Upaya kudeta bertepatan dengan kedatangan salah satu propagandis terkemuka dari Kementerian Luar Negeri Inggris di Singapura.
Gilchrist, berpikir bahwa upaya luas propaganda Inggris tidak cukup, maka ia meminta agar Norman Reddaway dikirim sebagai “koordinator perang politik” melawan Indonesia dengan dukungan kepala staf pertahanan, Lord Louis Mountbatten.
Reddaway pernah bertugas di ketentaraan selama perang dunia kedua sebelum bergabung dengan Kementerian Luar Negeri dan memainkan peran kunci dalam pembentukan IRD. Setelah kudeta Untung yang gagal, dia datang untuk memimpin operasi Inggris. Pernyataan singkatnya dalam sebuah wawancara pada tahun 1996 dengan dua penulis, yang menyatakan bahwa ia telah diberi anggaran sebesar £100.000 oleh Kementerian Luar Negeri dan diberitahu “untuk melakukan apa saja yang bisa saya lakukan untuk menyingkirkan Sukarno”. (Baru sekarang kita tahu apa arti “segalanya” sepenuhnya.)
Reddaway melakukan penilaian rahasia atas operasi IRD, yang ditulisnya kepada kepala IRD pada bulan Juli 1966, setelah Sukarno secara efektif dilengserkan dari kekuasaan, seperti yang ada di Arsip Nasional. Reddaway mengklaim bahwa instruksinya yang diatribusikan kepada pers efektif dalam menggerakkan opini global dan operasi propaganda itu sukses besar.
“Mesin berita adalah gada kami: buletin dan operasi yang tidak ortodoks merupakan senjata kami,” katanya. Dalam dokumen lain yang dirilis, ia melaporkan bahwa IRD dengan para jenderal “bernyanyi dengan harmonis”.
Mantan pejabat Departemen Luar Negeri Derek Tonkin, yang merupakan petugas meja London untuk Indonesia dari tahun 1963 hingga 1966 mengatakan, pada bulan lalu, ia tidak melihat buletin propaganda mungkin karena ia saat itu terlalu muda, tetapi pada hari-hari awal setelah percobaan kudeta 30 September, mungkin tidak ada orang bisa meramalkan apa yang akan terjadi, seperti hal pertumpahan darah, dan sebagainya.
Namun, ia mengakui, “mungkin tidak mudah untuk melepaskan diri dari tuduhan bahwa Inggris pada awalnya membantu dalam bentuk beberapa tindakan kecil untuk menghasut keruntuhan PKI dengan cara yang sangat mengerikan”.
Adapun Reddaway, menurut Tonkin, “dia seperti meriam lepas kendali dan seperti banyak propagandis mungkin terlalu berkomitmen pada mandatnya”. Reddaway dan timnya “lebih merupakan hukum bagi diri mereka sendiri, tetapi Kementerian Luar Negeri tahu bahwa dia akan menjadi seperti itu ketika mereka menunjuknya”.
Dalam wawancara tahun 1996, Reddaway membual tentang manipulasi Inggris dan media global lainnya untuk mengambil garis anti-Soekarno dan PKI tetapi bersikeras bahwa IRD hanya menyampaikan fakta yang sebenarnya dan tidak menggunakan propaganda hitam.
Reddaway memberi tahu sebagian kebenaran. Menurut sebuah memo yang ia tulis: “Gada itu secara mengejutkan efektif karena kami mampu … memberikan informasi yang tidak dapat mereka temukan dari sumber lain karena sensor Sukarno.”
Reddaway sebagai sumber berita buletin mengidentifikasi penerima berita yang paling berguna, “tidak pilih-pilih soal informasi dan kebanyakan mereka tidak dikenal”, serta juga petugas radio: World Service BBC dan Indonesian Service, pada khususnya. Salah satu sumber utama Reddaway adalah, tentu saja, duta besar Inggris di Jakarta, Gilchrist, yang dengannya ia bertukar kabar mingguan selama periode tersebut.
Pada bulan Juli 1966, dalam satu surat kepada Gilchrist, Reddaway dengan bangga menyatakan bahwa “pertama kalinya dalam sejarah seorang duta besar mampu berbicara kepada orang-orang di negara tempat kerjanya hampir sesuka hati dan hampir seketika”.
Untuk memperlancar operasi Reddaway juga memanfaatkan sinyal intelijen, atau Sigint. Ia berada dalam posisi yang sangat baik untuk melakukannya dan di Singapura ada lokasi situs pemantauan GCHQ (Government Communications Headquarters).
Menurut Dr Duncan Campbell, jurnalis investigasi dan pakar GCHQ, situs pemantauan organisasi di Singapura, RAF (Royal Air Force) Chia Keng, tersembunyi di belakang dan di dalam stasiun komunikasi RAF yang lebih besar di Yio Chu Kang Road di Singapura timur, yang sekarang menjadi perumahan. ‘Bungalow’ berkeamanan tinggi GCHQ memiliki jendela bata kaca buram yang menyembunyikan sekitar 50 staf sipil pada setiap shift.
Pangkalan itu dengan cepat mendapatkan laporan lengkap dan langsung tentang perkembangan di Indonesia. Menurut Campbell, “GCHQ dapat memecahkan dan membaca kode bahasa Indonesia tanpa kesulitan. Pemerintah Indonesia termasuk di antara banyak negara dunia ketiga yang menggunakan peralatan yang dipasok oleh perusahaan Crypto AG yang berbasis di Swiss. Selama lebih dari 50 tahun, Crypto AG memasok mesin cypher yang disabotase secara diam-diam, dengan ‘pintu belakang’ yang kuncinya dimiliki CIA dan GCHQ.”
Sebuah memorandum terbuka, tertanggal 30 Oktober 1965, dari Reddaway kepada Brian Tovey, yang kemudian menjadi direktur GCHQ, yang kemudian dikirim ke Singapura, menyoroti kontribusi yang dapat diberikan Sigint. Reddaway mengatakan kepada rekannya bahwa materi GCHQ dapat membantu para jenderal untuk menganiaya PKI secara lebih efektif.
Buletin tetap menjadi pekerjaan inti Ed Wynne dan rekan-rekannya di Winchester Road. Tema utamanya adalah untuk mendorong pembaca terpengaruh dan mendukung kampanye tentara melawan komunis. Mereka mendesak para patriot Indonesia dengan: “PKI dan semua yang diperjuangkannya harus dilenyapkan untuk selama-lamanya.”
Kita sekarang tahu bahwa untuk melakukan itu mereka memasukkan kebohongan yang sensasional. Pada tanggal 5 November surat kabar harian pro-militer Jakarta mengklaim bahwa pada hari kudeta Untung, 100 wanita dari organisasi wanita Gerwani PKI telah menyiksa salah satu jenderal dengan menggunakan silet dan pisau untuk menyayat alat kelaminnya sebelum ia ditembak.
Kisah penyiksaan dan mutilasi para jenderal oleh perempuan Gerwani menjadi bagian dari mitos berdirinya rezim Suharto, yang digunakan untuk membenarkan penghancuran atas PKI. Itu juga, menurut Roosa, sebuah dalih untuk pembunuhan. Sebuah kebohongan yang disebarkan oleh tentara Indonesia, dimuntahkan dan digunakan kembali untuk menghasut para pembaca IRD yang terpengaruh.
Kisah propaganda tentara didaur ulang kembali ke Indonesia pada Januari 1966 di Buletin 23 dengan laporan tentang tuduhan yang dibuat oleh dua anggota PKI yang diinterogasi oleh tentara. Satu menghubungkan menteri luar negeri Sukarno-Subandrio dengan pembangunan “ruang penyiksaan” untuk penggunaan tahanan PKI, yang lain, merujuk pada Jakarta Daily Mail, seorang anggota organisasi perempuan PKI, Gerwani, “salah satu dari mereka yang ‘dihormati’ dengan tugas memutilasi para jenderal”.
Seorang gadis berusia 15 tahun dilaporkan harus berkata dan mengaku bahwa, “Pemimpin peleton kami memerintahkan kami untuk memukuli tahanan dan kemudian memotong bagian pribadinya dengan pisau kecil.”
“Buletin ini mengerikan. Jika Anda tidak memberi tahu saya siapa yang menulisnya, saya akan mengira itu orang Indonesia. Sangat sulit dipercaya bahwa mereka melakukan ini.”
IRD sengaja bungkam atas pembantaian tersebut. Satu dokumen dari Desember 1965 mengatakan bahwa mereka seharusnya “tidak melakukan apa pun untuk mempermalukan para jenderal” dan buletin itu dengan hati-hati merinci laporan tentang insiden-insiden kebrutalan PKI yang terisolasi tetapi tidak secara eksplisit menyebutkan pembunuhan tentara.
Bahkan kebijakan itu melangkah lebih jauh. Dalam laporan Seamu untuk tahun 1965, Wynne menulis bahwa mereka telah menggunakan buletin untuk “serangan berkelanjutan terhadap orang-orang yang bersalah … dan dukungan tidak langsung untuk pembersihan dan kontrol oleh para jenderal”. Juga menurut Wynne, “kami memperlakukan dengan lembut”.
Pada bulan Januari Robert F. Kennedy membandingkan pembantaian tersebut dengan ‘pembantaian tidak manusiawi yang dilakukan oleh Nazi dan komunis’ dan bertanya kapan orang akan “Berbicara … serta menentang pembantaian tidak manusiawi di Indonesia, di mana lebih dari 100.000 orang yang diduga komunis ternyata bukanlah pelaku, tetapi justru korban?”
Pada bulan Februari, demi menolak gagasan “mempromosikan pembantaian” sebagaimana mengurangi kesempatan akan “mendapatkan pemerintah baru Indonesia”, Reddaway menyebutkan, “Saya senang bahwa sejumlah besar komunis telah disingkirkan, tetapi pembunuh mereka didominasi militer dan Muslim.”
Pada bulan Maret 1966 kampanye pembunuhan terhadap PKI yang mengakibatkan lebih dari setengah juta kematian sebagian besar telah berakhir. Pada tanggal 11 Maret, Presiden Sukarno dipaksa untuk menyerahkan kekuasaan kepada Jenderal Soeharto, dan akhir dari Konfrontasi sudah di depan mata.
Pada 14 Maret, Reddaway menulis kepada Gilchrist: “Saya tidak dapat melihat bagaimana dalam jangka pendek hal-hal bisa menjadi lebih baik selama 10 hari terakhir.”
“Saya tahu bahwa orang Indonesia di bawah pemerintahan baru mereka tidak akan menjadi ‘teman berbagi ranjang’ yang mudah, tetapi saya tidak dapat menghindari sedikit Te Deum (bersyukur) atas perubahan situasi antara 29 September dan 12 Maret,” tulisnya.
Wynne menganggap operasi itu sukses. Dalam laporan tahunan 1966 dia dengan bangga mengatakan operasinya “cukup berhasil” karena semua musuhnya (Konfrontasi, Sukarno, Subandrio dan PKI) “dihancurkan”. Ingatannya tentang peristiwa tragis ini adalah salah satu “kegembiraan”.
Menurut Prof Scott Lucas dari University of Birmingham, dalam dokumen deklasifikasi yang jelas menunjukkan bahwa: “Inggris siap untuk melakukan perbuatan kotor yang bertentangan dengan nilai-nilai yang diakui.” Mereka juga mengungkapkan, “betapa pentingnya propaganda hitam untuk memberikan ilusi bahwa Inggris dapat menggunakan kekuatan global – bahkan jika mungkin banyak orang harus terbunuh karena ilusi itu”. [Nora E]
(disadur dan disarikan dari: theguardian.com/world/2021/oct/17/slaughter-in-indonesia-britains-secret-propaganda-war)
(“Observer special report”, The Observer, Sun 17 Oct 2021 09.00 BST: Dr Paul Lashmar; jurnalis investigasi dan pembaca jurnalisme di City, University of London. Nicholas Gilby; penyelidik kampanye dan penulis sejarah penyuapan dan perdagangan senjata Inggris. James Oliver; produser dan sutradara BBC pemenang Emmy dan memimpin penyelidikan Pandora Papers baru-baru ini untuk BBC Panorama).