,” kata Asisten Profesor di Universitas Boston, Amerika Serikat, Jeremy Menchik, seperti dikutip dw.com.

Menurut Menchik, kebangkitan Islam itu berasal dari frustrasi populer dan kekosongan moral liberalisme sekuler dan kapitalisme. “Untuk mencari koneksi yang lebih bermakna, banyak orang Indonesia memandang ke arah Islam,” katanya.

Seorang sosiolog budaya yang berfokus pada masyarakat Muslim di Universitas Colorado Boulder, Rachel Rinaldo, tak yakin pada angka-angka survei itu.

“Jumlah ini nampaknya sangat tinggi bagi saya,” kata Rinaldo, yang membandingkan dengan surveinya di Jabodetabek pada 2014 menemukan hanya 37 persen responden wanita Muslim mengenakan jilbab.

“Saya tidak yakin apa yang membuat perbedaan antara kedua survei tersebut, tapi saya tidak yakin bahwa hampir 80 persen wanita Muslim Indonesia mengenakan jilbab,” katanya.

Wanita Muslim Indonesia mengenakan jilbab karena berbagai alasan termasuk fashion, kesederhanaan, tekanan sosial dan pilihan individu. Tidak ada alasan tunggal.

“Data tentang nilai-nilai dan praktik agama di Indonesia tidak berjalan jauh dalam waktu yang sangat lama sehingga kita tidak memiliki dasar perbandingan yang baik. Hal ini juga sangat bergantung pada bagaimana kita mendefinisikan religiusitas. Jika kita mendefinisikannya sebagai percaya pada Tuhan, orang Indonesia mungkin sudah religius sejak lama, “kata Rinaldo, seperti dikutip dw.com.

Pakar yang telah melakukan penelitian lapangan di Indonesia sejak 2002 itu menganggap apa yang telah berubah di Indonesia selama beberapa dekade terakhir adalah gagasan yang berbeda tentang apa artinya menjadi religius dan bagaimana menjadi seorang Muslim.

“Dalam beberapa tahun terakhir, pasti ada lebih banyak tekanan untuk menyesuaikan diri dengan praktik keagamaan yang dianggap Islami, seperti mengenakan jilbab, atau melakukan salat 5 waktu. Muslim Indonesia sekarang jauh lebih mungkin melakukan hal-hal seperti itu daripada di masa lalu, tapi apakah itu benar-benar berarti bahwa mereka lebih religius adalah pertanyaan terbuka,” kata Rinaldo.

Survei ISEAS tersebut dilakukan di 34 provinsi di Indonesia antara 20 dan 30 Mei tahun ini, setelah pemilihan gubernur di Jakarta lalu. Sebanyak 86,2 persen responden adalah muslim.

“Hampir 80 persen wanita Muslim yang disurvei memakai jilbab dan, yang menarik, makin tinggi tingkat pendidikan dan pendapatan, menunjukkan bahwa jilbab Islam semakin populer di kalangan wanita Muslim kelas sosial yang lebih tinggi,” kata laporan survei. Kesimpulan awal, mengenakan jilbab telah menjadi tanda lahir yang diterima religiusitas Islam bagi perempuan di Indonesia, yang juga dikaitkan dengan status sosial bagi wanita Muslim.

Sejak 1998, dengan diperkenalkannya demokrasi dan desentralisasi kekuasaan, lebih dari 440 peraturan daerah memberlakukan unsur-unsur hukum Islam, atau Syariah, seperti mengharuskan perempuan mengenakan jilbab atau membatasi penjualan alkohol. Survei tersebut juga menemukan 91 persen responden Muslim berpendapat bahwa akan ada berbagai manfaat terhadap penerapan hukum Syariah, dengan 67 persen mengatakan bahwa manfaat yang paling penting adalah menjaga struktur moral masyarakat. Hanya 9,07 persen responden yang percaya bahwa hukum Islam “akan sangat terbatas atau tidak terbatas”.

“Dengan kata lain, hukum Syariah terlihat, tidak seperti pengenaan sistem sosio-hukum tertentu, namun sebagai tindakan untuk menjaga nilai-nilai moral di masyarakat,” kata laporan survei oleh peneliti Institut Iseas-Yusof Ishak, Diego Fossati, Hui Yew-Foong dan Siwage Dharma Negara.

Pada saat yang sama, responden merasa tantangan terbesar terhadap Islam bukanlah dari luar agama itu, namun lebih pada yang mengancam kesatuan Islam, seperti perdebatan yang memecah-belah dan keterlibatan pemimpin Islam dalam politik. [Didit Sidarta]