Salah satu ruang tahanan di Gedung KPK, Jakarta

Koran Sulindo – Meski telah menjalani hukuman penjara, tampaknya pintu tobat tertutup bagi mantan narapidana (napi) kasus korupsi. Setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat aturan yang melarang mantan napi kasus korupsi menjadi wakil rakyat, giliran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mewacanakan mempermalukan para mantan napi itu dengan pembuatan daftar hitam.

Informasi ini disampaikan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Saut Situmorang. Wacana itu muncul, menurut Saut, sebagai upaya membantu mengimplementasikan Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR/DPRD tersebut.

Bukan hanya itu, pihak KPK juga siap membantu KPU dalam hal lain. “Kalau memang diperlukan, tentu KPK akan membantu,” ujar Saut, Selasa kemarin (3/7).

Kendati begitu, tambahnya, upaya itu tentu tidak akan dilakukan tergesa-gesa. Juga akan menyesuaikan dengan tahapan proses pemilihan legislatif. “Kalau soal waktu, ya, pastinya harus menyesuaikan dan sejalan dengan tahapan proses pendaftaran caleg,” kata Saut.

Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 memang telah diteken oleh Ketua KPU Arief Budiman dan disahkan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. Padahal, sebelumnya, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H. Laoly menentang peraturan tersebut.

Menurut Laoly, bahaya jika larangan mantan napi kasus korupsi menjadi calon legislator masuk peraturan PKPU diperbolehkan. “PKPU itu teknis. Kalau nanti masih boleh, bahaya itu. Bahayanya begini. Kalau nanti setiap lembaga membuat peraturan yang bisa nabrak undang-undang di atasnya, ini kan membuat persoalan,” ujarnya pada 31 Mei 2018.

Jadi, kalau aturan tersebut masuk dalam PKPU, itu jelas bertentangan dengan Undang-Undang tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangan. Karena itu, ungkapnya, PKPU itu menjadi masalah dilematis bagi dirinya sebagai menteri. Karena, kalau kementeriannya mengundang-undangkan, itu sama saja menyetujui satu peraturan di bawah undang-undang dan itu artinya bertentangan dengan undang-undang.

“Saya sarankan ke KPU, janganlah membiasakan diri menabrak ketentuan perundang-undangan,” tutur Laoly. Jika KPU ingin membuat undang-undang, lanjutnya, lebih baik komisioner KPU menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat saja. Tapi, Laoly juga mengapresiasi ide PKPU tersebut, hanya cara yang digunakan KPU tidak tepat.

Toh, akhirnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bersedia menandatangani PKPU Nomor 20 Tahun 2018. Menurut Laoly, pihaknya bersedia mengundangkan PKPU itu karena KPU mau melakukan perubahan terkait larangan mantan napi kasus korupsi maju sebagai calon legislatif.

Awalnya, larangan itu diatur secara jelas dalam Pasal 7 Huruf h PKPU Nomor 20 Tahun 2018 mengenai syarat calon anggota legislatif. Tapi, kemudian, KPU bersedia mengubah ketentuan tersebut. Sekarang, larangan pencalonan mantan napi korupsi, bandar narkoba, dan mantan napi kejahatan seksual terhadap anak itu diakomodasi dalam pakta integritas yang harus ditandatangani pemimpin partai politik.

“Memang sekarang tanggung jawab itu dikasih kepada partai politik untuk menyaring calon,” tutur Laoly di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (4/7). Perubahan itu, lanjut Laoly, merupakan hasil pertemuan intensif antara tim kementeriannya, KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum, dan para pakar serta pengamat.

Sungguhpun demikian, Laoly menilai, aturan yang baru itu sebenarnya tetap berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu. Karena, substansinya tidak mengambil perubahan. Peraturan ini pada intinya tetap menutup pintu bagi napi koruptor untuk menjadi calon legislatif. Padahal, Undang-Undang Pemilu membolehkan sepanjang mantan napi koruptor tersebut mengumumkan statusnya secara terbuka kepada publik. “Masih potensial untuk di-judicial review tampaknya,” kata Laoly. [RAF]