Jawa Barat pada masa lampau merupakan wilayah Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Prabu Dewataprana Sri Baduga Maharaja, atau yang lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi.
Pada masa pemerintahan Prabu Siliwangi, Kerajaan Sunda Hindu menghadapi krisis akibat pengaruh agama Islam yang dibawa oleh para saudagar Arab.
Untuk menjaga nilai-nilai budaya dan adat istiadat Sunda, Prabu Siliwangi menciptakan sebuah naskah kuno sebagai pedoman hidup masyarakat Sunda. Naskah ini dikenal sebagai Sanghyang Siksa Kandang Karesia yang ditulis pada tahun 1518.
Sanghyang Siksa Kandang Karesian: Pedoman Hidup Masyarakat Sunda
Naskah Sanghyang Siksa Kandang Karesian berisi berbagai norma, moral, budaya, adat istiadat, dan kesenian khas Tatar Sunda Pajajaran. Salah satu unsur penting yang tercantum dalam naskah tersebut adalah senjata tradisional kujang.
Kujang tidak hanya berfungsi sebagai senjata, tetapi juga sebagai simbol yang mencerminkan identitas dan nilai-nilai budaya Sunda.
Kujang: Senjata Sakral dengan Nilai Filosofis
Dilansir dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, istilah “kujang” berasal dari bahasa Sunda kuno “kudi” yang berarti senjata atau jimat dengan kekuatan gaib, dan “hyang” yang berarti dewa.
Secara harfiah, kujang dapat diartikan sebagai jimat atau senjata yang memiliki kekuatan magis dewa di dalamnya.
Aris Kurniawan dalam jurnalnya Kajian Historis dan Filosofis Kujang (2014) menyebutkan bahwa kujang memiliki nilai sakral dan mistis. Kujang digunakan sebagai medium mistik, simbol status (pangkat), penghormatan bagi orang yang berjasa besar bagi kerajaan, serta sebagai ajimat atau pusaka para petinggi dan bangsawan Kerajaan Pajajaran.
Kujang adalah perkakas multifungsi yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat suku Sunda. Kujang yang digunakan oleh rakyat biasanya memiliki bentuk sederhana dan terbuat dari bahan yang tidak terlalu mahal, sementara kujang yang digunakan oleh para petinggi dibuat dari bahan yang mahal dan memiliki desain yang mewah.
Bagian-Bagian Kujang
Kujang terdiri dari empat bagian utama, yaitu:
1. Papatuk atau Congo: Bagian ujung kujang yang lancip dan tajam.
2. Silih atau Eluk: Tubuh kujang yang melengkung seperti sayap burung yang merentang.
3. Tadah: Bagian menonjol pada perut kujang.
4. Mata: Lubang pada kujang.
Proses Pembuatan dan Pemeliharaan Kujang
Kujang bukanlah sekadar senjata berbentuk melengkung. Proses pembuatan kujang melibatkan pandai besi yang melakukan berbagai ritual adat.
Kujang juga dipelihara dengan ritual adat tertentu, menjadikannya senjata yang sarat akan nilai estetis dan spiritual.
Setiap kujang dibentuk dengan ukiran unik dan indah, sehingga dapat dianggap sebagai karya seni.
Kujang merupakan simbol kebesaran, keagungan, dan identitas budaya masyarakat Sunda. Senjata tradisional ini tidak hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga sebagai simbol status dan kehormatan.
Filosofi kujang yang mencerminkan kekuatan magis dan spiritual membuatnya dihormati dan dijaga secara turun-temurun oleh masyarakat Sunda. Dalam setiap bilah dan ukirannya, tersimpan makna mendalam tentang keberanian, kehormatan, dan hubungan harmonis dengan alam, menjadikannya salah satu warisan budaya yang harus dilestarikan. [UN]