Koran Sulindo – Niat Komisi Pemilihan Umum menerbitkan Peraturan KPU berisi larangan bekasnara pidana korupsi menjadi calon anggota legislatif sebaiknya dibatalkan.

Aturan itu dianggap menabrak banyak ketentuan hukum lainnya.

Direktur Pusat Advokasi Pemilu Mahfud Latunconsina menyebut salah satu ketentuan hukum yang ditabrak KPU adalah Pasal 17 dan 18 UU Tipikor junto Pasal 35 ayat (1) KUHP.

Pasal tersebut mengatur bahwa pencabutan hak politik hanya bisa dilakukan sepanjang tercantum dalam putusan atau vonis mejelis hakim.

“Pada praktiknya, selama ini juga sudah jelas. Tidak semua terpidana korupsi dicabut hak politiknya melainkan narapidana korupsi tertentu dengan pertimbangan tertentu pula dalam putusan hakim,” kata Mahfud dalam sebuah diskusi di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu (30/5) malam.

Mahfud juga menunjukkan aturan lain yang ditabrak KPU adalah ketentuan Pasal 73 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur bahwa pencabutan hak politik hanya bisa dilakukan berdasarkan ketentuan UU.

“PKPU jelas bukan UU karena bukan produk bersama pemerintah dan DPR melainkan hanya produk KPU sendiri,” kata Mahfud.

Selain itu, PKPU itu juga dianggap bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pasal tersebut mengatur sejumlah syarat untuk menjadi calon anggota legislatif dan tidak ada larangan bagi mantan narapidana korupsi.

Peraturan KPU itu juga dianggap bertentangan dengan dua putusan MK yakni Putusan Nomor 4/PUU-VII/2009 Uji Materiil UU Nomor 10 Tahun 2008 yang membatalkan larangan menjadi caleg bagi mantan narapidana korupsi dan Putusan MK Nomor 42/PUU-XIII/2015 yang membatakan larangan menjadi calon kepala daerah bagi mantan narapidana korupsi.

“Secara prinsip kami tidak menolak larangan menjadi caleg terhadap mantan napi namun hal tersebut harus diatur dalam UU atau dalam putusan hakim,” kata Mahfud.

Ia lebih lanjut menegaskan, mestinya sebagai pengguna UU, KPU tak memiliki kewenangan membuat aturan yang memuat norma baru.

PKPU yang berisi larangan bagi mantan napi korupsi menjadi calon anggota legislatif dianggap bakal menjadi perseden buruk penyelenggaraan Pemilu.  KPU dianggap membuat peraturan yang bukan merupakan domainnya.

“Jika hal ini dibiarkan bukan tidak mungkin di kemudian hari KPU akan seenaknya membuat aturan lain yang memuat norma baru yang mungkin saja akan merugikan salah satu atau sebagaian peserta Pemilu,” kata Mahfud.

Sebelumnya diketahui KPU bersikukuh tetap melarang mantan terpidana kasus korupsi atau mantan koruptor menjadi calon anggota legislatif.

Penegasan tersebut disampaikan Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi pekan lalu di DPR. “Sudah ada kesimpulan keputusan. Soal aturan mantan napi koruptor itu kita tetap. Iya, tetap untuk tidak membolehkan,” kata Pramono.

Pramono menjelaskan, KPU telah melakukan rapat pleno untuk menanggapi hasil rapat konsultasi antara Komisi II DPR, Pemerintah, Bawaslu, dan KPU.

Hasil rapat pleno, KPU akan menyesuaikan dua hasil rapat konsultasi yakni terkait laporan harta kekayaan bakal caleg dan keterwakilan 30 persen perempuan.

Pramono mempersilakan mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung apabila ada pihak-pihak yang keberatan dengan peraturan KPU yang melarang mantan koruptor menjadi caleg. “Nanti kami hadapi dengan argumentasi,” kata Pramono.

Ia juga menyebut gugatan ke MA tidak akan mengganggu tahapan pemilu karena tahapan itu sudah menjadi bagian dari tugas sehari-hari KPU.

“Soal pencalonan nanti kan Juli, sekarang baru Mei. Masih ada waktu satu setengah bulan untuk menyelesaikan ini. Kalau uji materi itu kan belum tentu juga dikabulkan. Karenanya, kita terus dorong upaya pemberantasan korupsi,” kata Pramono.

Komisi II DPR, Pemerintah dan Bawaslu sepakat menolak usulan KPU yang melarang mantan terpidana kasus korupsi menjadi caleg. Mereka ingin pengaturannya kembali pada Pasal 240 ayat (1) huruf (g) UU Nomor 7 Tahun 2017.

Pasal 240 mengatur tentang persyaratan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, antara lain tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.

Mereka dikecualikan jika secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.(SAE)