Gedung KPK
Gedung KPK di Jalan H.R. Rasuna Said, Jakarta Selatan

Koran Sulindo – Pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), meski punya kewenangan yang sangat besar dalam upaya pencegahan dan penindakan korupsi, ternyata tak berdaya saat menghadapi kasus-kasus tertentu. Misalnya pengusutan kasus dugaan korupsi pembelian helikopter Augusta Westland (AW)-101 TNI Angkatan Udara.

Juru Bicara KPK KPK Febri Diansyah mengungkapkan, pihaknya agak kesulitan dalam mengusut kasus tersebut. Karena, sejumlah saksi dari TNI AU tak kooperatif saat dipanggil untuk diperiksa. “Penyidik KPK terhambat menangani kasus ini karena kesulitan memeriksa saksi-saksi yang mengetahui peristiwa pengadaan heli tersebut,” tutur Febri di Jakarta, Selasa (3/7).

Dijelaskan Febri, tim KPK pada Selasa kemarin itu memanggil delapan perwira menengah TNI AU sebagai saksi untuk tersangka Direktur Utama PT Diratama Jaya Mandiri, Irfan Kurnia Saleh. Pemeriksaan rencananya dilakukan di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta Timur. Namun,  semua saksi yang dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi itu tak ada yang datang.  “Kami di KPK ataupun POM TNI belum mendapat konfirmasi alasan ketidakhadiran,” katanya.

Selain terhambat sikap tak kooperatif para saksi, proses audit dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap pembelian helikopter AW-101 itu juga belum selesai. Diduga pembelian helikopter pabrikan Inggris-Itali itu merugikan negara hingga Rp 220 miliar. “Juga audit BPK yang belum selesai. Sebelumnya KPK telah berkoordinasi dengan POM TNI dalam penanganan perkara ini,” tutur Febri.

Soal adanya dugaan korupsi pembelian helikopter AW-101 ini dapat diketahui dari penyelidikan Puspom TNI yang bekerja sama KPK. Kasus dugaan korupsi itu diumumkan langsung mantan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bersama Ketua KPK Agus Rahardjo pada 2017 lalu di Gedung KPK.

Diungkapkan Gatot, Puspom TNI dan KPK menemukan potensi kerugian negara sebesar Rp 220 miliar dalam pengadaan Heli AW-101. Nilai pengadaannya sendiri mencapai Rp 738 miliar.

Disinyalir, PT Diratama Jaya Mandiri selaku perantara telah melakukan kontrak langsung dengan produsen helikopter AW-101 senilai Rp 514 miliar. Pada Februari 2016, setelah meneken kontrak dengan TNI AU, PT Diratama Jaya menaikkan nilai jualnya menjadi Rp 738 miliar.

Bersama KPK, Puspom TNI pun menetapkan Wakil Gubernur Akademi Angkatan Udara Marsekal Pertama Fachri Adamy sebagai tersangka. Fachry adalah mantan pejabat pembuat komitmen atau Kepala Staf Pengadaan TNI AU 2016-2017.

Yang juga menjadi tersangka adalah Letnan Kolonel TNI AU (Adm) WW selaku pejabat pemegang kas, Pembantu Letnan Dua SS selaku staf pemegang kas, Kolonel FTS selaku kepala unit layanan pengadaan, dan Marsekal Muda TNI SB selaku Asisten Perencana Kepala Staf TNI Angkatan Udara.

Pada Juni lalu, KPK juga memeriksa mantan Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU) Marsekal (Purn.) Agus Supriatna. Setelah diperiksa, Agus mengatakan kepada wartawan, kasus pembelian Heli AW-101 ini dicap sebagai kasus dugaan korupsi oleh seorang pembuat masalah. “Karena AW-101 ini harusnya teman-teman juga tahu. Coba tanya kepada yang membuat masalah ini, tahu enggak Undang-Undang APBN. Tahu-enggak mekanisme anggaran APBN itu seperti apa? Kalau tahu, tidak mungkin melakukan hal ini,” tutur di Gedung KPK, Jakarta, 6 Juni lalu. Ia tak menyebut siapa itu pembuat masalah. “Yang kedua, tahu enggak peraturan Menteri Pertahanan Nomor 17 Tahun 2011? Kalau tahu, tidak mungkin juga melakukan ini. Dan ada juga Peraturan Panglima Nomor 23 Tahun 2012, itu peraturan Panglima TNI, lo.”

Menurut dia, kasus dugaan korupsi ini bisa diselesaikan jika Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu, Panglima TNI saat itu, Jenderal (Purn.) Gatot Nurmantyo, dan dirinya yang kala itu KSAU duduk bersama. “Sebenarnya ini semua tuh bisa duduk bersama. Duduk bersama, Menteri Pertahanan, Panglima TNI yang sebelumnya, saya. Duduk bersama, kami pecahkan bersama, di mana sebetulnya masalahnya ini. Begitu. Jangan masing-masing merasa hebat, merasa benar, karena punya kekuasaan,” ujar Agus. [RAF]