Meningkatnya inflasi di berbagai belahan dunia menandai kian dekatnya resesi. Situasi ini membawa krisis ekonomi semakin meningkat bahkan dapat berujung pada krisis politik.

Tercatat sudah 3 pemimpin negara yang menyatakan mundur di tengah situasi krisis ini. Di antaranya adalah Presiden Srilanka, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson dan Perdana Menteri Italia Mario Draghi.

Meski melalui mekanisme dan proses berbeda, lengsernya para pemimpin tersebut sangat kental dengan situasi ekonomi dunia yang demakin sulit diiringi gejolak protes dari rakyat atau kekuatan politik dalam negeri.

Akibat krisis ekonomi yang berujung kebangkrutan, Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa, mundur dari jabatannya pada Jumat (15/7). Pemberitahuannya disampaikan melalui email setelah dirinya diketahui melarikan diri dari Sri Lanka ke Maldives lalu terbang ke Singapura setelah rakyat mengepung istana presiden.

Saat ini Sri Lanka dihadapkan pada jatuh tempo pembayaran hutang hampir US$7,3 miliar ke beberapa negara seperti China, Jepang dan India. Total utang negara sendiri telah mencapai senilai 51 miliar dollar AS atau setara dengan 732 triliun rupiah.

Rakyat terus mendesak agar pemerintahan di Sri Lanka segera dirombak buntut dari bangkrutnya negara itu. Rakyat Sri Lanka menggelar demonstrasi besar-besaran akibat krisis beberapa bulan ini.

Pemimpin Eropa berjatuhan

Sebelum kejadian di Sri Lanka, Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson juga menyatakan mengundurkan diri setelah didesak parlemen termasuk partai konservatif pendukungnya. Pengunduran diri Johnson diwarnai berbagai skandal mulai dari tuduhan penggunaan dana gelap hingga pelecehan seksual.

Inggris merasakan tekanan dari tingkat inflasi yang mencapai level tertinggi dalam 40 tahun yaitu sebesar 9,1%. Diperkirakan inflasi akan mencapai 11% pada akhir tahun 2022 ini.

Pengunduran diri Perdana Menteri Boris Johnson meningkatkan ketidakpastian ekonomi Inggris, yang sudah berada di bawah tekanan akibat tingkat inflasi menuju dua digit, risiko resesi, dan Brexit.

Kejadian hampir serupa terjadi di Italia, Perdana Menteri Italia Mario Draghi mengatakan bahwa akan mengundurkan diri, setelah gerakan Bintang 5, partai terbesar dalam pemerintahan koalisi negara itu menarik dukungannya dalam mosi tidak percaya parlemen.

Anggota parlemen dari kubu gerakan 5 bintang menolak untuk mengikuti pemungutan suara pada Kamis (14/07) di parlemen yang menentang tagihan senilai €26 miliar untuk subsidi dari harga energi yang naik. Dana bantuan ini juga turut memicu munculnya mosi tidak percaya.

Adapun perpecahan di antara partai-partai politik Italia terjadi akibat tingginya inflasi yang mencapai 7 persen dan perbedaan sikap mengenai krisis di Ukraina.

Di ambang resesi

Kondisi ekonomi dunia dinyatakan sedang tidak baik-baik saja, bahkan beberapa ekonom menyebut dunia diambang resesi. Dalam pernyataan terakhirnya, dana moneter internasional atau IMF menyebut dunia diambang kegelapan. Direktur Manajer IMF Kristalina Georgieva mengatakan, lembaganya akan memangkas proyeksi pertumbuhan tahun ini dan tahun depan.

“Ini akan menjadi 2022 yang sulit, dan mungkin 2023 yang lebih sulit, dengan peningkatan risiko resesi,” kata Georgieva dalam tulisannya dikutip Kamis (15/7).

Pernyataan Georgieva bisa dipahami mengingat laju inflasi sedang di puncak tertingginya, seperti di Amerika Serikat (AS) yang pertengahan Juli merilis angka inflasi 9,1 persen, begitu pula di kawasan Eropa yang kian mendekati 9 persen.

Keadaan ini memaksa sejumlah bank sentral untuk menaikkan tingkat suku bunga untuk meredam inflasi.

Dalam pantauan IMF, sekitar 75 bank sentral dunia sudah menaikkan bunga sejak Juli 2021. Kenaikan bunga lebih cepat dilakukan negara-negara berkembang dengan rata-rata total kenaikan 3%, hampir dua kali lipat dari negara maju sebesar 1,7%.

Kenaikan suku bunga menandakan akan terjadi perlambatan ekonomi dan mempersulit aliran modal untuk pelaku bisnis. Selain itu konsumsi masyarakat akan melambat sehingga banyak pelaku usaha yang akan terdampak.

IMF menyebut tingginya inflasi dunia dipicu oleh krisis pangan dan energi yang terjadi sejak pandemi Covid-19. Selain itu perang di Ukraina disebut juga memperparah situasi ekonomi dan membuat harga-harga melambung tinggi.

Krisis ekonomi dan krisis politik

Apa yang dialami Sri Lanka dan beberapa negara Eropa adalah suatu dialektika dari hukum perubahan sosial, ketika krisis ekonomi berakumulasi menjadi krisis politik. Bagaimana rakyat membangun kesadaran bahwa sistem yang ada tidak lagi mampu menjawab persoalan ekonomi rakyat dan membutuhkan perubahan.

Gelombang protes serta perlawanan rakyat Sri Lanka yang di tindas secara ekonomi dan direpresi secara politik memuncak menjadi kekuatan besar yang mampu menjatuhkan Presiden Gotabaya dari tampuk kekuasaannya hingga lari terbirit-birit ke Singapura.

Situasi Sri Lanka mungkin mengingatkan kita pada situasi Indonesia pada tahun 1998 ketika krisis moneter berujung pada penumbangan rezim Suharto dengan Orde Barunya.

Saat 98, rakyat Indonesia juga mengalami krisis ekonomi yang luar biasa hebat sehingga kesulitan mendapatkan bahan pangan akibat harga membumbung tinggi. Selain itu sistem politik otoriter Suharto dan militerisme sudah tidak lagi diterima oleh rakyat, sehingga bergulirlah roda reformasi melindas rezim yang berkuasa.

Situasi saat ini Indonesia mengalami tekanan ekonomi yang kuat, inflasi tercatat kian mendekati 5 persen. Artinya harga-harga sudah bergerak naik hampir melampaui daya beli masyarakat. Meski angka inflasi disebut pemerintah masih di bawah 5 persen, nyatanya harga barang konsumsi sudah naik di atas 10 persen seperti harga minyak goreng, daging, telur ayam, gas LPG dan bahan bakar.

Belajar dari pengalaman 1998 krisis ini bisa berujung pada gejolak politik apabila kebijakan pemerintah memunggungi persoalan rakyat atau negara menutup mata dari persoalan. Maka untuk mengatasi situasi krisis kali ini, solusi ekonomi dan perilaku politik yang berpihak pada rakyat perlu diberi porsi terbesar dalam setiap kebijakan negara. [PTM]