Koran Sulindo – Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan Achmad Baidlowi mengingatkan KPU agar tak membuat norma yang bertentangan atau melampaui UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Menurut Baidlowi, pada Pasal 240 ayat 1 huruf g dengan jelas disebut bahwa caleg tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap dengan ancaman hukuman 5 tahun atau lebih kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
“Nah dalam klausul tersebut tidak ada pembedaan perlakuan mantan narapidana apapun,” ujar Baidlowi di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (10/4).
Ia menyebut orang yang menjadi terpidana dan telah menyelesaikan hukumannya berarti sudah menebus kesalahan. “Artinya, terpidana apapun, berdasarkan pasal 240 tidak ada pengecualian,” kata Baidlowi.
Ditegaskan, pihaknya siap berargumentasi dengan KPU apabila memasukkan draf rancangan Peraturan KPU yang melarang mantan napi korupsi maju sebagai caleg.
“Kami akan lakukan dalam forum rapat dengar pendapat dengan KPU. Jadi sebaiknya hentikan argumen terlalu banyak, nanti dibahas secara mendalam dalam RDP. Agar tidak bias informasi di publik,” katanya.
Pendapat serupa juga disampaikan anggota Bawaslu Fritz Edward Siregar menilai KPU berpotensi melanggar undang-undang jika tetap mengatur larangan mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg di Pemilu 2019. Pasalnya larangan itu tidak diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Dengan melarang orang terpidana korupsi menjadi calon, KPU melanggar undang-undang karena memang tidak diatur,” kata Fritz.
Bawaslu, menuturkan, sangat tidak setuju dengan pengaturan KPU yang melarang mantan narapidana kasus korupsi menjadi caleg. Terlebih, hak politik seseorang hanya bisa dibatasi oleh oleh undang-undang dan putusan pengadilan.
“Kita semua sebagai warga negara punya hak memilih atau hak untuk dipilih. Itu sudah diatur oleh Undang-undang Dasar 1945. Pembatasan hak itu hanya boleh oleh karena dua hal, karena ada undang-undang ataupun oleh sebuah putusan pengadilan,” kata Fritz.
Fritz menilai selama tidak diatur oleh undang-undang, maka tidak boleh seorang pejabat atau lembaga negara membatasi hak memilih dan dipilih seseorang. Apalagi, kata dia, hak tersebut dilindungi oleh konstitusi termasuk hak mantan napi kasus korupsi.
“Selama itu tidak diatur oleh dua hal, yakni UU dan putusan pengadilan, maka jangan coba-coba dibatasi,” katanyalagi.
Apalagi, kata Fritz, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 65 Tahun 2015 dan Putusan MK Nomor 51 Tahun 2016 telah mengatur bahwa mantan terpidana bisa menjadi caleg jika yang bersangkutan mengakui dan melakukan pengumuman secara terbuka ke publik.
“Dari segi filosofis hukum pidana pada saat seseorang sudah menjalani hukuman harusnya sudah direhabilitasi. Akhirnya sudah sama dengan kita semua karena telah menjalani hal yang seharusnya kita tidak jalani,” ungkap dia.
Fritz mengakui bahwa dari aspek moralitas, apa yang diatur KPU sudah benar agar masyarakat bisa memilih pemimpin yang berintegritas dan bersih. Namun, dia mengingatkan bahwa pengaturan tersebut tidak boleh menghilangkan hak dipilih seseorang. [CHA/TGU]