Kritik dan Ad Hominem

Foto ilustasi kritik/Istimewa

Koran Sulindo – Kata kritik kembali menjadi perbincangan hangat belakangan ini. Bermula dari meme Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) yang menyebut Presiden Joko Widodo sebagai “The King of Lip Service” yang disebar lewat media sosial Instagram.

Belakangan meme BEM UI disebut bukan kritik. Ada yang menyebutnya sebagai penghinaan, ada pula yang menyebutnya sebagai bentuk protes dan macam-macam. Bahkan meme disebut sama sekali tanpa dasar dan tidak dikaji secara ilmiah sehingga pengurus BEM UI itu dicap sebagai mahasiswa bodoh atau pandir.

Di sisi lain, ada pula Erizeli Jely Bandaro yang ingin menjelaskannya secara terstruktur untuk “menjatuhkan” meme “The King of Lip Service” itu bukan kritik melainkan sekadar hujatan atau protes yang memang tidak memerlukan otak atau intelektualitas. Karena itu, pendukung Presiden Jokowi itu mencoba membedakan antara kritik dan protes dalam tulisannya yang disebar lewat media sosial.

Dalam tulisan tersebut, kritik yang berasal dari bahasa Yunani itu dijelaskan sebagai “kritikos” yang berarti “dapat didiskusikan”. Kata “kritikos” diambil dari kata krenein yang berarti memisahkan, mengamati, menimbang, dan membandingkan. Selanjutnya, ia sampai pada kesimpulan bahwa kritik adalah proses analisis dan evaluasi terhadap sesuatu dengan tujuan untuk meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki pekerjaan.

Ketika saya coba menelusuri pengertian kritik demikian lewat mesin pencari Google, saya menemukan pemahaman demikian bersumber dari Wikipedia. Tetapi, entah mengapa penulis yang sangat fanatik terhadap sosok Jokowi itu tidak mencantumkan sumber tulisannya tentang kritik. Selanjutnya dalam tulisan Erizeli Jely Bandaro itu kata protes dituliskan pertama kali diketahui pada 1300-an.

Merujuk kepada Merriam-webster (Merriam-webster.com), demikian tulis Erizeli Jely Bandaro, pro-pada protes bermakna ‘maju tampil’ layaknya orang keluar dari barisan. Artinya protes adalah berbicara menentang sesuatu atas dasar penilaian negatif, pemrotes menginginkan perubahan atas apa yang mereka tentang.

Sekali lagi saya telusuri definisi kata “protes” yang dituliskan Erizeli Jely Bandaro itu lewat mesin pencari Google, lalu saya menemukan sebuah tulisan berjudul Protes, Pro terhadap Ujian? Yang dituliskan Dony Tjiptonugroho yang merupakan Redaktur Bahasa Media Indonesia. Rupanya Erizeli Jely Bandaro meng-copy paste definisi protes yang ditulis Dony Tjiptonugroho.

Tetapi, dalam tulisannya itu, Dony tidak menyebutkan bahwa kata protes yang berarti menentang itu harus pula dibarengi dengan perbaikan. Yang saya heran Erizeli Jely Bandaro dalam tulisannya membedakan kata kritik dan protes. Tetapi, ia tidak memberikan dasar argumentasi sebagaimana Dony menjelaskan kata protes dalam tulisannya. Lantas, atas dasar apa Erizeli Jely Bandaro membedakan makna dari kata kritik dan protes? Padahal, tulisannya hanya meng-copy paste Wikipedia dan tulisan Dony tanpa mencantumkan sumbernya.

Kini kita kembali kepada kata kritik. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia daring (https://kbbi.web.id/kritik) kritik berarti kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya. Lalu, bagaimana dengan protes? Ia bermakna pernyataan tidak menyetujui, menentang, menyangkal, dan sebagainya. Dari sini, kita bisa melihat hampir tidak ada perbedaan dari makna protes dan kritik.

Jika merujuk kepada dictionary.cambridge.org kritik merupakan laporan tentang sesuatu atau sistem politik, atau karya atau ide seseorang, yang memeriksanya dan memberikan penilaian, terutama yang negatif. Merujuk arti kata protes seperti yang dituliskan Dony Redaktur Bahasa Media Indonesia itu, protes adalah berbicara menentang sesuatu. Dan umumnya kata protes dipakai untuk menunjukkan sikap melawan sesuatu yang dianggap negatif. Dengan demikian, kata protes berdasarkan Merriam-webster.com dan kritik merujuk dictionary.cambridge.org sebenarnya bermakna sama: tidak berbeda.

Dengan membedah para pendapat para pengkritik meme BEM UI itu sebenarnya kita menjadi tahu betapa mereka menunjukkan watak penjilat karena idolanya dikritik. Mereka menjadi bebal dan melancarkan alih-alih kritik justru menyampaikan ad hominem yang menyerang kepribadian seseorang khususnya kepada ketua BEM UI. Atau dalam istilah yang lebih dikenal dalam dunia jurnalistik sebagai Kill the Messenger. Celakanya ketika mereka melakukan itu, selalu pula dengan dalih demokrasi. [Kristian Ginting]