Krisis Ekonomi dan Pandemi Covid-19

Ilustrasi dampak wabah virus corona terhadap ekonomi/Forbes

Koran Sulindo – Setiap hari media berbagai negeri memberitakan ribuan bahkan jutaan buruh kehilangan pekerjaannya. Dalam minggu kedua di April 2020, 5 juta orang di Amerika Serikat mengajukan permintaan bantuan sosial karena tidak punya penghasilan lagi, dan 2,2 juta orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

Di Belanda, Institut Asuransi Pegawai mengumumkan pada Februari 26.561 orang kehilangan pekerjaan; Maret meningkat menjadi 37.799, dan minggu kedua April 2020 mencapai 38 ribu orang. Mayoritas di antara mereka adalah pekerja muda antara 15-25 tahun yang bekerja dengan kontrak sementara di perhotelan, restoran, katering dan juga sopir bus. Pemilik restoran, kafe, toko kecil dan menengah terancam bangkrut.

Di Tiongkok, diperkirakan sekitar 18 juta orang akan kehilangan pekerjaannya pada kuartal kedua 2020 sebagai akibat dari merosotnya ekspor. Wabah virus corona telah mempercepat akhir dari pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya juga sudah melambat. Untuk pertama kali dalam 40 tahun ekonomi Tiongkok mengalami penyusutan 6,8%.

IMF mengumumkan resesi akan menimpa berbagai negeri. Italia dan Spanyol, penderita terbesar korban Covid-19, juga akan mengalami resesi terbesar. Negeri ketiga di daftar IMF adalah Belanda. Beberapa pengamat ekonomi Belanda menganggap IMF terlalu pesimistis. Soal ini, kita lihat saja nanti kenyataannya setelah pandemi mereda.

Sebelum kedatangan virus corona, ekonomi dunia masih belum bisa keluar dari dampak krisis finansial dan ekonomi pada 2008. Peningkatan dalam produktivitas dan kemajuan teknologi dalam kapitalisme telah menimbulkan produksi yang berlebihan. Stagnasi dalam upah sejak 1980-an membuat krisis kelebihan produksi tidak akan pernah bisa diatasi. Selama krisis kelebihan produksi berjalan, krisis ekonomi tidak akan bisa diatasi.

Joseph Stiglitz, ahli ekonomi pemenang hadiah Nobel, pernah mengungkapkan bahwa dari tahun 1975 hingga 2012, pendapatan rata-rata keluarga di AS hanya berkisar antara US$ 45 ribu hingga US$ 55 ribu per tahun. Padahal, dalam periode sebelumnya, sejak akhir Perang Dunia II, upah rata-rata buruh Amerika naik 2% per tahun. Dalam 40 terakhir, hasil dari peningkatan produktivitas, kemajuan teknologi dan pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati pemilik modal dan mereka yang berpendidikan tinggi.

Teori trickle down telah terbukti gagal. Yang terjadi adalah konsentrasi kekayaan di tangan segelintir oligarch dunia dan jurang antara kaya dan miskin semakin lebar dan dalam. Dengan ironis, Stiglitz menunjukkan trickle down hanya terjadi ketika oligarki Rusia membeli tanah di Riviera, Prancis Selatan. Kekayaan seorang oligarch itu “menetes” ke pemilik tanah yang bisa dipastikan bukan seorang buruh atau pegawai rendahan Prancis.

Di Tiongkok, sambil membongkar struktur ekonomi sosialis, tahun 1992, pentolan revisionisme modern, Deng Xiaoping, memprogandakan variasi dari teori trickle down, yaitu “membiarkan sebagian penduduk menjadi kaya dulu”, dengan harapan kekayaan itu akan “menetes” ke bawah. Hasilnya, tahun 2019, jumlah miliuner (kekayaan dalam bentuk dolar) di Tiongkok sekitar 4,4 juta orang. Dan jangan heran, banyak miliuner, bahkan miliarder yang sekaligus merupakan anggota Partai Komunis dan menduduki jabatan penting dalam partai dan pemerintah.

Kontradiksi antar-imperialis, terutama antara AS yang kekuatan ekonominya semakin merosot dengan Tiongkok, kekuatan imperialis yang sedang berkembang dan sekarang merupakan kekuatan ekonomi terbesar kedua, semakin tajam. Perang dagang antara mereka telah membuat ekonomi dunia lebih suram lagi.

Krisis finansial dan ekonomi 2008 dengan dampak yang menghancurkan kehidupan rakyat negeri-negeri Dunia Ketiga dan menghilangkan lebih lanjut jaminan sosial di welfare states telah mengguncangkan kesadaran dan meyakinkan orang akan kegagalan sistem kapitalis. Stiglitz menyatakan kapitalisme adalah sebuah sistem yang tidak mendatangkan manfaat bagi mayoritas penduduknya. Kapitalisme terus meningkatkan ketidakadilan dalam pendapatan dan pengeluaran dan juga ketimpangan.

Namun tak sedikit orang yang berkata bahwa di Amerika, walau ada ketidakadilan dalam pendapatan dan pengeluaran, tapi semua orang punya kesempatan yang sama. Kenyataan membuktikan sebaliknya. Apa yang disebut American Dream hanyalah sebuah mitos. Keberhasilan seseorang dalam karier dan hidupnya berkaitan erat dengan pendidikannya. Ekonomi orang tua menentukan tingkat dan kualitas pendidikan keturunannya. Bisa saja terjadi pengecualian atau keistimewaan yang menyimpang dari kecenderungan umum ini, namun ia tak dapat mengubah hakikat dari masalahnya.

Ketidakadilan dalam ekonomi melahirkan ketidakadilan dalam politik. Dan ketidakadilan politik membuat ketidakadilan ekonomi semakin besar lagi. Hal ini terlihat jelas di semua negeri dengan sistem ekonomi, sosial dan politik kapitalis dan juga setengah jajahan setengah feodal seperti Indonesia.

Apakah anak-anak kaum buruh, kaum tani, kelas pekerja lainnya dan suku bangsa di segala pelosok Tanah Air mempunyai kesempatan dan pendidikan sama seperti yang dinikmati anak-anak kaum tuan tanah, kaum kapitalis birokrat-komprador? Mengapa terdapat ketidakadilan politik antara rakyat jelata dengan para wakilnya yang duduk di DPR, DPRD dan jajaran birokrasi lainnya? Sumber dari ketidakadilan politik itu ada pada ketidakadilan ekonomi.

Ketika saya amati kehidupan dan keadaan di sekeliling, sejak berlakunya semua peraturan karantina: jalan raya sunyi senyap, tak terdengar suara anak-anak bermain di halaman sekolah, daerah pertokoan dan restoran sepi, kantor dan pabrik tutup, saya membayangkan, beginilah kira-kira suasana dan keadaan sebuah masyarakat yang dengan kompak melakukan pemogokan nasional.

Tak diragukan lagi, dampak pandemi virus corona jauh lebih dalam dan serius dari pada krisis finansial dan ekonomi 2008. Dua bulan lockdown sudah cukup untuk menghentikan motor pertumbuhan ekonomi Tiongkok. Eropa, disamping angka kematian yang tinggi yang mencapai 96.721 orang per 17 April lalu, harus menghadapi peningkatan pengangguran, kebangkrutan pengusaha kecil dan menengah, dan pertanian yang tanpa virus corona pun sudah megap-megap kesulitan untuk kelangsungan hidupnya dan ekonomi yang menyusut.

Di pihak lain, virus corona telah memaksa pemerintah berbagai negeri untuk menyaksikan malapetaka sebagai akibat dari politik neoliberal yang mereka terapkan di bidang pelayanan kesehatan.

Dampak Neoliberalisme
Selama beberapa dekade terakhir, neoliberalisme di Prancis telah memperburuk kondisi kerja di rumah sakit publik, upah tidak sesuai dengan beban pekerjaan dan biaya kehidupan yang terus menanjak, jumlah tempat tidur terus menerus berkurang dan perlengkapan di rumah sakit umum tak memadai. Selama bertahun-tahun terjadi protes para perawat dan pekerja rumah sakit umum untuk menuntut perbaikan. Namun pemerintah dengan presiden sosialis atau konservatif tak peduli.

Pada 12 Maret 2020, orang dibikin terkejut dengan pidato Presiden Macron. Beberapa poin menarik perhatian. Ia mengimbau supaya menarik pelajaran dari situasi aktual, mempertanyakan model pembangunan yang dilakukan di dunia selama beberapa dekade terakhir dan terbukti gagal, perawatan kesehatan gratis tanpa syarat penghasilan, riwayat kerja atau profesi dan negara kesejahteraan bukanlah biaya atau beban melainkan kekayaan yang berharga, aset yang mutlak perlu ketika takdir menimpa, aset dan jasa pelayanan harus ditempatkan di luar hukum pasar.

Jelas, rakyat tidak membutuhkan model pembangunan yang dilancarkan di dunia yang pada pokoknya dibiayai para pemodal asing dengan tujuan profit semaksimum mungkin. Model pembangunan neoliberal ini telah terbukti gagal memenuhi kebutuhan rakyat akan perawatan kesehatan pada umumnya, apalagi ketika malapetaka menimpa. Apakah harus menunggu datangnya malapetaka lainnya lagi untuk menggugah kesadaran bahwa sudah sejak lama seharusnya kita menuntut perawatan kesehatan gratis? Karena kesehatan bukanlah barang dagangan!

Prancis bukanlah satu-satunya negeri Eropa di mana sistem layanan kesehatan publik menderita dampak neoliberalisme. Di Belanda, sudah berkali-kali para perawat dan pegawai rumah sakit umum protes dan menuntut kenaikan upah, dan perbaikan kondisi kerja. Kekurangan perawat telah memberi beban lebih berat kepada mereka yang bekerja di rumah sakit dan panti jompo. Beberapa anggota parlemen dan direktur rumah sakit umum menggunakan pandemi Covid-19 untuk mengingatkan pemerintah supaya pujian dan dukungan kepada para pekerja kesehatan tercermin dalam kebijakan yang bermanfaat dan menguntungkan semua pekerja kesehatan.

Poin menarik lain yang diajukan Presiden Macron adalah memulihkan kontrol atas produksi pangan, perlindungan, dan kemampuan untuk menjaga lingkungan hidup, tidak menyerahkannya kepada orang lain. Macron bicara soal kedaulatan Prancis, kedaulatan Eropa. Apakah ini pukulan terhadap globalisme yang selama ini dipimpin negara-negara imperialis termasuk Prancis?

AS menyesal telah membantu ekonomi Tiongkok masuk ke dalam sistem kapitalis dunia melalui penanaman modal dan pemindahan industri manufakturnya untuk menarik keuntungan dari tenaga kerja murah. Reformasi perburuhan Deng Xiaoping telah menyerahkan buruh migran menjadi budak dan sapi perahan korporasi asing dan swasta. Di AS terjadi deindustrialisasi dan jutaan buruh kehilangan pekerjaannya.

Tiongkok menggunakan kebijakan planifikasi dan perusahaan negara serta menjiplak teknologi AS dan asing lainnya guna mencapai tujuan ekonomi dan keamanan strategisnya. AS berusaha menahan perkembangan Tiongkok yang dengan serius mengancam hegemoninya dengan proteksionisme dan perang dagang.

Di samping itu, globalisme neoliberal pimpinan imperialis AS sedang mendapat saingan dari globalisme pimpinan Tiongkok melalui “One Belt One Road”. Penting bagi rakyat Dunia Ketiga untuk menyadari akan bahaya pembangunan mega-infrastruktur dan pertambangan yang didorong dan dibiayai modal imperialis Tiongkok. Janganlah kita keluar dari mulut harimau untuk masuk ke mulut buaya!

Bagaimana dengan kedaulatan bangsa dan rakyat kita? Jelas, sepak terjang Orde Baru dengan dan tanpa Suharto yang dengan patuh mengabdi kepentingan neo-kolonial dan imperialis melalui lembaga-lembaga keuangan dan perdagangannya justru menjual kehormatan dan kedaulatan bangsa dan rakyat Indonesia.

Para patriot dan pejuang kemerdekaan merebut kehormatan dan kedaulatan bangsa dan rakyat Indonesia dari kaum kolonial Belanda. Semua itu dibayar dengan darah dan penderitaan rakyat, bukan hadiah gratis Belanda. Celakanya, kedaulatan rakyat telah direnggut oleh Orba dengan dan tanpa Suharto. Rakyat tak punya pilihan lain kecuali merebutnya kembali dari tangan para penjual Tanah Air dan bangsa.

Macron menganggap gila tindakan menyerahkan produksi pangan, perlindungan dan penjagaan lingkungan hidup kepada orang lain. Bagaimana dengan tindakan pemerintah yang meningkatkan impor senjata dan amunisi di tengah penderitaan kaum buruh yang di-PHK, pedagang kecil dan menengah, jutaan pekerja informal dan sektor kelas pekerja lainnya yang terancam mati kelaparan sebelum kena virus corona? Gila dan kejam! Bukan perlengkapan untuk menyelamatkan nyawa yang diimpor, tapi alat pembunuhan! [Tatiana Lukman]