Lagu Lama Soal Soeharto

Soeharto/ist

Koran Sulindo – Menjelang Hari Pahlawan 10 November pada tahun ini kembali ada yang memunculkan wacana agar pemerintah memberi gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto (almarhum). Sebenarnya, Soeharto telah tiga kali masuk sebagai calon penerima gelar pahlawan, namun pencalonan tersebut gagal karena muncul pro dan kontra. Lalu, pada Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar yang digelar Mei 2016 lalu pun soal pemberian gelar pahlawan itu pun sudah diusulkan.

Terkait usulan Partai Golkar itu, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan Hasto Kristiyanto berharap Partai Golkar tidak mengesampingkan suara rakyat.”Kami, PDI Perjuangan, menghargai semua perbedaan, sebagai hal yang mematangkan kualitas demokrasi, substansinya biar rakyat mennilai. Ketika ambil keputusan penting tidak boleh lupakan rakyat,” kata Hasto, 21 Mei 2016.

Ia juga menuturkan ada proses legalitas saat seseorang ingin dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional. Hasto mengingatkan Partai Golkar agar tidak membawa persoalan ini ke ranah politik.”Pasti kan ada tahapan-tahapan. Jangan sampai persoalan itu menjadi isu politik nanti,” tutur Hasto.

Tahun 2015 lalu, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, mengatakan Soeharto berperan pada kerusakan besar yang terjadi di Indonesia, meski jasanya juga banyak selama 32 tahun berkuasa. “Kan tidak mungkin menjadi pahlawan orang yang seperti itu,” kata Asvi, 11 Maret 2015 lampau.

Ia juga mengatakan, gelar pahlawan yang disematkan pada seseorang harus mengindikasikan adanya jasa besar yang dilakukan oleh orang itu. Sementara itu, jasa baik dan buruk Soeharto selama menjadi presiden tidak dapat menjadi faktor kelayakan untuk mendapat gelar pahlawan nasional.“Gelar pahlawan itu kan hanya untuk orang yang sangat besar jasanya pada bangsa,” tuturnya

Jauh sebelum itu, peneliti politik dari LIPI juga, Mochtar Pabottiggi, menyatakan hal yang sama: Soeharto tidak layak mendapatkan gelar pahlawan nasional. “Soeharto telah mengkhianati dan mencampakkan cita-cita Proklamasi, tidak sepantasnya mendapatkan gelar pahlawan nasional. Pahlawan nasional adalah orang yang mampu menghayati dan melaksanakan amanat cita-cita Proklamasi, ” kata Pabottingi dalam sebuah diskusi di Jakarta, 8 November 2010.

Selama 32 tahun kepemimpinannya, tambahnya, Soeharto memupuk kekuasaan irasional. “Memupuskan semua calon pemimpin alternatif, ” ujarnya. Soeharto gagal membentuk bangsa Indonesia.”Soeharto bahkan tidak mengenal apa itu bangsa, yang terdiri atas beragam kelompok, suku bangsa, yang dia tahu adalah ABRI, angkatan bersenjata, dan bagaimana cara berkuasa, ” kataPabottingi lagi.

Secara legalitas, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan sebenarnya sudah mengatur soal tersebut. Pasal 1 undang-undang itu, misalnya, menyatakan pahlawan nasional adalah gelar yang diberikan kepada warga negara Indonesia atau seseorang yang berjuang melawan penjajahan di wilayah yang sekarang menjadi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang gugur atau meninggal dunia demi membela bangsa dan negara atau yang semasa hidupnya melakukan tindakan kepahlawanan atau menghasilkan prestasi dan karya yang luar biasa bagi pembangunan dan kemajuan bangsa dan negara Republik Indonesia.Pengertian gelar itu sendiri adalah penghargaan negara yang diberikan Presiden Republik Indonesia kepada seseorang yang telah gugur atau meninggal dunia atas perjuangan, pengabdian, darmabakti, dan karya yang luar biasa kepada bangsa dan negara.

Pasal 4 undang-undang tersebut dan juga Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2010 menegaskan, gelar yang diberikan berupa Pahlawan Nasional. Gelar ini diberikan oleh presiden melalui keputusan presiden, sebagaimana dicantumkanpada Pasal 32 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2009.

Dalam penjelasan pasal di atas dinyatakan, gelar Pahlawan Nasional mencakup juga semua jenis gelar yang pernah diberikan sebelumnya, yaitu Pahlawan Perintis Kemerdekaan, Pahlawan Kemerdekaan Nasional, Pahlawan Proklamator, Pahlawan Kebangkitan Nasional, Pahlawan Revolusi, dan Pahlawan Ampera. Dalam ketentuan ini tidak termasuk gelar kehormatan Veteran Republik Indonesia.

Untuk memperoleh gelar sebagai Pahlawan Nasional harus dipenuhi syarat umum dan syarat khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009.Selain itu, pemberian gelar pahlawan, tidak harus inisiatif dari negara saja. Pasal 30 ayat (2) undang-undang itu dan pasal 51 ayat (1) peraturan pemerintah tersebut menyebutkan, usul pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan dapat diajukan oleh perseorangan, lembaga negara, kementerian, lembaga pemerintah non-kementerian, pemerintah daerah, organisasi, atau kelompok masyarakat.Usul tersebut ditujukan kepada Presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Dewan itu bertugas memberikan pertimbangan kepada presiden dalam pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan.

Dalam Pasal 52 peraturan pemerintah tersebut diuraikan lebih detail mengenai mekanisme permohonan usul pemberian gelar: pemberian gelar diajukan melalui bupati/walikota atau gubernur kepada menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Selanjutnya,menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial mengajukan permohonan usul pemberian gelar kepada presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Lalu, bagaimana dengan Soeharto?

Wakil Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan Jimly Asshiddiqie mengatakan Golkar bisa saja mewujudkan rencananya itu jika dapat memastikan tak ada penolakan dari masyarakat, terutama aktivis dan korban hak asasi manusia. “Pemerintah akan memberikan gelar pahlawan jika hampir semua warga negara ikhlas,” tutur Jimly, 19 Mei 2016.

Terkait hal itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), menilai Soeharto sama sekali tak layak menerima gelar tersebut. Menurut Kepala Divisi Pemantauan Impunitas Kontras, Feri Kusuma, pelanggaran hak asasi yang dilakukan Soeharto selama 32 tahun pemerintahannya sudah terlalu banyak, dari pembantaian massal pada 1965, penembakan misterius, sampai penembakan terhadap mahasiswa sebelum kejatuhannya pada Mei 1998.

Mengenai prestasi Soeharto yang dinilai banyak orang berhasil melakukan pembangunan infrastruktur sehingga diberi gelar Bapak Pembangunan, Feri mengatakan, kesuksesan pembangunan juga ditentukan oleh pembangunan manusianya. “Pembangunan manusianya mandek karena tak ada kebebasan berpendapat,” tuturnya.

Pada 20 Juli 2016 lalu, Ketua Majelis Hakim Pengadilan Rakyat Internasional atas Kejahatan Kemanusiaan Periode 1965 di Indonesia atau International People’s Tribunal (IPT) 1965, Zak Yacoob, memutuskan negara Indonesia bertanggung jawab dan bersalah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan karena memerintahkan dan melakukan, khususnya tentara, melalui rantai komando, tindakan tidak manusiawi.“Semua tindakan ini merupakan bagian integral serangan yang menyeluruh, meluas, dan sistematis terhadap Partai Komunis Indonesia, PKI, organisasi-organisasi onderbouw-nya, para pemimpinnya, anggotanya, pendukungnya, dan keluarga mereka, termasuk mereka yang bersimpati pada tujuannya, dan secara lebih luas terhadap orang yang tak berkaitan dengan PKI,” kata Zak Yacoob.

Dan, orang Indonesia yang mempelajari sejarah pun tahu, siapa orang nomor satu di balik tindakan kejahatan terhadap kemanusiaan tersebut. [Hano Zahaban/Pur]