Gedung DPR/Common Wikimedia

Koran Sulindo – Beban Dewan Perwakilan Rakyat untuk menyelesaikan rancangan undang undang akan semakin berat. Pasalnya, dalam masa Sidang V Tahun 2016, DPR hanya mampu menyelesaikan tiga RUU menjadi UU dari sembilan yang ditargetkan.

Ronald Rofiandri, peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengatakan, DPR sesungguhnya memiliki 43 hari kerja untuk menyelesaikan sembilan RUU itu. Namun, hanya mampu menyelesaikan tiga UU yaitu UU Pilkada, Pengampunan Pajak, dan UU Paten.

“Sebelumnya Wakil Ketua DPR Fadli Zon berjanji menyelesaikan sembilan RUU itu,” kata Ronald yang juga anggota Koalisi Masyarakat Sipil untuk UU MD3 melalui keterangan tertulis, di Jakarta.

Menurut Ronald, beban DPR akan semakin berat lantaran Badan Legislasi DPR dan Menteri Hukum dan HAM sepakat menambah 10 RUU ke dalam Program Legislasi Nasional 2016 pada 6 Juni lalu. Adapun RUU yang diusulakan pemerintah adalah RUU tentang Bea Materai, RUU BPK, RUU MK, RUU Narkotika & Psikotropika, dan RUU Kepalangmerahan. Sementara dari DPR yaitu RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU ASN, RUU Perkelapasawitan, RUU Bank Indonesia, dan RUU OJK.

Penambahan RUU baru itu juga menjadi sorotan Ronald. Pertama, penyusunannya sama sekali tidak melibatkan DPD. Kemudian, penambahan RUU itu dinilai hanya untuk memenuhi target Prolegnas 2016 secara kuantitas.

“Padahal pemenuhan target kuantitas justru kontraproduktif. Maka, DPR dan pemerintah seharusnya mengevaluasi RUU yang direncanakan,” kata Ronald.

Menurut Ronald, kebutuhan masyarakat akan produk hukum tidak selalu harus melalui sebuah UU. Karena itu, menjadi wajar ketika publik mempertanyakan keberadaan materi perkelapasawitan, kepalangmerahan, dan bea materai. Kesannya terlalu dipaksakan diatur setingkat UU. Apalagi naskah akademik dan naskah RUU tersebut tidak tersedia sehingga tidak memenuhi syarat untuk diajukan sebagai sebuah RUU. [KRG]