Krisis Kapitalisme dan Dunia di Ambang Depresi Besar II

Utang dan dunia di ambang Depresi Besar II [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Masa yang sulit. Demikian gambaran ekonomi global hasil pertemuan Dana Moneter Internasional (IMF) dengan Bank Dunia di Washington pada 9 April lalu. Kedua lembaga tersebut mengungkapkan tentang perlambatan ekonomi global dan kemungkinan resesi yang akan segera terjadi.

Para ekonom IMF memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi global ke level yang terendah sejak krisis keuangan 2008. Kebijakan itu bersamaan dengan minimnya prospek pertumbuhan yang positif di negara-negara maju dan beban yang semakin tinggi lantaran tarif masuk barang akibat dari perang dagang.

IMF memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia hanya mencapai 3,3% pada tahun ini. Sebelumnya, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan mencapai 3,5%. Angka ini muncul setelah IMF mengoreksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3,7% dari proyeksi sebelumnya: 3,9% pada Januari lalu.

Dengan demikian, IMF telah 3 kali mengoreksi perkiraan pertumbuhan ekonomi dunia dalam waktu 6 bulan terakhir. Soal ini, Kepala Ekonom IMF, Gita Gopinath mengatakan, ekonomi global memasuki masa yang sulit. Pernyataan Gopinath ini sesuai dengan judul Laporan Stabilitas Keuangan Global IMF yang dirilis pada Oktober 2018 yakni “A Decade after the Global Financial Crisis: Are We Safer?”.

Laporan tersebut secara jelas memperingatkan ekonomi global dibayangi tantangan besar bagaimana mencegah Depresi Besar II. Laporan IMF itu langsung mendapat perhatian serius dari para ekonom dan mempercayai bahwa keruntuhan ekonomi dunia akan segera terjadi. Terlebih jarang sekali IMF mengeluarkan laporan dengan judul demikian.

Brookings Institution punya pandangan yang sama dengan IMF tentang perkiraan ekonomi global. Lembaga ini menyimpulkan, aktivitas ekonomi dunia telah memasuki perlambatan yang sulit untuk dibangkitkan kembali. Pertumbuhan ekonomi negara maju dan negara berkembang disebut berada di level terendah pada tahun lalu sejak 2016.

“Tahun kinerja ekonomi global terendah sejak krisis keuangan,” demikian Brookings Institution. Kendati punya kesimpulan yang sama soal pertumbuhan ekonomi global dengan IMF, Brookings akan tetapi menyebutkan, resesi ekonomi masih jauh.

Meski demikian, menjadi jelas, ekonomi dunia sedang memasuki depresi panjang. Dan karakteristiknya disebut serupa dengan depresi abad ke-19 dan Depresi Besar pada 1930-an. Ketika depresi panjang pada abad ke-19 terjadi bisa diselesaikan dengan peningkatan pendapatan. Sementara Depresi Besar diselesaikan dengan Perang Dunia II.

Oleh karena itu, Depresi Besar II ini mungkin sekali akan terjadi dalam waktu dekat ini. Ini tidak sekadar khawatir atas laporan IMF itu. Apalagi, salah satu topik utama yang dibahas IMF dalam laporannya itu berkaitan dengan utang global yang melonjak tajam akibat krisis keuangan global pada 2008.

Negara-negara yang terkena dampak krisis keuangan pada tahun itu berhasil keluar dari krisis untuk sementara. Itu karena pinjaman dan dolar yang dicetak dalam jumlah yang sangat banyak. Namun, 10 tahun setelah itu, negara-negara yang mendapat pinjaman di 2008 belum mampu melunasi utangnya hingga saat ini.

IMF mencatat, total utang global pada 2008 mencapai 210% (US$ 113 triliun) dari PDB global. Sedangkan utang global saat ini mencapai 250% (US$ 167 triliun) dari PDB global. Untuk melunasi utang sebesar itu, dunia butuh sekitar 2,5 tahun. Laporan IMF itu menunjukkan bahwa utang adalah persoalan serius dalam setiap level perekonomian.

Sementara ekonom marxian, Michael Roberts dalam blog-nya menyebutkan, keuntungan menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya depresi panjang. Rendahnya keuntungan menjadi sebab mengapa investasi korporasi menjadi lemah sejak 2009. Itu juga yang menjadi catatan IMF yang menyebutkan rendahnya investasi.

Keuntungan dan Utang
Di samping itu, Roberts juga setuju dengan faktor utang yang meningkat terutama utang swasta. Dengan keuntungan yang rendah, korporasi memiliki utang yang lebih besar untuk membiayai proyek. Seperti Roberts, ekonom marxian lainnya, Eric Toussaint dari Committee for the Abolition of Illegitimate Debt sepakat dengan alasan utang itu.

“Utang swasta yang menggunung akan menjadi faktor utama dalam krisis keuangan berikutnya,” kata Toussaint.

Itu juga yang menjelaskan mengapa mata uang Argentina, Turki dan beberapa negara di Asia terpuruk beberapa waktu lalu. Semuanya akibat jebakan utang. The Institute for International Finance (IIF) berbasis Washington menyebutkan, total utang negara-negara yang disebut sebagai emerging market dalam berbagai bentuk mata uang – tidak termasuk Tiongkok – naik dua kali lipat dari US$ 15 triliun pada 2007 menjadi US$ 27 triliun pada akhir 2017. Sementara utang Tiongkok pada periode yang sama menurut IIF meningkat dari US$ 6 triliun menjadi US$ 36 triliun.

Kemudian, utang kelompok negara-negara emerging market dalam bentuk dolar meningkat menjadi US$ 6,4 triliun dari US$ 2,8 triliun pada 2007. Perusahaan-perusahaan Turki berutang hampir mencapai US$ 300 miliar pada saat ini. Sebagian besar utang itu dalam bentuk dolar. Pasar negara berkembang lebih menyukai dolar karena beberapa alasan. Selama ekonomi negara-negara berkembang itu tumbuh dan menghasilkan dolar dari ekspor, maka utang dapat dikelola. Namun, semuanya itu mulai berubah.

Perubahan itu bersumber dari bank sentral paling politis di dunia: Federal Reserve dan Gubernur Bank Sentral AS yang dijabat Jerome Powell. Ia merupakan mantan pimpinan di Carlyle Group. Di sana pula Powell membangun kekayaannya yang mencapai jutaan dolar itu. Dengan dalih ekonomi dalam negeri AS mulai bangkit dan menguat pada Oktober 2018 sehingga mereka mampu mengembalikan suku bunga dolar AS ke “normal”. The Fed telah menggeser likuiditas dolar ke ekonomi global.

Powell bersama The Fed tahu betul apa yang mereka lakukan. Mereka menaikkan nilai dolar untuk mempercepat krisis ekonomi baru di seluruh dunia. Dan saat ini, krisis itu telah muncul terutama dari negara-negara seperti Iran, Turki, Rusia dan Tiongkok. Untuk menghadapi “senjata” Washington itu, Rusia, Tiongkok, Iran dan negara-negara lain mulai beralih meninggalkan dolar.

Soal kenaikan suku bunga ini, Toussaint merujuk kepada perusahaan elektronik Apple yang memberitahu pihak berwenang AS akan kehilangan US$ 4,9 miliar karena kenaikan suku bunga 1%. Hal serupa akan terjadi pada perusahaan yang meminjamkan uang kepada Apple untuk membiayai utangnya. Pada 2017, Apple telah meminjam sekitar US$ 28 miliar, tapi karena kenaikan suku bunga itu, maka total utang Apple menjadi US$ 75 miliar.

Ini yang disebut sebagai efek domino sehingga bisa menghasilkan krisis keuangan yang serupa di AS pada 2007-2008, kata Toussaint. Fakta ini menunjukkan seperti yang diungkapkan Gopinath, Kepala Ekonom IMF itu. Kapitalisme memang hanya membawa kemudaratan atau memiskinkan rakyat di seluruh dunia. Jadi, memang ini masa yang sulit untuk kapitalisme. [Kristian Ginting]