Kutuk Tujuh Turunan Keris Mpu Gandring

Relief pada Candi Penatara yang berkisah tentang Ramayana dan Kresnayana seringkali ditafsirkan mirip dengan kisah Ken Arok dan Ken Dedes.

Koran Sulindo – Hari ketika Rajasa menemani gustinya, Arya Pulungan dan istrinya bertamasya ke Hutan Baboji adalah hari yang tak mungkin terlupakan sepanjang hayatnya.

Di hutan itulah takdir Rajasa benar-benar berubah.

Itu adalah saat ketika ia membantu istri junjungannya turun dari kereta. Dengan kaki yang separuh melangkah, kesiur angin tetiba menyibak kain yang dipakainya.

Meski hanya sekejap cahaya bersinar dari bagian paling tersembunyi itu membuat Rajasa benar-benar terkesiap. Ia kaku di tempatnya berdiri!

Ya, Rajasa alias Angrok memang sudah sepantasnya kaku. Kesiur angin itu tak cuma menyingkap betis dan paha, ia juga memamerkan bagian paling rahasia dari seorang wanita.

Menggambarkan momen itu, Pararaton sebuah kitab yang ditulis pada tahun 1481 bercerita dalam syairnya …kengkis wetisira, kengkab tekeng rahasyanica, nener katon murub denira Ken Angrok … atau tersingkap betisnya yang terbuka sampai rahasianya, lalu kelihatan bernyala oleh Ken Angrok.

Kasmaran sira Ken Angrok tan wruh ring tingkahira …. , jatuh cintalah Ken Angrok, tak tahu apa yang akan diperbuatnya.

Meski tak pernah diketahui siapa penulisnya, Pararaton jelas amat menghargai Ken Dedes. Ia memilih gaya eufemistis dengan menggambarkannya rahasyanica untuk mendeskripsikan ‘sesuatu’ yang bersifat sangat pribadi tersebut.

Pararaton adalah sebuah naskah sastra Jawa era pertengahan yang digubah dalam bahasa Jawa Kawi dan berkisah tentang raja-raja Singhasari dan Majapahit. Itulah mengapa ia dikenal sebagai Pustaka Raja yang dalam bahasa Sanskerta juga berarti ‘kitab raja-raja’.

Baca juga: Singasari, Antara Pararaton atau Nagarakretagama

Lebih khusus, Pararaton memang menempatkan Angrok sebagai tokoh sentral karena dianggap pendiri dinasti raja-raja Singasari dan Majapahit. Kisah tentang kehidupannya dituturkan sejak lembar pertama dan bahkan hampir separo isi kitab itu hanya bercerita tentang Angrok. Sedangkan sesekali nama Dedes dan Tunggul Ametung alias Arya Pulungan itu disebut.

Masih menurut kitab itu, penasaran dengan ‘cahaya terang’ Ken Dedes itu, Angrok menanyakanya pada Lohgawe, bapak angkatnya sekaligus pendeta dari India. “Bapak Dang Hyang, ada seorang perempuan bernyala rahasianya,tanda perempuan yang bagaimanakah? Tanda buruk atau baik?”

Jawaban Lohgawe membuat Angrok makin terpaku.

“Jika ada perempuan yang demikian, perempuan itu namanya nariswari. Ia adalah perempuan yang paling utama. Meskipun orang berdosa, jika memperistri perempuan itu, ia akan menjadi maharaja.”

Setelah mengumpulkan tekadnya, Angrok kemudian berkata lirih, “Bapa Dang Hyang, perempuan yang bernyala rahasianya itu adalah istri sang Akuwu di Tumapel. Jika demikian Akuwu akan saya bunuh dan saya ambil istrinya. Tentu ia akan mati, itu kalau Bapak Dang Hyang mengijinkan.”

“Ya, tentu matilah Tunggul Ametung olehmu. Hanya saja saya tak pantas memberi ijin itu kepadamu, itu bukan tindakan seorang pendeta. Batasnya adalah kehendakmu sendiri.”

Esoknya, Angrok bangun dengan sebuah tekad baru; merebut Ken Dedes dari Tunggul Ametung, sekaligus menyingkirkan sang adipati itu dari singgasananya.

Dan begitulah yang memang terjadi, setidaknya menurut Pararaton.

Kutukan

Angrok lantas menemui ayah, Bango Samparan penjudi dari Desa Karuman yang menganggapnya sebagai pembawa keberuntungan. Si Bango inilah yang kemudian mengenalkan Angrok dengan Mpu Gandring dari Desa Lulumbang yang terkenal sebagai pembuat pusaka-pusaka ampuh.

Kepada Gandring, Angrok minta dibuatkan sebilah keris ampuh dalam waktu lima bulan. Gandring tak sanggup, “…Sampun limang wulan punika, lamun sira ayun den-apened, manawi satahun huwus, enak rateng papalonipun,” kata Gandring menawar proyek keris itu menjadi setahun.

“Terserah tempaannya, asal selesai dalam lima bulan,” kata Angrok tak bergeming.

Tepat lima bulan kemudian, Angrok benar-benar kembali datang ke Lulumbang. Tentu saja keris itu belum sempurna dan bahkan bilahnya masih digosok Mpu Gandring. Panas hati Angrok, keris itu direbutnya dan ditusukkan ke dada Mpu Gandring.

Sebelum rebah, sebuah kutuk sempat diucapkan Gandring. “Ki Angrok, kang amateni ring tembe keris iku, anak-putunira mati dene kris iku, olih ratu pipitu tembe keris iku amateni.”

Ya, Gandring mengutuk keris itu bakal membunuh tujuh raja, termasuk Angrok.

Kembali ke Tumapel, mula-mula Angrok meminjamkan keris itu pada Kebo Hijo, teman sesama prajurit di Tumapel yang memamerkan keris itu sebagai miliknya kepada semua orang.

Malam ketika Kebo Hijo tenggelam dalam mabuk arak, Angrok mencuri keris itu dan menyelinap ke kamar Tunggul Ametung dan membunuh majikannya itu di atas ranjang. Ken Dedes, meski menjadi saksi atas kematian suaminya, hatinya terlanjur lumer oleh janji Angrok. Lagi pula, pernikahan Dedes dengan sang akuwu itu dilandasi rudapeksa.

Segera Kebo Hijo dihukum mati karena kerisnya ditemukan menancap di tubuh Tunggul Ametung. Sementara itu, Ken Angrok mengangkat dirinya sebagai akuwu baru di Tumapel sekaligus mengambil hadiah utamanya, Ken Dedes. Tentu dengan janin tiga bulan di perutnya sebagai bonus. Kelak janin itu diberi nama Anusapati.

Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Angrok menurunkan empat anak yakni Mahisa Wonga Teleng, Apanji Saprang, Agnibhaya, dan Dewi Rumbu. Sementara dari selirnya Ken Umang lahir Tohjaya, Panji Sudhatu, Tuan Wergola dan Dewi Rambi.

Menjadi penguasa baru di Tumapel, Anggrok segera menyatakan Tumapel lepas dari Kadiri sekaligus menjadi raja pertama bergelar Sri Rajasa Bhatara Sang Amurwabhumi. Didukung para brahmana yang kecewa pada Kadiri, Angrok juga menantang Prabu Dandhang Gendis.

Pararaton menyebut Dandhang Gendis sama sekali tak merasa gentar dengan tantangan itu. Ia bahkan sesumbar tak ada yang bakal bisa mengalahkannya kecuali Dewa Siwa.

Menjawab sesumbar itu para brahmana mengizinkan Angrok memakai gelar Batara Siwa dan segera mengerahkan pasukannya menyerbu Kadiri. Perang antara Tumapel dan Kadiri terjadi dekat Desa Ganter tahun 1222. Kadiri kalah.

Tumbal Keris

Pararaton juga menceritakan kematian Angrok pada tahun 1247 M oleh tusukan keris Mpu Gandring oleh orang suruhan Anusapati ketika sedang makan sore hari. Anak tiri itu berhasil mendapatkan keris yang selama ini disimpan Ken Dedes. Anusapati ganti membunuh pembantunya itu untuk menghilangkan jejak sekaligus naik tahta di Tumapel.

Dua tahun kemudian, Anusapati yang tengah asyik menonton sabung ayam tiba-tiba ditusuk Tohjaya juga dengan keris Mpu Gandring, Anusapati tewas seketika. Pararaton mencatat peristiwa itu terjadi pada tahun 1249 M. Tohjaya naik tahta.

Atas hasutan pembantunya, Tohjaya lantas memerintahkan pembunuhan atas dua keponakannya yakni Ranggawuni anak Anusapati, dan Mahisa Campaka anak Mahisa Wonga Teleng. Perintah itu jatuh kepada Lembu Ampal.

Bukannya membunuh Ranggawuni dan Mahisa Campaka, Lembu Ampal justru berbalik mendukung kedua pangeran itu dan menggalang dukungan tentara melawan Tohjaya.

Dalam sebuah pemberontakan di istana Tohjaya tertusuk tombak dan berhasil melarikan diri. Ia akhirnya tewas di Desa Katang Lumbang akibat luka-lukanya. Pararaton mencatat peristiwa itu terjadi tahun 1250.

Menggantikan Tohjaya, Ranggawuni segera naik tahta menggantikan pamannya itu.

Begitulah Pararaton bercerita tentang masa-masa awal Kerajaan Tumapel yang penuh darah dan balas dendam.(TGU)