Obama mendukung industri dalam negeri AS untuk diekspor ke negara-negara berkembang seperti Indonesia [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Selain menganalisis dan memberitakan peristiwa jatuhnya pesawat udara Lion Air JT-610, media massa kita juga ramai membahas tentang asal-usul maskapai tersebut. Dari mulai sejarah, peristiwa kecelakaan hingga siapa sesungguhnya di balik Lion Air. Juga pertanyaan penting lainnya: mengapa maskapai ini tidak pernah dihukum meski acap melakukan kesalahan?

Media massa daring Tirto, misalnya, memuat tulisan berjudul Konglomerat Kusnan & Rusdi Kirana: Bisnis dan Politik Lion Air yang menjelaskan tentang sepak terjang pemilik Lion Air, Kirana bersaudara dalam membesarkan perusahaan maskapainya. Rusdi Kirana ketika itu terpaksa melakukan lobi kekuasaan agar bisa membeli ratusan pesawat jenis Boeing 737. Syarat Lion Air bisa mendapatkan jaminan utang dari Bank Export-Import untuk membeli Boeing 737 itu apabila pemerintah Indonesia mengesahkan sepenuhnya Konvensi Cape Town (CTC).

Ratifikasi Konvensi disebut sudah dilakukan pemerintah Indonesia sejak 20 Februari 2007 melalui Peraturan Presiden tentang Konvensi Tentang Kepentingan Internasional Dalam Peralatan Bergerak serta Protokol pada Konvensi Tentang Kepentingan Internasional Dalam Peralatan Bergerak Mengenai Masalah-Masalah Khusus pada Peralatan Pesawat Udara Tahun 2007.

Pendeknya, CTC lalu masuk dalam revisi UU Penerbangan Tahun 2009. Aturan ini disebut menjadi jalan bagi sejumlah maskapai membeli atau menyewa pesawat untuk menambah kebutuhan bisnis penerbangan komersial di Indonesia. Dan semua ini terjadi pada 2008.

Kita tahu perekonomian AS sejak semester II 2007, krisis finansial melanda negeri induk imperialis itu. Sejak itu, perusahaan-perusahaan keuangan raksasa di AS rontok dihantam gelembung kredit properti atau disebut subprime mortagage. Penyaluran kredit perumahan meningkat pesat dari US$ 200 miliar pada 2002 menjadi US$ 500 miliar pada 2005. Krisis akibat gelembung kredit properti itu lalu merembet ke berbagai instrumen keuangan lainnya.

Karena itu, tidak ada keraguan untuk menyimpulkan perekonomian AS telah memasuki resesi waktu itu. Pada kuartal (tiga bulan) pertama 2008, perekonomian AS hampir mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif dan berlanjut ke kuartal kedua. Proyeksi pertumbuhan ekonomi AS pada 2008 mengalami koreksi paling tajam. Setahun sebelumnya, proyeksi pertumbuhan AS mencapai 2,8 persen. Akan tetapi, pada April 2008, proyeksi itu dipangkas menjadi hanya 0,5 persen. Selanjutnya, krisis keuangan itu berlanjut hingga hari ini.

Karena krisis itu, The Washington Post pada 2012 melaporkan Presiden Barrack Obama ketika itu ingin membangun ekonomi AS menjadi lebih kuat. Memberi insentif keringanan pajak kepada industri dengan tujuan memacu manufaktur dalam negeri yang berorientasi ekspor. Boeing merupakan salah satu industri raksasa yang selama ini mendapat manfaat dari Bank Export-Import. Dari 2000 hingga 2010, bank ini telah memberi jaminan utang lebih dari US$ 52 miliar kepada berbagai perusahaan maskapai untuk membeli produk Boeing.

Masih menurut Washington Post, sekitar 60 persen dari jaminan utang yang diberikan Bank Export-Import dalam beberapa tahun terakhir, telah memberi keuntungan kepada Boeing. Sepertiga produk Boeing telah dikirimkan ke berbagai perusahaan maskapai di berbagai negara karena dukungan Bank Export-Import. Pejabat Boeing mencatat kegiatan Bank Export-Impor itu telah mendukung 80 ribu pekerja di perusahaan penerbangan.

Dukungan pemerintah AS terhadap industri mereka memang bukan sesuatu yang ganjil. Praktik demikian sudah menjadi umum. Itulah yang dilakukan Obama ketika memperjuangan jaminan utang dari Bank Export-Import kepada Lion Air yang bersepakat dengan Boeing dengan kontrak senilai US$ 22 miliar. Ia bahkan menyerukan agar bank tersebut meningkatkan jaminan utangnya kepada Lion Air menjadi US$ 140 miliar dari kesepakatan awal US$ 100 miliar.

Fakta ini, barangkali menjadi jawaban mengapa Lion Air tidak pernah mendapat sanksi apapun dari pemerintah meski telah mencatatkan 14 kecelakan sepanjang 2000 hingga 2018. Keberadaan Lion Air di Indonesia tampaknya bukan sekadar bisnis, melainkan menjadi “kaki tangan” AS untuk mengurangi krisis di negerinya. Seperti kata pejabat Airbus, di dunia ini hanya ada satu negara adidaya dan tentu saja itu bukan Prancis. Dan itu hanya bisa diwakili AS. [KRG]