Kredit Bank Hanya Bisa Kembali Tumbuh Bila Konsumsi Domestik Membaik

Ilustrasi pertumbuhan kredit perbankan di masa Covid-19/Tribunnews.com

Koran Sulindo – Kinerja intermediasi perbankan terus mengalami tekanan pada masa pandemi Covid-19 ini. Penyaluran kredit terus mengalami pertumbuhan melambat, sementara di sisi lain jumlah dana pihak ketiga (DPK) tumbuh makin kencang. Penyaluran kredit akan pulih bila sisi permintaan  kembali membaik yang ditandai dengan konsumsi masyarakat yang meningkat.

Tren pertumbuhan kredit perbankan terus mengalami penurunan sejak Maret lalu. Bahkan pada Oktober lalu, penyaluran kredit sudah mengalami kontraksi atau pertumbuhan negatif sebesar 0,47% secara tahunan (yoy).

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan, lesunya penyaluran kredit ini terjadi karena dua faktor yaitu permintaan domestik (domestic demand) yang masih belum kuat karena dampak pandemi Covid-19 dan juga karena faktor kehati-hatian bank dalam menyalurkan kredit. “Ke depan intermediasi perbankan diperkirakan akan membaik sejalan dengan proses pemulihan ekonomi nasional,” ujar Perry beberapa waktu lalu.

Masalah utama ekonomi Indonesia saat ini memang terletak pada sisi konsumsi domestik yang masih lesu. Padahal, konsumsi domestik merupakan komponen terbesar yaitu sekitar 56% hingga 57% penyumbang produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Pada triwulan ketiga lalu, konsumsi domestik ini mengalami kontraksi sebesar 4,04%. Ini memang sudah lebih baik dibandingkan pada triwulan kedua yang mengalami kontraksi sebesar 5,52%.

Konsumsi domestik inilah yang mendorong aktivitas dunia usaha. Bila konsumsi domestik tumbuh kencang, otomatis dunia usaha yang berada di sisi supply juga membutuhkan modal untuk menggerakkan usahanya. Salah satunya sumber pendanaan itu adalah dari perbankan.

Karena itulah, meskipun saat ini likuiditas di perbankan melimpah, tetapi bila tidak ada permintaan kredit dari dunia usaha, maka dana pihak ketiga (DPK) yang ada di bank hanya menjadi beban yang menggerus keuntungan bank karena beban biaya yang harus ditanggung tak seimbang dengan pendapatan bunga karena penyaluran kredit yang menurun.

“Masalahnya adalah di sektor riil. Karena bank itu follow the business, follow the trade. Jadi, kalau enggak ada bisnis, enggak ada perdagangan, bagaimana perbankan itu bisa menyalurkan kredit,” ujar ekonomi sekaligus Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perhimpunan Perbankan Nasional (Perbanas) Aviliani dalam sebuah webinar.

Menurut Aviliani, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah mengeluarkan berbagai jurus yang dimilikinya untuk mendukung perbankan. Bank Indonesia dengan kebijakan quantitative easing (QE) telah membantu likuiditas di perbankan melimpah. Bank sentral juga terus menurunkan suku bunga acuan hingga saat ini berada di level 3,75%. Sedangkan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan kebijakan restrukturisasi kreditnya sejak April lalu telah membantu meringankan beban dunia usaha dalam memenuhi kewajibannya kepada bank di tengah seretnya arus kas karena pendapatan yang berkurang selama pandemi ini.

Pemerintah melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) terutama lewat bantuan sosial sudah membantu menjaga daya beli masyarkat di tengah pandemi ini. Hanya, menurut Aviliani, realisasi program PEN ini belum begitu maksimal dan diperkirakan hanya bisa terserap 60% dari Rp 695 triliun hingga akhir tahun. “Kalau bisa terserap 100% mestinya kredit bisa lebih tinggi juga karena daya beli masyarakat bisa jauh lebih baik,” ujar Aviliani.

Efek Domino
Akar masalah lesunya konsumsi domestik – yang kemudian efek dominonya pada kredit perbankan – adalah kepercayaan masyarakat yang memang belum pulih terutama kelompok masyarakat kelas menengah atas. Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, saat ini kelompok masyarakat kelas menengah dan kelas atas masih enggan untuk melakukan konsumsi karena khawatir akan Covid-19. Padahal, kontribusi kelompok menengah dan atas ini pada konsumsi domestik mencapai 80%.

Artinya, dari sekitar Rp 2.232 triliun konsumsi rumah tangga nasional pada produk domestik bruto (PDB) sekitar Rp 1.785 triliun adalah konsumsi yang dilakukan kelompok masyarkat kelas menengah dan kelas atas. “Ini yang tidak berjalan sekarang karena kelas menengah dan atas ini masih khawatir pandemi, masih cenderung menabung di bank,” ujar Rosan. Hal inilah yang menyebabkan dana pihak ketiga (DPK) di bank pertumbuhanya begitu kencang selama pandemi ini. Karena kelompok masyarakat yang memiliki uang lebih nyaman menyimpan uang mereka di bank ketimbang menggunakanya untuk belanja atau konsumsi.

Rosan mengatakan, konsumsi kelompok menengah dan atas ini hanya bisa kembali terdongkrak bila mereka betul-betul percaya bahwa pandemi Covid-19 sudah selesai. Dan menurut dia, hanya vaksin yang bisa memberikan kepercayaan tersebut.

Bila kelompok masyarakat kelas menengah dan atas enggan berkonsumsi karena takut pandemi, sebaliknya masyarakat kelas bawah sebetulnya tak begitu takut. Hanya masalahnya akibat pandemi ini banyak diantara mereka yang kehilangan penghasilan atau penghasilannya berkurang. Data Badan Pusat Statistik (BPS), misalnya, menunjukkan per Agustus lalu jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 9,77 juta. Artinya, ada tambahan orang yang menganggur sebanyak 2 juta bila dibandingkan Agustus 2019.

Memang ada berbagai bantuan sosial dalam program PEN untuk membantu masyarakat yang terdampak ini. Tetapi Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, bansos hanya untuk mendorong konsumsi kebutuhan primer. Sementara untuk menggerakan ekonomi secara penuh, dibutuhkan konsumsi kebutuhan sekunder. Karena itulah Wimboh mengatakan hal yang mendesak saat ini adalah penciptaan lapangan kerja baru. Hanya dengan kembali bekerja, kemampuan masyarakat untuk membeli kebutuhan sekunder bisa dilakukan.

“Kalau punya pendapatan tetap akan bisa untuk mengangsur motor, akan bisa untuk mengangsur rumah. Kalau bisa mengangsur motor bearti pabrik motornya akan bangkit. Untuk angsur rumah, berarti real estate-nya akan bangkit. Bahkan kalau punya sisa uang bisa piknik sehingga nanti bisa jalan sehingga pariwisata bisa pulih,” ujar Wimboh. [Julian A]