Ilustrasi

Koran Sulindo – Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) menilai hak angket yang dilayangkan DPR salah alamat. Sebab, hak angket seharusnya ditujukan kepada Pemerintah, bukan lembaga penegak hukum independen seperti KPK.

“Hak angket ini upaya serangan balik, dan sangat salah alamat karena KPK tak dibawah pemerintah,” tegas Zaenur Rohman, peneliti di Pukat UGM dalam jumpa pers menanggapi DPR RI melayangkan hak angket kepada KPK, Jumat (28/4).

Zaenur menilai hak angket ini dilayangkan jelas memperlihatkan tekanan politik pengusutan mega korupsi E-KTP yang diduga melibatkan anggota dan pimpinan DPR RI. “Karena itu kami menolak hak angket KPK, dan menuntut DPR menghentikan intervensi politik yang menghambat kinerja KPK dalam mengungkap kasus E-KTP dan kasus lainnya,” ujarnya.

Zaenur juga meminta KPK untuk tidak tunduk terhadap intervensi-intervensi politik yang bertujuan menghambat kinerja pemberantasan korupsi.

Ditambahkan Hifdzil Alim, salah satu peneliti senior Pukat UGM, KPK tak perlu takut dengan adanya hak angket, karena tak ada dasar hukumnya. “KPK tidak harus menaati hal itu karena tidak ada hukum yang menyatakan KPK harus tunduk, malahan yang harusnya introspeksi adalah partai politik yang membiarkan fraksinya di DPR menyetujui hak angket tersebut,” katanya.

Bahkan Hifdzil mendukung KPK mengajukan sengketa kewenangan ke Mahkamah Konstitusi (MK) mengingat dalam UU No 17 Tahun 2014 yang menunjukkan bahwa hak angket itu seharusnya ditujukan kepada Pemerintah, bukan lembaga penegak hukum independen seperti KPK.

“KPK bisa mengajukan sengketa kewenangan karena DPR tidak berwenang mengajukan hak angket terhadap KPK. Atau kalau tidak, KPK mogok massal saja karena selalu diganggu kerjanya,” ujar Hifdzil lagi. [YUK]