Langkah Politik di Jalan Kemanusiaan

Koran Sulindo – Politik mencakup hampir semua aspek kehidupan manusia. Karena, manusia adalah makhluk politik, zoon politikon. Dengan keputusan dan tindakan politik, suatu masyarakat dapat hidup lebih sejahtera atau sebaliknya. Tak mengherankan jika dramawan terkemuka Jerman yang lahir tahun 1898 dan wafat 1956, Bertolt Brecht, mengatakan buta yang terburuk adalah buta politik. Karena, orang yang buta politik tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.

“Dia tidak tahu biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, dan lain-lain semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan ia membenci politik. Si dungu ini tidak tahu dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak telantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional,” demikian dikatakan Brecht.

Jadi, wajarlah bila partai politik seperti PDI Perjuangan menjalin kerja sama dengan berbagai pihak, sesuai dengan garis ideologinya. Apalagi, PDI Perjuangan adalah partai besar di negeri ini, yang mengemban amanah sebagai partai pelopor.

Karena itu pula, langkah PDI Perjuangan yang menjalin kerja sama dengan Badan Search and Rescue Nasional (Basarnas) dan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) patut diberi apresiasi. Pada 24 Agustus 2016 lalu, Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri menandatangani “Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerjasama DPP PDI Perjuangan, Basarnas, BMKG, dan Badan Penanggulangan Bencana (Baguna) PDI Perjuangan” di Kantor Basarnas, Jakarta. Dari pihak Basarnas, yang menandatangani nota kesepahaman tersebut adalah kepalanya, Marsekal Madya TNI F.H.B. Soelistyo. Demikian juga dari BMKG: Andi Eka Sakya.

Dalam pandangan Megawati, Basarnas dan BMKG punya peran besar dan strategis. Karena, kedua badan tersebut bersentuhan langsung dengan kemanusiaan. “Dua lembaga ini pegang peranan yang sangat besar. Jadi, BMKG harus sudah sampai tingkat nelayan dan petani, yang sekarang banyak mengeluh soal kapan menanam yang tepat. Petani tahu enggak apa itu BMKG? BMKG nyampe apa enggak ke petani? Begitu juga peran Basarnas, bagaimana membuat rakyat kita instingnya bisa lebih unggul dari hewan dalam mengantisipasi bencana,” tutur Megawati.

Ia pun berharap kedua lembaga tersebut menyosialisasi pengetahuan yang dimiliki, yang berkaitan dengan keberlangsungan kehidupan masyarakat di pedesaan. “Saya ingatkan, pengetahuan itu wajib disosialisasi ke rakyat, soal bagaimana mengantisipasi bencana. Kalau kita semua berdiam diri apa yang akan terjadi di kemudian hari?” ujarnya.

Diingatkan juga oleh Megawati, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Karena itu, mengutip mantan Wakil Presiden Amerika Serikat Al Gore, Megawati mengatakan Indonesia harus mengantisipasi agar pulau-pulaunya tidak tenggelam. “Negara-negara di Pasifik banyak yang mengeluh, karena pulaunya mulai mengecil akibat tertutupi air laut. Nah, ini harus diantisipasi dengan baik. Saya meminta anak-anak saya di Baguna untuk diajari karena, alhamdulillah, sangat terasa di lapangan peranan Baguna selama ini,” tutur Megawati. Padahal, lanjutnya, awalnya banyak yang heran dan skeptis ketika dirinya menggagas perlunya PDI Perjuangan membentuk Baguna. “Partai kan berbicara kekuasaan, mengapa partai harus bersusah payah mengurus bencana? Bencana merupakan tanggung jawab kita bersama. Lebih-lebih Indonesia, yang daerah-daerahnya rawan bencana,” katanya.

Hubungan PDI Perjuangan dengan Basarnas memang telah berjalan dengan baik selama ini. Pada tahun lalu, misalnya, DPP PDI Perjuangan bekerja sama dengan Basarnas menggelar pelatihan SAR yang diikuti oleh 100 peserta perwakilan dari Baguna PDI Perjuangan se-Indonesia. Mereka juga mendapatkan pelatihan penanggulangan bencana.

Langkah Megawati tersebut mempertegas sikapnya sebagai politisi yang senantiasa berpihak kepada rakyat banyak, terutama kaum kecil, kaum marhaen, seperti ayahnya, Bung Karno. Juga kepada pelestarian lingkungan. Dan, itu dilakukan sejak dulu, bukan hanya baru-baru ini.

Pada masa Orde Baru, misalnya, Megawati sewaktu menjadi anggota DPR telah menyatakan ketidaksetujuannya menjadikan Karawang sebagai daerah industri. Karena, Karawang adalah salah satu lumbung padi di Jawa Barat sejak Indonesia masih dijajah Belanda. Megawati ketika itu membuat gerakan untuk melawan rencana pemerintah Orde Baru tersebut.

Lalu, pada awal Agustus 2016 lalu, Megawati yang juga Ketua Umum Yayasan Kebun Raya Indonesia meminta pemerintah meningkatkan anggaran untuk kepentingan riset dan pengembangan kebun raya, khususnya untuk riset terhadap tumbuhan endemi yang menjadi kekayaan alam Indonesia. “Dalam APBN kita, untuk riset itu perjuangan luar biasa, sampai sekarang belum pernah sampai satu persen dari pengelolaan APBN. Saya sangat berharap, paling tidak kalau bisa dapat dua setengah persen,” ujar Megawati saat mendampingi 24 duta besar dari negara-negara sahabat saat berkunjung ke Istana Tapaksiring, Gianyar, Bali, 7 Agustus lalu.

Jika anggaran riset tidak mendukung, tambahnya, dikhawatirkan ke depannya semakin banyak tanaman dan pepohonan asli Indonesia yang diklaim negara lain dan manfaatnya dipatenkan karena mereka sudah melakukan riset terlebih dulu. “Katakan seperti kunyit. Kunyit diam-diam diambil oleh luar karena sangat bermanfaat sekali,” kata Presiden Kelima Republik Indonesia itu.

Terkait kebun raya, Megawati mengungkapkan, sebenarnya sudah ada perkembangan yang menggembirakan. Mengacu pada peraturan presiden yang dia terbitkan pada tahun 2003 lalu, hingga saat ini sudah ada sekitar 30 kebun raya, dari yang awalnya yang hanya 7 kebun raya. Beberapa daerah sekarang juga sudah membangun kebun raya dan mendapatkan sambutan antusias dari masyarakat. “Saya berharap itu diapresiasi dalam rangka otonomi daerah. Karena, yang sangat dikhawatirkan adalah arus deras dari luar yang ingin mengambil tanaman kita. Itu betul-betul ada. Tanaman lokal kita diambil, seperti tanaman obat, sayuran, bunga-bungaan. Saya juga gerakkan agar apa yang menjadi milik Indonesia dipatenkan pemerintah,” tuturnya.

Sebelumnya, Megawati pernah menyerukan kepada seluruh kadernya, termasuk yang di jajaran eksekutif, legislatif, dan pengurus struktural partai, untuk mendorong gerakan reboisasi sebagai jalan kemanusiaan untuk menyelamatkan bumi. “Jagalah Bumi dan perbanyaklah kebun raya serta hutan tanaman rakyat sebagai bagian dari penyelamatan bumi. Hutan yang ada harus diselamatkan dari kerusakan ulah manusia,” katanya Megawati dalam sambutannya ketika memperingati Hari Bumi pada 24 April 2016 lalu di Banten.

Menurut dia, kita harus belajar betapa ada bangsa-bangsa yang punah dan hilang seluruh peradabannya akibat merusak dirinya sendiri dengan tidak merawat Bumi. “Marilah kita lakukan reboisasi sebagai jalan kemanusiaan untuk Bumi,” ujarnya. Proses Pencerahan dari Lembar-Lembar Arsip

KETUA Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri bukan semata-mata anak biologis Bung Karno, tapi juga anak ideologisnya. Karena itu, sama seperti sang ayah, Megawati juga menilai pembelajaran sejarah merupakan hal penting bagi suatu bangsa. Salah satunya caranya adalah dengan memberi perhatian yang besar terhadap penyimpanan arsip. “Tanpa arsip, kita tidak akan tahu siapa kita. Tanpa arsip, kita akan tetap menjadi bangsa terbelakang, karena tidak punya bukti-bukti sejarah,” katanya saat membuka pameran bertajuk “Indonesian Archives” di Gedung Sarinah, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, 23 Agustus 2016 lalu.

Pemilihan lokasi pameran itu di Sarinah, lanjutnya, menjadi salah satu bukti sejarah bahwa Bung Karno sudah memiliki pemikiran yang melampaui zamannya, dengan membangun pusat perbelanjaan modern. Pusat perbelanjaan pertama dan juga pencakar langit pertama di Jakarta tersebut mulai dibangun tahun 1963 dan diresmikan pada tahun 1967 oleh Soekarno.

Lebih lanjut dikatakan Megawati, kepustakaan, kearsipan, dan museum adalah bagian dari sejarah. Kearsipan yang dimiliki Indonesia juga sangat potensial untuk menumbuhkan rasa cinta Tanah Air dan bangsa. Selain itu, kearsipan bisa membantu seseorang mencari ilmu pengetahuan.

Tahun lalu, dalam pidatonya pada acara peringatan Hari Arsip Nasional di Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia, Jakarta Selatan, Megawati juga menegaskan dukungannya terhadap upaya menjadikan seluruh dokumen Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 dan Konferensi Tingkat Tinggi Pertama Gerakan Nonblok di Beograd tahun 1961 masuk Memory of the World, yang merupakan program dari UNESCO. “Upaya ini sangat penting. Sebab, menyelamatkan arsip dan dokumen KAA dan GNB merupakan sebuah proses pencerahan,” tutur Megawati.

Upaya itu pun membuahkan hasil. Pada Oktober 2015, UNESCO mengakui secara resmi arsip Konferensi Asia-Afrika sebagai Memory of the World. Megawati pun mengapreasisi peristiwa tersebut. Karena, menurut Mega, Konferensi Asia-Afrika merupakan salah satu tonggak sejarah peran Indonesia dalam mewujudkan negara berkeadilan bagi negara-negara Asia dan Afrika. “Bagi saya, peristiwa ini adalah sebuah konsolidasi semangat antarbangsa untuk benar-benar mendobrak alam penjajahan yang masih ada sehingga, ternyata, konferensi itu melahirkan suatu kesadaran total untuk dapat merebut kemerdekaan,” ujar Megawati saat menghadiri “Sosialisasi Arsip KAA dan Penominasian Arsip Gerakan Nonblok” di Gedung Arsip Nasional, Jakarta, 25 Agustus 2016 lalu.

Jauh sebelum itu, ketika menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia, Megawati juga telah mengingatkan pentingnya arsip. Karena, keberadaan arsip nasional berkaitan erat dengan sejarah bangsa. “Sayangnya, masyarakat Indonesia masih kurang menghargai dan mengerti akan kegunaan arsip nasional,” ungkap Megawati ketika melakukan kunjungan ke Gedung Arsip Nasional Republik Indonesia pada 4 Mei 2001 lampau. [CHA/PUR]