Suluh Indonesia – Kuliner di Jakarta pada tahun 1950-an dan 1960-an masih sangat terbatas. Ketika itu, kalau mau ngobrol-ngobrol atau, istilah kerennya, hang-out paling-paling orang-orang tua kita hanya kumpul di rumah salah satu kawan.
Memang, ada beberapa resto, tapi terlalu formal dan mungkin juga relatif mahal untuk saat itu, sehingga kurang layak kalau sekadar untuk ngobrol-ngobrol dan ketawa-ketiwi harus ke tempat seperti itu.
Tahun 1950-an, yang saya tahu, resto-restonya di Jakarta antara lain ada di Hotel Des Indes, Hotel Dharma Nirmala, dan Hotel Transaera. Selain untuk lunch dan dinner, di resto-resto itu juga bisa berdansa pada malam harinya. Tahun 1950-an memang masih banyak tuan dan nyonya Belanda yang berdansa.
Tentunya masih ada tempat-tempat lain, namun itu yang sempat saya ketahui. Karena, saya sendiri masih di bawah umur pada masa itu. Saya sering dibawa ayah saya untuk menemui teman-temannya.
Ayah adalah anggota parlemen komisi luar negeri, sehingga pekerjaannya menuntut untuk banyak bertemu dengan diplomat-diplomat asing di Jakarta. Samar-samar, saya masih ingat, ketika para anggota parlemen bersama dan bertemu dengan diplomat asing terdengar bahasa asing mereka sangat lancar, lebih lancar daripada para pejabat kita sekarang. Mereka umumnya memang sangat fasih berbahasa Belanda, sehingga berbahasa Inggris tidak terlalu sulit bagi mereka.
Yang lucu, kalau para anggota DPR sedang berkumpul, bahasa mereka adalah bahasa Belanda. Biasanya mereka yang dari fraksi PNI, PSI, dan Masjumi sangat fasih berbahasa Belanda.
Kadang, ada hal-hal yang cukup unik. Misalnya Mr Sunaryo–saat itu duta besar kita di Inggris—sekali waktu beliau berkunjung ke rumah kami dengan bersepeda, untuk jarak yang lumayan dari rumahnya di Jalan Raden Saleh ke Jalan Teuku Umar. Beliau berpakaian lengkap dengan memakai dasi dan peci. Saya ingat sepedanya bagus sekali berwarna biru, merek Raleigh—mungkin dibawa dari London.
Untuk resto yang kelas menengah, saat itu belum ada restoran padang, tapi resto tionghoa lumayan banyak, yang terkenal adalah Toeng Kong (sekarang Cahaya Kota). Lokasi resto ini tepat di Tugu Pak Tani sekarang. Dulu di lokasi berbentuk segitiga itu itu banyak sekali pertokoan, bahkan ada pompa bensin. Tapi, oleh Bung Karno, demi keindahan kota, semua bangunan di segitiga itu digusur dan jadilah taman dan Tugu Pak Tani yang indah seperti sekarang—herannya zaman dulu tenang-tenang saja kalau menggusur.
Juga ada Restoran Trio, yang lokasi dan model bangunannya masih tetap ada sampai sekarang. Lokasinya di Jalan Gondangdia lama.
Resto tionghoa lain yang juga terkenal adalah Jit Lok Yoen di Glodok, dengan cabangnya di dekat Bioskap Menteng. Last but not least: Toko Oen yang di Jalan Rr Haji Djuanda.
Juga ada resto yang terkenal dengan steak-nya, walaupun dagingnya lokal. Pemiliknya orang Belanda atau Indo. Lokasinya dekat Zandvoort (orang Betawi bilangnya Sampur) di Tanjungpriok.
Kalau mau makan ke sana, yang dari Jakarta saja harus berangkat dari sore karena jaraknya cukup jauh. Sepanjang jalan di Ancol, kiri-kanannya dulu berjejer pohon asam yang di tengah-tengah batangnya di apur putih, sehingga pemandangan di jalan yang lurus itu sangat menyenangkan buat saya yang masih anak-anak.
Yang lebih mengesankan, di selatan jalan itu ada rel kereta api. Kami kerap berpapasan dengan kereta api uap atau kadang sejajar dan layaknya berlomba dengan kendaraan kami.
Kereta itu masih menggunakan batubara dan bunyi peluitnya sangat khas. Bau asap batubaranya serta percikan apinya sangat enak untuk dinikmati. Konon, menurut salah satu putrinya, Bung Karno juga kerap ke resto di Sampur itu.
Untuk anak-anak dan anak baru gede di Jakarta pada masa itu biasanya beli makan di pinggir jalan, sepert gado-gado, soto mi, ketoprak, juga sate kambing yang dijual di warung di pasar-pasar. Bakso dulu belum sepopuler sekarang, baru ada satu yang terkenal, yaitu di Jalan Teuku Umar, yang mangkal di depan kantor Imigras- (sekarang Koenstring). Sampai sekarang, penjual bakso tersebut masih ada, tapi yang berjualan sekarang adalah cicit dari penjual yang dulu—jadi sudah lebih dari 50 tahun!
Di seputaran Jakata dulu juga ada banyak depot, yaitu sebentuk bangunan dengan ukuran sekitar 3 meter x 3 meter terbuat dari kayu dan dicat hijau, di dekatnya selalu ada bak beton untuk tempat menjual es, dengan merek Petojo Ijs. Maklum, zaman doeloe belum banyak masyarakat kita yang memiliki lemari es, jadi harus beli es balok. Di dekat Jalan Teuku Umar ada dua depot, yakni di Jalan Waringin (kini Jalan Jusuf Adiwinata) dan Jalan Sumenep.
Di Jalan Cemara juga ada yang berjualan gado-gado, Gado-Gado Cemara, yang sangat terkenal. Kalau es krim, zaman itu hanya yang terkenal adalah ice cream Tjan Nyan di Jalan Cikini Raya dan Landholle di kawasan Sabang. Kalau pergi dengan orang tua, orang Jakarta umumnya pergi ke es krim italia, Ragusa, di Jalan Veteran, dekat Masjid istiqlal.
Ada pula penjual es tongtong, yang dijual dengan menggunakan becak yang dimodifikasi. Dan untuk saya, yang paling enak adalah es kuda, yang dijual dengan menggunakan delman, dengan bunyi belnya yang khas. Kalau bel itu berbunyi, anak-anak akan loncat dari tempat tidurnya, meminta dibelikan oleh ibu-bapaknya.
Untuk saya, saat itu rasanya hmmm… luar biasa. Rasa es krim ini baru terkalahkan setelah tahun 62 di Hotel Indonesia dibuka coffee shop bernama Java Room. Di sana, rasa es krim vanilanya seperti di surga untuk kami waktu itu. Tapi, tidak mungkin bagi saya untuk datang ke Java Room sendiri, kecuali diajak orang tua—itu pun belum tentu setahun sekali.
Dulu untuk anak-anak ada juga tukang gulali, kudapan dari gula yang dibuat seperti rambut dan sampai kini pun masih ada. Yang mengesankan, tukangnya sambil menjajakan dagangnya bermain biola, meski biolanya abal-abal dan suaranya juga enggak genah.
Ada juga tukang manisan, yang bisa mencetak gula masak (seperti karamel) menjadi berbagai macam bentuk. Gula itu dimasukkan cetakan, yang bisa berbentuk mobil, buah, rumah, dan sebagainya.
Satu pengalaman yang tak terlupakan oleh saya, sering ada anak-anak yang berumur 10 tahun atau 11 tahun berjualan kue simping. Nakalnya anak-anak ini, selain menjual kue secara eceran, mereka juga menjual kue itu dengan cara diundi. Misalnya harga kue tersebut seperak (Rp 1) untuk 10 biji. Kita bisa membeli melalui undian. Caranya, penjual itu memiliki kartu yang setiap lembarnya ada tiga nomor atau angka, semuanya ada 33 kartu, jadi ada 99 nomor atau angka. Kemudian ada kaleng tertutup kertas yang ada lubangnya. Di dalam kaleng itu ada gulungan kertas yang setiap gulung ada nomornya. Kalau kita membeli satu kartu, harganya seketip atau 10 sen. Setelah kaleng dikocok-kocok dan keluar gulungan kertas, kalau ada yang cocok dengan nomor di kartu, kita akan memperoleh 10 kue yang seharga serupiah.
Dasar anak anak, lama-lama bukan kue lagi yang diundi, tapi yang uang. Anehnya, kira-kira sebulan bertaruh, si tukang menang terus. Akhirnya, karena cukup cerdik, saya dan kawan-kawan memeriksa jumlah gulungan kertas yang ada didalam kaleng. Ternyata…, nomornya banyak digandakan. Yang mestinya ada 99 nomor ternyata jumlahnya hanya ada 40 nomor. Terang saja si bandar menang terus.
Entah karena nakal dan kami banyak, kami pun mengeroyok si tukang kue simping dan kuenya kami buang, tapi uangnya tidak diambil—kalau mau dipolitisasi, ini pertikaian kaum borjuis melawan marhaen. Ulah kami ini berhenti ketika ada tukang becak lewat dan melerai kami. Si anak pun pulanglah sambil menangis dan mengusap air matanya dan menenteng kaleng kosong. Sungguh, ini suatu pengalaman yang tidak dapat saya lupakan dan hingga hari ini—sekali lagi hingga hari ini—saya merasa menyesal dan kasihan sekali. Entah bagaimana nasib anak itu selanjutnya. Kalau sedang ingat kejadian itu, saya selalu mendoakan agar nasibnya berubah lebih baik daripada menjadi pedagang keliling—saya hanya berdoa yang baik buat dia serta memohon maaf kepada Tuhan. Hikmah yang saya dapat dari “dosa” itu, saya merasa memiliki empati yang lebih terhadap orang susah, apalagi kalau dia masih anak-anak. Kalau saya melihat anak kecil berjualan, saya pasti membeli atau sekedar memberikan uang. Semoga saja Tuhan mengampuni saya. [Emir Moeis]
(Tulisan ini pernah dimuat pada 19 Agustus 2016)