Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan kehadiran Direktur Penyidikan (Dirdik) KPK Brigjen (Pol) Aris Budiman pada rapat Pansus Hak Angket DPR pada Selasa (29/8) kemarin bukan mewakili lembaga.

“Kalau ada pertanyaan apakah ada izin atau tidak, kami tidak bicara soal izin tersebut karena sikap kelembagaan KPK sudah jelas dari awal bahwa undangan itu ditujukan kepada Dirdik. Itu lah yang perlu dipisahkan antara sikap kelembagaan dengan undangan yang ditujukan kepada Dirdik,” kata juuru bicara KPK  Febri Diansyah , di Jakarta, Rabu (30/8), seperti dikutip Antaranews.com.

Menurut Febri, KPK memang menerima surat dari DPR pada Selasa (29/8) pagi yang ditujukan kepada Direktur Penyidikan KPK dan tembusannya kepada pimpinan DPR, Kapolri, dan pimpinan KPK.

Pada video pemeriksaan Miryam S Haryani saat masih menjadi saksi penyidikan kasus Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP), yang diputar saat persidangan Miryam di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (14/8), disebutkan 7 orang dari unsur penyidik dan pegawai salah satunya diduga setingkat direktur di KPK menemui anggota Komisi III DPR.

Saat itu Miryam diperiksa oleh dua penyidik KPK Novel Baswedan dan Ambarita Damanik.

Miryam menceritakan diberitahu anggota Komisi III DPR ada 7 orang dari KPK yang memberitahu jadwal pemeriksaannya di KPK kepada anggota DPR RI.

Miryam juga menceritakan bahwa dirinya diminta menyiapkan Rp2 miliar agar dapat di”aman”-kan.

Terkait kesaksian Miryam itu, KPK melakukan pemeriksaan internal terhadap 7 orang itu.

“Sejauh ini Dirdik sudah diperiksa, yang bersangkutan meminta sendiri diperiksa pengawas internal. Kemudian ada penyidik yang sudah diklarifikasi oleh pengawas internal,” kata Febri.

Kesaksian Aris

Sebelumnya, Aris Budiman membantah meminta uang pengamanan kasus korupsi e-KTP senilai Rp2 miliar dan pernah menemui sejumlah anggota DPR terkait kasus tersebut.

“Saya tidak pernah bertemu kecuali seperti dalam forum resmi seperti rapat ini. Saya tidak bertemu karena saya tahu posisi saya,” kata Aris,di depan Rapat Dengar Pendapat Panitia Khusus Hak Angket DPR terkait Tugas dan Kewenangan KPK, di Gedung Nusantara, Jakarta, Selasa (29/8) malam.

Aris diangkat menjadi Dirdik KPK pada 14 September 2015, sebelumnya ketika berpangkat komisaris besar (Kombes) Aris menjabat Wakil Direktur Tipikor (Wadirtipikor) Bareskrim Mabes Polri.

Di depan Pansus KPK itu, Aris juga mengungkapkan ada “orang kuat” di KPK, yang bisa mengganggu kerja institusi tersebut dalam pemberantasan korupsi, misalnya langkahnya dalam menata personel penyidik KPK.

“Ini bukan geng, namun ada salah satu penyidik menjelaskan kepada saya bahwa diperkirakan ada masalah sejak diangkatnya penyidik internal. Jadi ini friksi terkait posisi,” kata Aris.

Aris mengaku beberapa kali mengusulkan untuk merekrut penyidik khususnya dari Kepolisian dengan pangkat Komisaris Polisi (Kompol), namun ditentang oleh satu kelompok karena menginginkan penyidik berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP).

“Saya sudah membawa masalah itu di rapat dengan Deputi Bidang Penindakan KPK. Itu yang ditentang oleh kelompok yang tidak setuju dengan kebijakan saya,” ujarnya.

Menurut Aris, ada seorang penyidik yang menentang apa yang diusulkannya dan menyatakan selama ini KPK menerima penyidik berpangkat AKP.

“Alasan lain yang disampaikan penentang adalah karena jika penyidik berpangkat Kompol tidak efektif. Di KPK semuanya bekerja sehingga kalau Kompol masuk akan mengganggu stabilitas kerja KPK,” katanya.

Aris menegaskan orang itu bukan komisioner KPK dan apabila ada kebijakan institusi itu tidak se-ide dengan orang tersebut maka tidak akan berjalan efektif.

Anggota Pansus KPK  Junimart Girsang lalu menanyakan apakah penyidik yang keras menentang kebijakan Aris itu adalah penyidik senior KPK bernama Novel Baswedan?

Aris membenarkan. [DAS]