Lagu Lama Freeport

Ilustrasi: Sisa buangan tambang Freeport/Reuters

Koran Sulindo – Freeport memang istimewa. Menggangsir gunung untuk mendapatkan emas, perusahaan itu benar-benar menjadi anak emas. Di Indonesia, rezim boleh saja datang silih berganti namun, setengah abad bercokol di Papua, faktanya Freeport nyaris tak tergoyahkan.

Menjelang berakhirnya masa Kontrak Karya II tahun 2021, Freeport kembali memicu kegaduhan dengan niatnya menggugat pemerintah Indonesia ke arbitrase internasional.

Freeport menuduh pemerintah melanggar kontrak karya dengan mewajibkan perusahaan itu mengubah bentuk usaha pertambangan dari kontrak karya menjadi izin usaha pertambangan khusus. Mereka menuding aturan itu cara sepihak pemerintah mengakhiri kontrak karya.

Richard Adkerson, CEO Freeport-McMoran Inc. seperti dikutip Reuters bahkan menuding aturan baru yang dibuat pemerintah adalah bentuk perampasan aset Freeport. Menurut Adkerson, para pemegang saham menganggap sikap Freeport selama ini terlalu baik dan perusahaan hanya mempertahankan hak-hak di bawah kontrak. Perusahaan itu memberikan tenggat 120 hari pada pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan persaolan mereka sebelum menuju ke arbitrase.

Adkerson mengklaim mengantongi dukungan pemegang saham untuk lebih keras menghadapi pemerintah Indonesia.  “Pendekatan halus kami miliki di masa lalu, jika kami ke arbitrase nanti, akan digantikan dengan pengacara tangguh,” kata Adkerson.

Soal arbitrase bukan kali ini saja Freeport melakukannya. Tahun 2014, perusahaan itu juga menebar ancaman serupa ketika pemerintah pemberlakuan bea keluar ekspor konsentrat.

Tak cuma ancaman gugatan, Freeport sejak pertengahan Januari lalu berhenti mengekspor tembaga dan mengklaim memangkas produksinya hingga 60%. Dalih itu membuka jalan bagi Freeport untuk melakukan PHK ribuan karyawannya.

Digertak Freeport, Pemerintah Indonesia bergeming. Mereka justru siap menghadapi gugatan itu. Presiden Joko Widodo menyebut urusan Freeport dengan Pemerintah Indonesia adalah urusan bisnis jadi solusinya harus sama-sama menang. Meski begitu Presiden menjanjikan bakal bersikap tegas jika Freeport sulit diajak berunding. “Masih berproses, berunding dengan Freeport. Intinya itu saja. Intinya kalau memang sulit diajak musyawarah, dan sulit diajak berunding, saya akan bersikap,” kata Presiden Jokowi pekan lalu.

Soal ketegasan pada perusahaan tambang, jauh-jauh hari sebelum menjadi presiden Jokowi sudah mengikrarkannya. Di hadapan warga Papua di Kampung Yako, Sentani, saat berkampanye tahun 2014 silam dia menjanjikan renegosiasi dengan fokus utama adalah keuntungan negara dan rakyat Indonesia. Jokowi juga berjanji tidak bakal ada lagi perlakuan istimewa bagi Freeport.

“Kalau suatu kontrak sudah mau habis, ya dihitung lagi, dikalkulasi, direnegosiasi kembali untuk sebesar-besarnya keuntungan negara dan rakyat Indonesia. Termasuk perusahaan asing yang ada di Tanah Papua,” kata Jokowi kala itu.

Menurutnya, sumber daya alam Papua sangat berlimpah dan jangan dibawa mentah-mentah. Pengolahannya harus dibikin di Papua hingga membuka lapangan pekerjaan dan mengurangi pengangguran. Selain itu makin banyak uang yang diputar masyarakat diharapkan bisa lebih sejahtera.

Kisah Freeport ke Papua

Keberadaan perusahaan yang awalnya bernama Freeport Sulphur di Papua tidak bisa dilepaskan dari kisah jatuhnya Presiden Soekarno dari tampuk kekuasaan pada 1966. Hanya berselang setahun keran modal asing masuk ke Indonesia dibuka selebar-lebarnya. Termasuk PT Freeport yang sejak era Perang Dingin telah mengincar gunung-gunung berselimut emas di Papua itu.

Laporan The Guardian menyebutkan bermula dari penemuan seorang geolog Belanda Jean Jacques Dozy yang menjelajahi puncak gunung tertinggi di Papua yakni Gunung Cartensz pada 1936. Di sana ia menemukan batu-batu yang dilapisi perak dan tertutup oleh salju. Ini sempat dikenal sebagai Dutch New Guinea. Ketika pendakiannya mencapai ketinggian 4,8 kilometer, Dozy melihat singkapan bebatuan yang berbeda dari yang lain. Bergaris hijau. Ia lalu membawanya sebagai contoh untuk diteliti. Hasilnya: bebatuan itu dilapisi emas dan tembaga dengan cadangan dalam jumlah yang besar.

Di sisi lain, Freeport juga menguasai tambang Grasberg yang berada di wilayah Papua Barat. Grasberg disebut sebagai tambang emas terbesar ketiga di dunia dengan cadangan emasnya diperkirakan mencapai US$ 100 miliar. Akan tetapi, Komisi Keuskupan Brisbane menyebutkan, apa yang terjadi di Papua sebagai sebua genosida secara perlahan. Dan itu berisiko menjadi masyarakat Papua tinggal kenangan.

Dozy sejak awal ketika mendaki pegunungan di Papua tidak secara khusus mencari emas. Tujuannya hanya mengukur skala puncak tertinggi di kawasan tersebut. Namun, penemuannya justru memicu minat Freeport. Mengutip buku wartawan lepas BBC, John Pilger berjudul The New Rulers of the World, mantan Menteri Koordinator Perekonomian Kwik Kian Gie mengatakan, setelah Soeharto berkuasa, tepatnya pada November 1967 The Life Time Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa, Swiss.

Dalam waktu tiga hari, mereka merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalisme global yang paling berkuasa di dunia seperti David Rockefeller. Perusahaan raksasa Barat diwakili General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Dalam kesempatan itu, hadir juga para ekonom-ekonom top Indonesia di bawah pimpinan Widjojo Nitisastro.

Kwik melanjutkan, masih menurut buku yang sama, hari kedua pertemuan itu, ekonomi Indonesia dibagi-bagi sektor demi sektor. Para korporasi raksasa ini membaginya ke dalam lima seksi yakni pertambangan, jasa, industri ringan, perbankan dan keuangan. Mereka disebut mendiktekan apa yang mereka mau kepada perwakilan pemerintah Indonesia. Freeport lantas mendapatkan bukit dengan tembaga di Papua Barat. Eropa disebut mendapat nikel di daerah yang sama.

Sementara sejumlah perusahaan AS, Jepang dan Prancis mendapat hutan-hutan tropis di Sumatra, Papua Barat, dan Kalimantan. Untuk membenarkan penanaman modal asing ini kemudian dibuatlah sebuah Undang Undang (UU) Penanaman Modal Asing tahun 1967. Lewat UU itu, sebut Kwik, perampokan ini bebas pajak untuk lima tahun. Sejak tahun itu, Kwik menyimpulkan Indonesia tak lagi mandiri secara ekonomi.

Ketika Soeharto menganeksasi wilayah itu lewat referendum PBB pada 1969, sekitar 500 ribu orang Papua Barat tewas terutama karena perampokan sumber daya alam termasuk tanah. Ketika Freeport mulai beroperasi pada 1973 suku adat Papua seperti Kamoro dan Amungme mengalami siksaan yang begitu mendalam seperti kemiskinan, penyakit, penindasan dan kerusakan lingkungan.

Sebuah laporan oleh Earthworks and Mining Watch berbasis Kanada menyebutkan karena limbah tambang lebih dari 166 kilometer persegi hutan produktif dan ikan di sungai hilang. Sementara itu, populasi masyarakat adat yang pada 1971 mencapai 96%, kini tinggal 48%. Pada 2020 diperkirakan tinggal 29%. Meski faktanya Papua sudah “diperkosa” sedemikian rupa, masihkah Freeport merasa diperlakukan tidak adil secara sepihak? [Teguh Usia dan Kristian Ginting]