Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) nampaknya tidak main-main dalam membongkar mega-korupsi proyek KTP elektronik (e-KTP). Kendati, hampir semua saksi yang dihadirkan dalam persidangan membantah keterlibatannya dalam kasus itu, KPK tetap maju tak gentar.
Langkah maju tak gentar itu lalu ditunjukkan KPK dengan memeriksa delapan saksi kasus itu pada Jumat (7/4). Kedelapan orang itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Andi Agustinus atau Andi Narogong, pengusaha yang mengerjakan proyek e-KTP.
Adapun delapan orang yang menjadi saksi itu adalah Irman, mantan pejabat Kementerian Dalam Negeri, mantan Direktur PT LEN Industri Abraham Mose, mantan Dirut PT Sucofindo (Persero) Arief Safari, pengusaha Home Industry Jasa Elektroplating Dedi Prijono, Dirut Perum Percetakan Negara RI (PNRI) 2009-2013 Isnu Edhi Wijaya, Konsultan IT PT Jasindo Tiga Perkasa Tbk Noerman Taufik, pensiunan PNS Ditjen Dukcapil Kemendagri Ruddy Indrato, dan anggota Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Wahyuddin Bagenda.
Selain menyasar pejabat di Kementerian Dalam Negeri dan anggota Komisi II DPR pada periode 2009 hingga 2014, KPK juga akan membongkar persekongkolan konsorsium dalam pengadaan e-KTP. Soal ini, Irene Putri, jaksa penuntut kasus itu membenarkannya.
Akan tetapi yang menarik juga dari kasus ini adalah kesaksian dari delapan orang dihadirkan pada persidangan Kamis (6/4) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Delapan orang itu seperti paduan suara hanya tahu membantah dan merasa tidak terlibat dalam kasus itu. Bahkan Setya Novanto, Ketua DPR sekalipun namanya disebut dalam dakwaan sebagai dalang di balik kasus ini berkeras menolak terlibat dalam e-KTP.
Bantahan Para Saksi
Novanto mengatakan, dirinya tidak pernah tahu mengenai proyek itu. Ia hanya tahu proyek tersebut merupakan program nasional yang sangat bermanfaat bagi data kependudukan masyarakat. Padahal dalam dakwaan ia disebut menerima Rp 574,2 miliar dari proyek tersebut.
Seperti Novanto, bekas Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum juga menyampaikan pendapat serupa. Dalam dakwaan ia disebut menerima US$ 500 ribu dari Andi Narogong. Kemudian, ia juga menerima 11 persen dari total nilai proyek yakni Rp 574,2 miliar.
Tuduhan-tuduhan ini kemudian dijawab Anas sebagai fiksi dan fitnah. Dari dakwaan terhadap Irman dan Sugiharto, Partai Golkar dan Partai Demokrat disebut sebagai pihak yang paling getol mendorong proyek ini. Novanto dan Anas sama-sama mengakui partainya memang berkepentingan mendukung kebijakan pemerintah pada waktu itu.
Dalam kesaksiannya itu, Anas mengakui soal arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kala itu. Ia akan tetapi menolak bahwa ada lobi-lobi anggaran untuk meloloskan proyek tersebut. Di sisi lain, keterlibatan Novanto dalam proyek itu mendapat respons simpati dari Ade Komaruddin, rekannya di Partai Golkar.
Ade khawatir keterlibatan Novanto justru akan menyeret nama baik Partai Golkar dan memberi dampak buruk. Ia bahkan sempat mengutarakan isi hatinya itu kepada Aburizal Bakrie, Ketua Umum Partai Golkar waktu itu. Selain kepada Aburizal, Ade lantas memverifikasinya secara langsung kepada Novanto. Alhasil: Partai Golkar aman.
Yang menarik adalah adu jawab antara Markus Nari, bekas anggota Komisi II DPR dengan terdakwa Irman dan Sugiharto. Markus membantah menerima Rp 4 miliar dari proyek e-KTP. Akan tetapi, kedua terdakwa berkeras bahwa Markus menerimanya bahkan pernah mendatangi terdakwa untuk meminta uang di Kementerian Dalam Negeri.
Markus berdalih kedatangannya ke Kemendagri bukan untuk meminta uang, tapi untuk membicarakan program e-KTP. Itu sebabnya ia datang dengan membawa tim. Sugiharto tentu saja tidak setuju dengan pendapat Markus. Apalagi Sugiharto secara langsung yang memberikan uang kepada Markus.
Proyek e-KTP melibatkan anggaran yang cukup besar mencapai Rp 5,95 triliun. Separuh dari anggarannya menjadi bancakan para pejabat baik di Kementerian Dalam Negeri maupun anggota DPR. Dalam kasus ini baru Irman dan Sugiharto yang duduk sebagai terdakwa. Mungkin akan segera menyusul beberapa yang telah ditetapkan KPK sebagai tersangka. [KRG]