Dalam sejarah pergerakan mahasiswa Indonesia, terdapat sejumlah nama yang berperan besar dalam membentuk arah perjuangan intelektual, kebangsaan, dan keislaman. Salah satu tokoh penting di antaranya adalah Lafran Pane, pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Lahir dari keluarga yang sarat dengan nilai nasionalisme dan keislaman, Lafran tumbuh menjadi pribadi mandiri dan penuh idealisme. Sejak kecil, ia sudah terbiasa menghadapi berbagai tantangan, termasuk kehilangan ibunya dan kehidupan yang berpindah-pindah akibat situasi kolonialisme. Semangatnya dalam menuntut ilmu dan bekerja keras membentuknya menjadi pemimpin visioner.
Puncak kontribusinya terjadi pada 5 Februari 1947, ketika ia mendirikan HMI sebagai wadah bagi mahasiswa muslim untuk berperan aktif dalam perjuangan kebangsaan tanpa meninggalkan nilai-nilai Islam. Tak hanya sebagai aktivis, Lafran juga dikenal sebagai akademisi yang berdedikasi tinggi terhadap dunia pendidikan.
Pengabdian dan perjuangannya dalam membangun generasi intelektual muslim diakui negara dengan penganugerahan gelar Pahlawan Nasional pada 2017. Jejak perjuangannya tetap menjadi inspirasi bagi mahasiswa Indonesia untuk terus berkarya dan berkontribusi bagi bangsa. Melalui artikel ini, kita akan menelusuri jejak perjuangannya yang telah dirangkum dari berbagai sumber.
Perjalanan Pendidikan dan Pemikiran
Lafran Pane merupakan seorang aktivis pergerakan yang dikenal sebagai salah satu pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Ia lahir di Padangsidimpuan dari pasangan Sutan Pangaruban Pane dan Gonto Boru Siregar.
Ayahnya adalah seorang wartawan, penulis, serta aktivis politik Partai Indonesia (PARTINDO) di Sumatra Utara. Lingkungan keluarga Lafran kental dengan nuansa nasionalisme dan Islam. Ia juga berasal dari keluarga sastrawan ternama—kakak kandungnya, Sanusi Pane dan Armijn Pane, merupakan tokoh besar dalam dunia sastra Indonesia.
Sejak kecil, Lafran telah menunjukkan sifat mandiri dan pemberontak. Kehilangan ibunya pada usia dua tahun membuatnya harus berjuang tanpa kehangatan seorang ibu. Ia menempuh pendidikan dasar di berbagai sekolah bercorak agama dan nasionalis, termasuk pesantren, sekolah Muhammadiyah, serta Taman Siswa di beberapa kota seperti Sipirok, Medan, dan Jakarta. Situasi penjajahan membuatnya sering berpindah-pindah sekolah, meskipun dikenal sebagai murid yang cerdas dan penuh semangat.
Sebagai pribadi yang mandiri, Lafran sejak muda telah terbiasa mencari nafkah sendiri dengan menjual karcis bioskop dan es lilin. Ia juga pernah bekerja di kantor Statistik Jakarta serta menjadi pemimpin umum Apotek Bavosta. Kemampuannya berbahasa Jepang membawanya ke perusahaan semi-pemerintah di era pendudukan Jepang.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah, Lafran melanjutkan studi di Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kemudian berganti nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) pada 20 Mei 1948.
Di STI, ia terpapar ide-ide Islam modern dari tokoh-tokoh seperti Prof. KH. Abdul Kahar Muzakar dan Kasman Singodimedjo. Lafran kemudian melanjutkan pendidikannya di Akademi Ilmu Politik (AIP) Yogyakarta, yang pada 1949 bergabung dengan Universitas Gadjah Mada (UGM). Ia menjadi sarjana ilmu politik pertama UGM yang lulus pada 26 Januari 1953.
Pemikirannya yang kritis dan idealis terus berkembang seiring dengan pergumulannya dalam dunia akademik dan aktivisme. Sejak remaja, Lafran telah aktif di organisasi pergerakan seperti Gerindo bersama D.N. Aidit. Saat menjadi mahasiswa, ia menginisiasi pendirian HMI pada 5 Februari 1947 bersama beberapa rekannya.
Pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)
Sebelum HMI terbentuk, telah ada Perserikatan Mahasiswa Yogyakarta (PMY) yang didirikan pada tahun 1946. PMY melibatkan anggota dari tiga Perguruan Tinggi di Yogyakarta, yakni Sekolah Tinggi Teknik (STT), Sekolah Tinggi Islam (STI), dan Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada.
Namun, karena PMY dinilai tidak memperhatikan kepentingan mahasiswa yang mengutamakan nilai-nilai agama Islam dan tidak menyalurkan aspirasi keagamaan, mahasiswa Islam memutuskan untuk mendirikan organisasi kemahasiswaan terpisah dari PMY. Hal ini menjadi awal terbentuknya HMI, yang hadir sebagai wadah bagi para mahasiswa Islam untuk lebih mengekspresikan dan memperjuangkan nilai-nilai agama mereka.
Sejumlah mahasiswa pada masa tersebut membentuk organisasi baru atas berbagai alasan, salah satunya adalah karena PMY didominasi oleh Partai Sosialis yang dianggap tidak sesuai. Penolakan terhadap dominasi Partai Sosialis tidak hanya berasal dari kalangan mahasiswa Islam, melainkan juga melibatkan mahasiswa Kristen, mahasiswa Katolik, dan berbagai mahasiswa yang masih memegang teguh ideologi keagamaan.
Lafran mendirikan HMI dengan tujuan utama untuk mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia, serta menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam. HMI menjadi wadah intelektual mahasiswa muslim yang menjaga identitas keislaman sekaligus berperan dalam kehidupan kebangsaan.
Lafran menjadi Ketua HMI pertama sebelum digantikan oleh M.S. Mintaredja pada Agustus 1947. Pergantian kepemimpinan ini dilakukan agar HMI dapat menarik lebih banyak mahasiswa dari berbagai latar belakang akademik.
Setelah memperkuat HMI, Lafran memilih jalur pendidikan sebagai pengabdiannya. Ia hidup sederhana di Yogyakarta dan tidak tertarik pada gemerlap politik praktis. Sebagai akademisi, ia menekankan pentingnya pendidikan yang membebaskan dari warisan kolonialisme. Ia dikenal sebagai sosok yang rajin membaca dan memiliki disiplin tinggi dalam belajar.
Pada 1 Desember 1966, Lafran diangkat sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara di IKIP Yogyakarta. Pidato pengukuhannya baru dilaksanakan pada 16 Juli 1976 dengan judul Perubahan Konstitusional. Ia juga pernah menjabat sebagai Pembantu Dekan FKIS IKIP Yogyakarta serta anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA) periode 1988-1993.
Akhir Hidup dan Penghargaan sebagai Pahlawan Nasional
Lafran menikah dua kali, pertama dengan Martha Dewi dan dikaruniai tiga anak. Setelah istrinya meninggal, ia menikah dengan Bisromah pada 1990. Pada awal 1991, Lafran mengalami sakit dan dirawat di RS Sarjito Yogyakarta sebelum wafat pada 25 Januari 1991.
Sebagai bentuk penghargaan atas jasanya dalam perjuangan mahasiswa dan pendidikan, Lafran Pane dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden RI melalui Surat Keputusan Nomor 115/TK/Tahun 2017 pada 6 November 2017. Ia dikenang sebagai sosok yang berdedikasi tinggi pada pendidikan, keislaman, dan kebangsaan.