Koran Sulindo – Zaman krisis. Setidaknya begitu anggapan Presiden Joko Widodo menanggapi situasi hari ini yang masih dilanda pandemi Covid-19. Wabah yang membawa dampak krisis kesehatan itu kemudian menulari ke sektor yang lain terutama sektor perekonomian.
Jokowi pada akhir Juni lalu dalam sebuah video yang menyebar luas di publik tampak marah kepada para pembantunya karena menilai cara kerja mereka seperti situasi normal. Jokowi menganggap suasana hari ini sebagai krisis sementara kebijakan dan tindakan-tindakan para menteri masih biasa. Padahal situasi krisis harus pula disikapi dengan cara extra ordinary atau luar biasa.
Demikian kemarahan Jokowi terutama ketika itu menyangkut krisis hari ini. Apa yang dikatakan Jokowi itu ada benarnya bahwa umat manusia di seluruh dunia hari ini sedang menghadapi krisis terutama krisis kesehatan karena wabah Covid-19.
Ditambah jumlah yang terinfeksi virus corona secara global menurut worldometers.info per 12 Juli 2020 mencapai 12.833.318 kasus. Dengan jumlah kematian mencapai 567.034 jiwa. Bukan hanya jumlah kasus dan kematian yang meningkat, jumlah pasien sembuh juga mengalami kenaikan.
Dari krisis kesehatan ini, ada dimensi lain yang tidak kalah serius: krisis ekonomi. Jutaan orang kini telah kehilangan pekerjaan. Mereka bahkan telah menghabiskan apapun yang mereka miliki demi hidup. Di negara-negara berkembang dan miskin, masyarakat cenderung putus asa dan pasrah karena himpitan ekonomi yang kian menjepit.
Sementara itu, kelaparan terjadi di negara-negara Dunia Ketiga. Bahkan juga terjadi di negara adidaya seperti Amerika Serikat (AS). Rakyat menganggur dan mengantre untuk mendapatkan bantuan sosial demi mengisi perut sejengkal. Kemiskinan benar-benar terjadi di seluruh dunia.
Pada pekan kedua April lalu, misalnya, 5 juta orang di AS mengajukan permintaan bantuan sosial karena tidak punya penghasilan lagi, dan 2,2 juta orang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Di Belanda, Institut Asuransi Pegawai mengumumkan 26.561 orang kehilangan pekerjaan pada Februari; lalu meningkat menjadi 37.799 di Maret; dan minggu kedua April 2020 mencapai 38 ribu orang.
Sementara di Tiongkok, diperkirakan sekitar 18 juta orang akan kehilangan pekerjaannya pada Kuartal II/2020 sebagai akibat merosotnya ekspor. Wabah virus corona telah mempercepat akhir pertumbuhan ekonomi yang sebelumnya juga sudah melambat. Untuk pertama kali dalam 40 tahun ekonomi Tiongkok mengalami penyusutan 6,8%.
Di Indonesia tren PHK karena wabah Covid-19 berangsur naik. Tengoklah total pengajuan klaim Jaminan Hari Tua terus meningkat sehingga mencapai 1,15 juta kasus atau naik 10% secara tahunan. Nilainya mencapai Rp 14,35 triliun atau meningkat sekitar 16%. Bupati Tangerang Ahmed Zaki Iskandar secara terbuka mengumumkan sebanyak 14.910 orang terkena PHK dan akan bertambah 8.000 bulan ini karena akan ada satu perusahaan yang tutup.
Dari situasi ini, Dana Moneter Internasional (IMF) mengumumkan resesi akan menimpa berbagai negeri mulai dari Italia, Spanyol dan Belanda. Meski belum masuk dalam daftar negara yang akan terkena resesi, namun data-data menunjukkan perekonomian Indonesia diperkirakan akan tumbuh minus 2,8% tahun ini.
Yang perlu diingat, krisis ekonomi hari ini bukan semata-mata karena wabah corona. Apalagi dunia belum sepenuhnya keluar dari krisis keuangan yang terjadi pada 2008. Di samping itu, laporan Oxfam menjadi alarm penting buat kita di mana 122 juta orang terancam kelaparan sebagai dampak krisis ekonomi akibat wabah Covid-19.
Walau di sisi lain, delapan perusahaan makanan dan minuman terbesar di dunia telah membagikan keuntungan lebih dari US$ 18 miliar pada awal tahun ini. Fakta demikian selalu muncul dalam situasi krisis. Kekayaan para pemodal tak pernah berkurang, justru sebaliknya selalu bertambah.
Dengan kata lain, krisis dengan segala penanganannya tidak lain hanya mengalihkan kekayaan yang dihasilkan kaum buruh kepada pemilik modal. Bila demikian, mengapa kita masih percaya sistem hari ini yang selalu mengalami krisis itu bisa memberikan kesejahteraan kepada rakyat? [Kristian Ginting]