Andi Narogong/thejakartapost.com

Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menahan Andi Agustinus alias Andi Narogong hari ini. Andi ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan pekerjaan KTP elektronik (KTP el) di Kementerian Dalam Negeri tahun anggaran 2011-2012 Rabu (23/3) kemarin.

“Resmi hari ini tanggal 24 Maret 2017 KPK telah melakukan penahanan terhadap tersangka AA (Andi Agustinus) dalam kasus KTP-e,” kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Jakarta, Jumat (24/3), seperti dikutip Antaranews.

Sampai hari ini KPK masih memeriksa intensif Andi karena perannya yang penting dalam proses pengadaan. Tempat penahanan Andi masih dirahasiakan.

Andi disangkakan pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana penjara maksimal 20 tahun denda paling banyak Rp1 miliar.

Dalam kasus ini, sebelumnya sudah terdapat 2 tersangka, yaitu Irman (Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri) dan Sugiharto (Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kemendagri). Keduanya diduga secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dalam pengadaan paket penerapan KTP Elektronik tahun 2011 – 2012 pada Kemendagri. Dalam kasus ini, negara diduga mengalami kerugian sekurangnya Rp2,3 triliun dari total nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun.

Peran Andi yang utama adalah dalam proses penganggaran.

“Yang bersangkutan melakukan sejumlah pertemuan dengan para terdakwa dan anggota DPR RI dan pejabat Kemendagri terkait proses penganggaran KTP-el. Yang bersangkutan juga diduga terkait aliran dana kepada sejumlah anggota Banggar dan anggota Komisi II DPR dan pejabat Kemendagri,” kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata, Rabu (22/3).

Dalam proses pengadaan itu, Andi diduga berhubungan dengan para terdakwa dan pejabat di Kemendagri.

“Yang bersangkutan mengkoordinir tim Fatmawati yang diduga dibentuk untuk pemenangan tender kemudian terkait aliran dana kepada sejumlah panita pengadaan,” kata Alexander.

Dalam dakwaan Irman dan Sugiharto, Andi disebut sebagai pihak yang dominan, mulai dari penganggaran hingga pengadaan KTP-el.

Juru Bayar

Andi adalah pengusaha yang sudah biasa menjadi rekanan di Kemendagri. Andi dan Irman juga sepakat akan menemui Setya Novanto (Setnov) selaku Ketua Fraksi Partai Golkar guna mendapat kepastian dukungan Partai Golkar terhadan KTP-e.

Pada Juli-Agustus 2010, Andi Agustinus beberapa kali bertemu Setnov, Anas Urbaningrum, dan Nazaruddin karena dianggap representasi Partai Demokrat dan Golkar yang dapat mendorong Komisi II menyetujui KTP-e.

Andi juga selanjutnya diduga menyerahkan sejumlah uang kepada anggota DPR yaitu Anas Urbaningrum, Arief Wibowo, Chaeruman Harahap, Ganjar Pranowo, Agun Gunandjar Sudarsa, Mustoko Weni, Ignatius Mulyono, Taufik Effendi, Teguh Djuwarno, Melchias Marcus Mekeng, Mirwan Amir, Olly Dondokambe, Tamsil Linrung, Marzuki Ali, Partai Golkar, Partai Demokrat serta pejabat Kemendagri saat itu yaitu Sekjen Kemendagri Diah Anggraini serta Mendagri Gamawan Fauzi melalui adiknya, Azmin Aulia.

Setelah membereskan soal anggaran, Andi pun membuat tim Fatmawati yang terdiri dari para pengusaha untuk mengerjakan proyek KTP-E untuk mengatur pelelangan sehingga konsorsium yang mereka inginkan dapat menang lelang dan dibayar meski pekerjaan KTP-E tidak selesai dan terlampau mahal.

Pengusaha kelahiran Bogor, 24 September 1973 ini mulai menjadi perbincangan setelah M. Nazarudin memberi keterangan di KPK  dan menyerahkan dokumen skema korupsi proyek e-KTP. Pada data yang diberikan pada 27 Agustus 2013 tertera nama Andi Narogong.

Dalam skema itu, dan diperkuat pengakuan Nazarudin, peran Andi dan Nazarudin adalah pelaksana.

Dalam menjalankan “skenario korupsi”, menurut pengamat hukum Hendra Budiman, peran Andi lebih banyak sebagai juru bayar.

Sebagai contoh, pada Maret 2010,  Andi menyerahkan uang sebesar US$500 ribu kepada Nazaruddin sebagai uang muka commitment fee proyek e-KTP. Uang diserahkan di restoran Nippon Kan Hotel Sultan. Turut hadir dalam pertemuan itu: Anas Urbaningrum, Setya Novanto dan M. Nazarudin.

Atas perintah Setya Novanto,  Andi menyerahkan uang sebesar US$1 juta kepada Anas Urbaningrum di ruangan Setya Novanto lantai 12 Gedung DPR. Uang itu digunakan untuk kemenangan Anas Urbaningrum sebagai calon Ketua Umum Partai Demokrat.

Pada April 2010,  Andi menyerahkan uang sebesar Rp 40 Milyar kepada Yulianis untuk keperluan Kongres Partai Demokrat. Juli 2010, Andi memberikan uang sebesar Rp 10 Miliar kepada Irman sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri.

Pada September 2010,  Andi menyerahkan uang sebesar US$2 juta kepada Azmi Aulia Dahlan (adik Gamawan Fauzi, mantan Mendagri).

Pada September 2010, Andi menyerahkan uang sebesar US$1 juta kepada Wakil Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR, Olly Dodokambey yang disaksikan oleh Nazarudin. Pada September 2010, Andi menyerahkan uang kepada Ketua Banggar Melchias Marcus Mekeng dan Wakil Ketua Banggar DPR, Mirwan Amir masing-masing US$500 ribu.

Masih di bulan dan tahun yang sama, Andi menyerahkan uang kepada Ketua Komisi II, Chairuman Harahap dan Wakil Ketua Komisi II Ganjar Pranowo, masing-masing US$500 ribu.

Pada Desember 2010, untuk menyambut tahun baru, panitia tender meminta uang. Andi menyiapkan amplop, dengan total hampir senilai US$700 ribu, yaitu untuk anggota panitia mendapat US$50 ribu, sekretaris panitia mendapat US$75 ribu, Ketua Panitia Drajat Wisnu (US$100 ribu), PPK yang bernama Sugiarto (US$150 ribu), PLT Dirjen Irman (US$200 ribu), dan untuk Sekjen (Depdagri) Dian Anggraeni sebesar US$700 ribu. Seluruh uang itu diserahkan di Hotel Millenium, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Pertemuan ini dihadiri juga Nazarudin, Setya Novanto dan seluruh Dirut didalam Konsorsium PNRI.

Pada Februari 2011, Andi dan kakaknya, Dedi Priyono memanggil PPK, ketua panitia dan sekretaris panitia, untuk memfinalisasi rekayasa dan spesifikasi tender yang dihadiri seluruh direktur utama konsorsium. Saat panitia dan pimpinan proyek pulang, sudah disiapkan ‘angpau’ sebesar US$500 ribu oleh Andi Narogong.

Andi tercantum sebagai Direktur Utama PT. Cahaya Wijaya Kusuma. Hal yang aneh, PT. Cahaya Wijaya Kusuma bukan merupakan bagian dari anggota konsorsium PNRI, pemenang tender proyek e-KTP. Konsorsium PNRI terdiri dari Perum PNRI, PT Sucofindo, PT Sandhipala Arthapura, PT Len Industri, dan PT Quadra Solution.  Tetapi selain PT. Cahaya Wijaya Kusuma, Andi juga pemilik Murakabi Sejahtera. Murakabi adalah pemegang proyek pelayanan sertifikat tanah keliling di BPPN.

Dalam proyek e-KTP ada sembilan konsorsium yang ikut terder. Salah satunya Murakabi Sejahtera. Tetapi, konsorsium ini sengaja “dikalahkan” untuk memenangkan konsorsium PNRI.

Direktur Murakabi adalah Vidi Gunawan, adik Andi Narogong. Keluarga ini memang agak “aneh”. Kakak Andi Narogong yang bernama Dedi Priyono adalah pengusaha home industri jasa elektroplating. Tidak ada hubungannya dengan proyek e-KTP. Tetapi, menurut Nazarudin, Dedi Priyono lah yang menyusun spesifikasi dan persyaratan tender proyek e-KTP. Pusat operasionalnya di Ruko Graha Mas Fatmawati Blok B No 33-35 yang mengatur spesifikasi antara rekanan dan pegawai Kemendagri. Misalnya memasukan PT. Quadra Solution kedalam anggota konsorsium. Padahal perusahaan ini punya masalah dengan BPK.

Itulah sebabnya Andi leluasa memanggil bahkan memerintah anggota konsorsium untuk hadir dalam pertemuan-pertemuan yang mereka atur. Baik pertemuan dengan pejabat di Kemendagri maupun dengan anggota DPR. Termasuk meminta uang kepada perusahaan anggota konsorsium untuk diberikan kepada pejabat di Kemendagri dan DPR.

Mengapa perusahaan anggota konsorsium rela begitu saja memberikan “uang muka” (sistem ijon) ? Tentu saja, karena menurut Nazarudin markup dan keuntungan proyek e-KTP mencapai 49% dari pagu anggaran Rp 5,9 triliun. [DAS]