KPU Diminta Segera Jalankan Putusan MA Soal Caleg Koruptor

Koran Sulindo – Komisi Pemilihan Umum (KPU) diminta segera menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung (MA) terkait dibolehkannya mantan terpidana korupsi maju sebagai calon legislatif atau nyaleg.

Hal itu disampaikan Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Mochammad Afifuddin di Kantor Bawaslu, Jakarya, Senin (17/9).

Ia mengatakan, alasan pihaknya meminta KPU perlu segera merevisi Peraturan KPU (PKPU) itu lantaran waktu penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) sudah mepet. Mengingat penetapan DCT akan dilakukan KPU pada 20 September mendatang.

Menyoal apakah perlu konsultasi DPR untuk revisi PKPU, Afifuddin menilai itu hanya persoalan teknis. Menurutnya, dengan waktu yang mendesak, konsultasi bisa disampaikan secara tertulis.

“Waktu mendesak, konsultasi itu bisa disampaikan ke DPR secara tertulis. Tapi yang penting agar tak jadi persoalan di kemudian hari, secepatnya tanggal 20 sudah DCT,” ujarnya.

Sementara itu, Kepala Biro Humas Mahkamah Agung (MA) Abdullah meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera menjalankan putusan MA yang membatalkan Peraturan KPU.

Dalam peraturan tersebut terdapat larangan mantan terpidana kasus korupsi menjadi bakal calon legislatif. Menurut Abdullah, putusan MA berlaku sejak diputuskan oleh majelis hakim MA.

“Saya hanya menyampaikan apa yang disampaikan majelis hakim, bahwa putusan perkara ini berlaku sejak diputuskan,” kata Abdullah.

Jika mengacu pada Pasal 8 ayat 2 Peraturan MA 1/2011 disebutkan bahwa suatu peraturan perundang-undangan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat jika tidak dilaksanakan dalam 90 hari usai suatu perkara diputuskan. Dalam konteks itu, KPU sebenarnya mempunyai waktu 90 hari untuk menindaklanjuti putusan MA.

Namun, menurut Abdullah, putusan soal PKPU itu harus segera dilaksanakan mengingat waktu penetapan Daftar Calon Tetap (DCT) oleh KPU pada 20 September mendatang.

“Waktu tinggal tiga hari, kalau tunggu 90 hari lagi, harus berapa lama,” tandas dia.

Abdullah memahami jika KPU menunggu salinan resmi putusan MA. Pasalnya, KPU harus menyesuaikan putusan MA ini dengan penuh kehati-hatian.

“Karena harus hati-hati itu KPU harus menunggu salinan putusan. Jangan sampai ada hal-hal yang keliru,”pungkas dia.

Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) menyatakan mantan narapidana kasus tindak pidana korupsi diperbolehkan untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota. Pernyataan itu berhubungan dengan putusan uji materi Peraturan KPU No. 20 Tahun 2018

“Uji materi tersebut sudah diputus dan dikabulkan oleh MA,” kata juru bicara MA, Suhadi.

Uji materi tentang PKPU tentang larangan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual terhadap anak untuk menjadi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) dalam Pemilu 2019 tersebut diputus MA pada Kamis (13/9/2018) kemarin.

“Pasal yang diujikan itu sekarang sudah tidak berlaku lagi,” katanya.

Dalam pertimbangannya, MA menyatakan bahwa ketentuan yang digugat oleh para pemohon bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, yaitu UU 7/2017 (UU Pemilu).

Dalam UU tersebut dijelaskan mantan terpidana kasus korupsi diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota asalkan memenuhi beberapa persyaratan.

“Sesuai dengan UU Pemilu karena ada persyaratan setelah 5 tahun yang bersangkutan menjalani hukuman, dia boleh mencalonkan diri,” katanya.

Putusan MA tersebut juga mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji UU Pemilu yang menyebutkan mantan terpidana diperbolehkan mencalonkan diri sebagai anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten-kota asalkan yang bersangkutan mengakui kesalahannya di depan publik.

“Mengacu ke sana, karena itu peraturan yang lebih tinggi, dan pada dasarnya ketentuan itu memang sudah bertentangan dengan peraturan di atasnya, yaitu UU 7/2018,” kata Suhadi.

Perkara uji materi yang dimohonkan oleh Wa Ode Nurhayati ini diperiksa dan diputus oleh 3 hakim agung, yaitu Irfan Fachrudin, Yodi Martono, dan Supandi, dengan nomor perkara 45 P/HUM/2018. [CHA]