Koran Sulindo – Penetapan aturan baru terhadap taksi berbasis aplikasi online masih menjadi wacana yang terus diperbincangkan. Pasalnya, keberadaan taksi online selama ini cukup mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat.
Selain memberi kemudahan dan kenyamanan bagi penumpang, keberadaan taksi online rupanya dianggap membuka lapangan pekerjaan secara luas. Fakta itu diyakini oleh Musni Umar, sosiolog Universitas Indonesia. Ia karenanya khawatir aturan baru terhadap taksi online justru akan menciptakan pengangguran.
Mengapa demikian? Berdasarkan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, salah satu butirnya adalah membatasi kuota taksi online. Padahal, selama ini, kata Musni, keberadaan taksi online sudah menjadi salah satu sumber mata pencaharian masyarakat.
“Lewat kuota, tentu akan mengurangi lapangan pekerjaan yang selama ini sudah dinikmati masyarakat,” kata Musni di Jakarta, Selasa (28/3).
Musni membangun argumentasinya berdasarkan data yang disuguhkan Badan Pusat Statistik (BPS). Jumlah penduduk yang bekerja di Jakarta naik menjadi 3,59 juta pada Agustus 2016. Jumlah pengangguran disebut berkurang sekitar 530 ribu orang.
Jumlah tenaga kerja yang meningkat itu terutama pada sektor jasa kemasyarakatan mencapai 1,52 juta orang atau 8,47 persen, perdagangan 1,01 juta orang atau 3,93 persen, dan transportasi, pergudangan serta komunikasi 500 ribu orang atau 9,78 persen. Berdasarkan data ini, sektor transportasi menjadi salah satu penyumbang tenaga kerja dengan pertumbuhan tertinggi.
3 Rekomendasi KPPU
Secara terpisah, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) juga memberikan pendapat kepada pemerintah agar pengaturan taksi online dan taksi konvenional tak berlarut. Setidaknya, KPPU memberikan tiga rekomendasi kepada pemerintah untuk mendorong penyelenggaraan industri jasa transportasi sesuai dengan prinsip persaingan usaha yang sehat.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf menuturkan, pihaknya secara prinsip mendukung aturan revisi Permenhub untuk mengatur keberadaan taksi online. Artinya setiap orang diberi kesempatan yang sama untuk berusaha. Adapun rekomendasi KPPU itu meliputi, pertama, pemerintah sebaiknya menghapus kebijakan penetapan tarif batas bawah yang selama ini berlaku untuk taksi konvensional.
Sebagai gantinya, kata Syarkawi, pemerintah cukup mengatur tentang tarif batas atas. Penetapan tarif batas bawah selain berdampak inefisiensi pada industri jasa angkutan taksi, juga menghambat kemajuan serta menjadi sumber inflasi. Ujungnya, konsumen yang menanggung itu semua dengan membayar tarif yang mahal.
Selanjutnya, seperti Musni, Syarkawi meminta agar pemerintah tidak membatasi kuota baik untuk taksi online maupun taksi konvensional. Soal ini, KPPU berpendapat diserahkan kepada mekanisme pasar.
Terakhir, menurut KPPU, kebijakan surat tanda nomor kendaraan (STNK) taksi online yang harus atas nama badan hukum sebaiknya dihapuskan. Syarkawi menyarankan agar pemerintah mendorong sistem taksi online dengan badan hukum koperasi yang asetnya dimiliki oleh anggota.
Pengalihan STNK kendaraan pribadi menjadi koperasi justru bertentangan dengan prinsip gotong-royong dan Undang Undang Koperasi. Dengan demikian, membuka ruang bagi masyarakat untuk berusaha dalam industri taksi online. [KRG]